Oleh: Sayyid Fahmi Alathas. Roman Jakobson, memulai penekanan atas bahasa agar bisa terjadi proses efek pengasingan atau penggelapan. Dia pernah mengatakan, sumber-sumber puitis yang tersembunyi pada struktur morfologi dan sintaksis, sering kali tidak diketahui oleh pakar bahasa. Hanya dikuasai oleh penulis penulis kreatif; ahli bahasa tuli terhadap fungsi puitis bahasa. Pakar sastra bersikap dingin terhadap masalah linguistik, karena mereka yang membuat kesalahan besar atau anakronis. (Simanjuntak 1982: 38).
Menyangkut kosakata bahasa pada kalimat membentuk makna mencakup tema serta bahasa. Ada seorang tokoh pelopor sejarah sastra berkebangsaan Jerman Barat, Hans Robert Jausz, melalui pokok pokok bahasannya penekanan pembaca selaku pemberi makna! Apabila ditelusuri, makalahnya berjudul Literatur Geiscichte Als Provokation, yakni sejarah sastra sebagai tantangan.
Berisi mengenai Dinamika Sastra yang timbul berdasarkan diakronis dan sinkronis. Dia pernah mengatakan, dari segi estetik karya sastra sebagai karya seni, pembacalah yang menentukan. Apakah karya sastra dapat diterima atau ditolak, apakah karya sastra bernilai atau tidak, apakah karya sastra yang tertonjol itu nilai esetetik atau nilai kegunaannya. Dengan pernah mengatakan pula interpretasi seorang pembaca terhadap sebuah teks sastra ditentukan apa yang dinamakan Horison Penerimaan.
Dimana dibaginya ke dalam dua bagian. Pertama bersifat estetik atau yang ada di dalam teks sastra. Kedua tidak bersifat estetik atau tidak berada di dalam teks sastra, tapi sesuatu yang melekat pada pembaca. Apabila seorang tokoh ilmu tata bahasa yakni Transformatif Generatif bernama, Noam Chomsky, pernah mengatakan, setiap penutur bahasa asli sesuatu bahasa alami telah menyimpang dari rumus gramatis bahasa yang ada dalam otaknya. Pada dasarnya bahasa mempunyai dua struktur, yakni struktur dalam (Deep Structure) dan struktur permukaan (Surface Structure). Struktur ini dapat disamakan dengan istilah Comptence atau penguasaan bahasa dalam otak sesuai dengan aturannya, dan “Performance” atau pelahiran bahasa oleh seseorang. Orang yang sama mungkin berbeda dalam performance atau Surface Structure.
Seorang tokoh berkebangsaan Polandia bernama Roman Ingarden, pernah mengatakan, karya sastra mempunyai struktur yang objektif. Memberi peluang kepada pembaca untuk memberi arti terhadapanya. Struktur karya sastra, sementara belum bisa berbuat banyak terhadap pembaca, sehingga di perlukan suatu kegiatan konkretisasi terhadap kemungkinan makna yang disediakan oleh struktur objektif tadi. Disini kegiatan makna karya dibatasi oleh struktur itu sendiri; karena struktur objektif hanya satu maka konkretisasi makna hanya ada satu terlepas dari pengaruh masa dan tempat.
Para tokoh strukturalis pernah mengatakan, dalam karya sastra dapat didekati dari dua segi. Segi pertentangan dengan bentuk dan pemakaian bahasa. Kedua segi seni dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni yang lain.Mendekati sastra dari segi seni berarti mendekati sastra dari segi estetik atau keindahan. Akan tetapi sastra lebih ditekankan pada aspek bahasanya karena aspek seni pada sastra melekat pasa penggunanan bahasa itu sendiri. Bahasa pada sastra, tidak sama dengan cat, gerak atau bahan baku seni yang lain. Karena bahasa sebelum digunakan dalam sastra telah mempunyai makna yang mau tak mau melandasi penciptaan sastrawan (Bdk, Teeuw, 1984:34).
Keindahan Teks Sastra
Seorang tokoh terkemuka Hopkins pernah mengatakan, keindahan karya sastra merupakan suatu hasil interesa dan inscape. Interesa, pengaruh nyata tangan Tuhan terhadap cipta kreatif seorang seniman. Iinscape, pemahaman atau kekuatan melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran sebagai puncak realitas dalam cita seni berdasarkan kebenaran Tuhan (Muhsin Ahmadi, 1984;126).
Pertama, bila ditelusuri aspek, karya sastra mengandung batasan kenyataan dan ketidaknyataan koeralasi beraneka ragam kosakata bahasa membentuk kalimat. Koeralasi satu kosakata bahasa ke dalam kalimat, seperti koeralasi awal menentukan kalimat. Dimana mengandung batasan antara kenyataan dan ketidaknyataan maksud, tujuan, sebab, akibat, sejauh mana menjadi suatu karya berkualitas. Kedua, kenyataan refleksi atau renungan pembaca menilai fungsi estetika dan puitika bahasa!
Apabila membangkitkan ke dalam tema serta makna, tapi bukan sebagai sarana memperbaiki, setiap karya sastra berhadapan langsung dengan realitas atau kenyataan. Dia menentukan kualitas atau tidaknya karya sastra. Ketiga, refleksi atau renungan sastrawan, menyuguhkan karya sastra, ke arah perkembangan bahasa yang mengglobal. Kemungkinan bisa terjadi, sebagai upaya menangkap makna yang saling terestruktur dan interelasi beraneka ragam kosakata bahasa dengan kosakata bahasa lainnya. Keu-niversalan makna pakar sastra arif dan bijaksana sesuai harapan sastrawan, sehingga teks sastra sesuai prinsip-prinsip licentia poetica.
Pertama, apakah makna terdapat pada baris dan bait setiap karya sastra itu puitis? Kedua, apakah setiap jenis kosakata bahasa menjadi unsur kalimat apabila dipadukan dalam setiap karya sastra puitis? Ketiga, apakah proses generalisasi struktur kosakata bahasa seorang pembaca memperoleh makna dari karya sastra puitis? Keempat, apakah proses generalisasi struktur kosakata bahasa membangun setiap unsur pada kalimat dalam karya sastra puitis! Kelima, apakah proses generalisasi karya sastra puitis yang diciptakan, seperti pernah dikemukakan seorang tokoh Formalis Rusia murid dari seorang tokoh kaum praha yakni, Jans Mukarovsky yang bernama Feliks Vodicka?
Disebabkan pandangan suatu masyarakat terhadap karya sastra kepada pandangan nilai-nilai lingkungan sosial masyarakat dimana karya sastra tersebut diciptakan. Dalam suatu karya sastra makna berpusat kepada bahasa? Apakah yang mesti dilakukan seorang sastrawan berhadapan langsung dengan realitas kosakata bahasa sebagai pembentuk teks. Dimana menyampaikan makna merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama penggunaan struktur kosakata bahasa dalam kalimat.
Seorang sastrawan, melakukan proses permentasi beraneka ragam kosakata bahasa. Disusunnya dalam kalimat, menjadikan bahasa yang berbeda dari pemakaian bahasa biasa pada umumnya.
Menurut Jurich Lotman pernah mengatakan, bahasa mempunyai potensi bentuk dan makna tidak terbatas. Disatu sisi, sastrawan harus tunduk pada tata bahasa, disisi yang lain sastrawan bebas menggunakan tata bahasa sesuai dengan prinsip-prinsip lincetia poetica.
Jan Mukarovsky mengatakan, karya sastra sangat berkaitan erat dengan konteks sosial, sehingga fungsi estetika dan puitika bahasa tidak terlepas dari fungsi sosial. Fungsi esetetik dan fungsi sosial selalu berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan fungsi sosial itu sendiri! Fungsi estetika dan fungsi sosial selalu berubah-ubah pada suatu masyarakat pada suatu zaman. Kadang-kadang lebih mementingkan fungsi sosial dan kadang kala mementingkan fungsi estetika. (Teeuw, 1984: 185-7).
Dalam teks sastra di tengah perubahan arus sosial ke arah absurditasnya, bukan hanya kontestual namun universal. Dimana mampu menyesuaikan harapan sastrawan, seperti kedua tokoh, Ariel Haryanto dan Arief Budiman, mengatakan perubahan-perubahan dalam teks sastra berkembang kapan saja, dimana saja, sekalipun di tengah kontroversi arus pengkritisi dan sastrawan.