Oleh: Dedy Hutajulu. CHAIRIAH Syifa, siswa kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Al Ikhsan, bersama Ireniza Pradesi, teman sekelasnya asyik-masyuk bereksperimen erupsi-erupsian gunung berapi. Bahan berupa serbuk soda, asam cuka, dan bubuk frenta dimasukkan ke dalam puncak sebuah gundukan tanah. Lalu tiba-tiba buih meleleh dari puncak gundukan dan meluber ke semua sisi. Sontak mereka tertawa.
Syifa tampaknya belum puas. Ia lalu mencoba beberapa kali lagi. Diambilnya secuit bubuk karbit lalu dibenamkannya ke dalam gundukan. Terus, diambilnya sebotol air. Dan dipercikkan air itu ke lobang tanah tepat ditanamnya bubuk karbit tadi. Apa yang terjadi kemudian sungguh menggembirakan hatinya. Asap berbau sulfur keluar dari gundukan tanah berpori tersebut. “Itu reaksi air dengan karbit yang menghasilkan asam berwujud asap, Bang,” katanya.
Anak-anak setingkat SD kelas satu dan dua yang menonton aksi ekperimen Syifa, dkk takjub. Mereka penasaran kenapa gundukan tanah itu bisa berasap dan meluberkan buih. Dengan sabar Syifa dan Pradesi menjelaskannya. "Buih yang meleleh tadi," cetus Syifa, "Begitulah kalau Sinabung erupsi. Buihnya itulah lavanya. Kalau asap tadi, itu seumpama belerang hasil lahar di dalam perut gunung."
Anak-anak senang mendengar penjelasan Syifa. Gurunya, Siti Rahma bahkan jauh lebih senang karena bangga. Bangga melihat anak didiknya bukan hanya paham tetapi sudah mampu menjelaskannya ke adik kelas mereka dengan sangat baik. Itu tentu karena adanya alat peraga letusan gunung tersebut.
Kata Siti Rahma, dengan alat peraga, anak-anak bisa melihat langsung proses kerja gunung api, erupsinya dan bagaimana dampaknya bagi daerah di sekeliling gunung itu. "Anak-anak tak lagi dipaksa menghayalkannya, tetapi sudah bisa mencobanya langsung," jelasnya.
Peran Guru
Proses mendaratkan ilmu pengetahuan ke benak anak-anak dnegan baik tentu tak mudah. Karena itu peran guru dalam menciptakan proses belajar mengajar yang baik menjadi keniscayaan. Dan penggunaan alat peraga sebagai bagian dari inovasi pembelajaran, menjadi amat krusial. Selama ini, MIS Al Ikhsan hanya mengandalkan hafalan untuk belajar, termasuk pelajaran gunung api.
Namun seorang guru IPS bernama Sahirudin gelisah. Kegelisahannya itu mendorongnya untuk berinovasi. Ia menjadi inisiator pembuat media pembelajaran gunung api. Dicobanya beberapa bahan untuk menciptakan media gunung api. Ia bereksperimen beberapa kali hingga makin sempurna. “Sekarang sudah sangat mudah mencontohkan letusan gunung, yakni dengan memakai soda api dan rinso,” ungkapnya.
Kemudian cepat-cepat dilanjutkannya, "Tapi itu bahan-bahan berbahaya. Memakai soda api dan rinso tentu bisa menghasilkan ledakan. Asal praktiknya di ruang terbuka, seperti di halaman, supaya tidak berbahaya."
Menurut Sahirudin, tak cukup jika anak hanya mengetahui gunung api dari menonton tivi atau penjelasan oral. Perlu ada praktik langsungnya, apalagi mempelajari bencana alam, pengeluaran asap, erupsi, lahar harus dengan media belajar yang masuk akal. Selain itu, dengan alat peraga ini, kita bisa menjelaskan bagaimana teknik evakuasi ketika alam menunjukkan tanda-tanda gunung akan meletus.
Melengkapi alat peraga bikinan Sahirudin, dua guru dari MIS Muhammadiyah Langkat, yakni Rahmad Suhendra, guru IPS dan rekannya Arianto Wibowo, guru IPA mendukung dengan menyediakan alat peraga berupa alarm peringatan dini gempa. Alarm tersebut sudah digunakan saat pelajaran bagi anak-anak kelas enam. Media belajar tersebut dirancang demi mendorong rasa penasaran anak-anak terhadap teknologi pergempaan. "Mengingat negeri kita berada di lingkar cincin api yang membuntingi gunung api," imbuh Rahmad.
Model Menempel
Awalnya, alarm tersebut dibuat dengan model menempel langsung ke dinding rumah. Namun, katanya, karena ini alat peraga, ya, kita andalkan berdiri di tanah. Alat ini mengandalkan getaran tanah. Jika bumi bergetar, pendulum di dalam tabung akan bergoyang menabrak-nabrak dinding tabung yang sudah dilapisi seng. Itulah saklarnya yang akan menyalakan lampu sekaligus membuat alarm menyalak bagai gonggong anjing.
Nah, biaya pembuatan satu alarm gempa ini murah. Tak sampai Rp 50 ribu. Sebab bahannya hanya butuh satu baterai basah, (tapi bisa juga langsung terhubung ke listrik), bisa juga memakai alarm rumah. Sedang harga klaksonnya dibawah Rp 30.000. Dan sebuah bandul lot mudah dibeli di toko material, harganya cuma Rp 15 ribu. Benang semeter. Kabel 10 meter. Serta kayu paralon dari bahan sisa. "Anak-anak bisa kok bikin sendiri. Yang penting dipandu saja," terang Rahmad.
Apa yang diajarkan, baik Renita, Sahirudin maupun Rahmad kini jauh lebih menarik karena langsung bisa dipraktikkan. Bahkan dengan gabungan dua alat peraga tersebut (Gunung api dan alarm deteksi gempa), maka kemampuan anak menyerap ilmu pengetahuan dari proses praktikum jauh lebih bagus. "Karena pembelajarannya menarik dan disukai anak, tentunya," pungkas Rahmad.