Sastra Picisan dan Sastra Indonesia

Oleh: MIhar Harahap. Sepanjang pengamatan, ada dua persoalan dalam penerbitan karya sastra di Medan. Persoalan dahulu dan persoalan kini, hingga sekarang masih dapat diperdebatkan. Pertama, persoalan dahulu, stigma dan diskriminasi roman picisan, dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap pengarang Medan.

Akibatnya roman Medan luput dari sejarah sastra Indonesia. Kedua, persoalan kini, anggapan karya sastra di Medan belum menjadi karya sastra Indonesia, sehingga sastra Medan seakan tereliminasi dari sastra Indonesia.

Karya sastra Medan yang banyak diminati pembaca pada masa prakemerdekaan disebut ‘roman picisan’ atau ‘sastra liar’ dengan stigma ‘murah harganya rendah mutunya’. Apakah benar? Tak jelas! Belum ada penelitian hingga kini, yang dapat membuktikan benar tidaknya stigma ini,

Jelasnya pengarang sastra di Medan sudah merendahkan harkat dan martabat. Berlarut-larut dan belum pernah dipulihkan. Diduga, lantaran diterbitkan pihak swasta dengan tema bebas, misalnya mengandung unsur politis yang berseberangan.

Pengertian picisan berupa uang koin yang harganya sepuluh sen. Sejak dahulu, harga sepuluh sen itu sangat murah. Bayangkan jika harga seekor ayam saja kurang dari seribu picis, maka konon pula harga sepuluh sen. Dalam roman picisan, dianalogikan menjadi roman yang 1). murah harganya karena kertas stensilan atau buku saku dan 2). isi cerita tak bermutu karena jalan cerita, bahasa dan ejaannya tidak tertib. Tegasnya, kalau karya sastra Medan disebut picisan, hal itu berarti murahan, baik harganya maupun mutu karyanya.    Benarkah murah harganya? Dalam buku Faruk HT, Beyond Imagination, karya sastra terbitan Balai Pustaka jauh lebih murah dari karya sastra terbitan swasta. Hal ini berarti tidak benar istilah roman picisan terbitan swasta, karena murah harganya. Justru lebih murah karya sastra terbitan Balai Pustaka, meski katanya karena mendapat subsidi dari pemerintah kolonial. Kalau roman picisan murah, karena persaingan harga, antara penerbit swasta dan untuk mengimbangi masuknya buku dari luar Medan.

Benarkah rendah mutunya? A.  Teeuw dalam H. B. Jassin buku Kesusastraan Indonesia Modern Dalam Kritik dan Esei (IV) menyebutkan kelemahan roman ini. Katanya: ”uraian jiwa yang dangkal, komposisi yang kadang-kadang tidak memuaskan. Bahasa dirusakkan oleh kata-kata yang bukan kata Indonesia. Pengarang tidak pandai meletakkan tanda-tanda bacaan.

”Kelemahan roman picisan mencakup penokohan/ perwatakan, plot, pemakaian bahasa bukan Indonesia dan ejaan yang tidak tertib.

Pratt dalam Burhan Nurgiantoro buku Teori Pengkajian Fiksi mengatakan:” masalah kelitereran/litererariness tak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa. Melainkan oleh ciri khas situasi pemakaian bahasa tersebut.” Jadi, pemahaman bahasa yang rusak karena bukan kata-kata Indonesia perlu ditinjau kembali. Persoalan kelitereran tidak karena pemakaian bahasanya, kecuali oleh situasi di mana bahasa itu dipergunakan. Termasuk karena ragam bahasa ke dalam bahasa tulis dan karakter berbahasa orang Medan.

Perihal jiwa yang dangkal, penokohan dan perwatakannya pasti tak termasuk roman berjudul “Tenggelamnya Kapal van der Wijck” karya Hamka, kemudian diterbitkan Balai Pustaka.

Roman ini, berhasil merasuk ke dalam hati pembaca. Timbul rasa simpati kepada Zainuddin, sebaliknya antipati pula kepada Angku Azis yang telah menyia-nyiakan Hayati. Roman juga mengungkap pemberontakan kaum muda terhadap kaum tua. Kaum tua yang menjunjung tinggi adat-istiadat, tetapi salah kaprah dalam pemahaman.

Roman “Spionnage Dienst” (Patjar Merah Indonesia) karya Matumona terbitan TokoBuku/Surat Kabar Sentral (Centrale Courant en Boekhandel). Berkisah petualangan pemuda pergerakan, Vichitra, dibantu kekasihnya, Ninon Phao, untuk merebut kemerdekaan bangsa dari kekuasaan kolonial Belanda. Roman ini sebenarnyamengungkap peristiwa yang terjadi. Kebetulan pernah dialami pengarang selaku aktivis pergerakan. Bergiat (baik atas nama pribadi maupun organisasi) untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sangat nyata, roman Hamka dan Matumona, telah melanggar ketentuan D. A. Rinkes dalam merekomendasi penerbitan roman. Melanggar menyuarakan agama, adat dan politik yang berseberangan dengan etise politik kolonial.

Kuat  dugaan kalau kebijakan pemerintah kolonial terhadap karya sastra Medan, lebih cenderung ke soal politik daripada karya itu sendiri. Stigma negatif pun terjadi dan diskriminatif terhadap karya sastra Medan yang beberapa diantaranya sebenarnya bermutu.

Jacob Sumardjo dalam Ariel Heryanto buku Perdebatan Sastra Kontekstual berkata: ”novel ini (penulis: roman picisan) mampu membangun konteks budayanya sendiri. Punya penerbitan sendiri, punya konsumen sendiri. Juga punya pusat di daerahnya sendiri. Dengan sendirinya punya nilai-nilai tersendiri pula. Hanya sayang belum ada penelitian tentang jenis sastra ini sampai sekarang.”

Medan, sebagaimana Padang, Bandung, Yogya, Surabaya bahkan Bali ketika itu, sudah memilik karya  sastra sendiri, namun tereliminasi.

Realita ini menunjukkan, tak bisa dinafikan bila roman picisan dan sastra liar menjadi bagian sejarah sastra nasional. Bukan sastra daerah namanya, meski muncul di Sumut, Aceh, Sumbar, Pekanbaru, Sumsel, Lampung, kalau ditulis dalam bahasa Indonesia. Karena itu, perlu diteliti benar. Sejauh mana harga dan mutu karya sastra semisal Joesoef Sou’yb, Tamar Djaja, Matumona, Sukma Merayu, A. Damhoeri, Surapati, A. Hasjmy, Qasim Ahmad, Narmin Suti, Partahi Simanjuntak, RP SItanggang dan lain-lain. Karya sastra mereka pernah berjaya pada masanya di Medan.

Tak kalah menariknya, bagaimana peran para penerbit swasta. Pewarta Deli, Loekisan Poedjangga, Doenia Pengalaman, Tjendrawasih, Doenia Pergerakan dan lainnya. Tanpa subsidi pemerintah kolonial, dapat menerbitkan karya sastra Medan. Karenanya, kita dorong adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerbit. Karya sastra dan stigma buruk, agar persoalan roman picisan dapat dipulihkan. Karya sastra Medan ini dapat dimasukkan dalam sejarah perkembangan karya sastra Indonesia.

Perkembangan karya sastra Medan pasca kemerdekaan berubah dari roman picisan ke sastra koran. Misal koran Waspada, Analisa, Medan Bisnis, Sumut Pos, SIB, Mercu Suar, Sinar Pembangunan, Mimbar Umum, Garuda, Angkatan Bersenjata, Bukit Barisan, Lembaga, Cerdas, Patriot Jaya, Harian Patriot dan lainnya. Begitupun, kelahiran antologi puisi, cerpen, novel, naskah drama, kritik dan esei sastra tetap dilakukan pengarang. Tak sah rasanya kalau tidak memiliki buku terbitan sendiri atau bersama antar kota, provinsi dan luar negeri.

Pencerahan paling menarik antar luar negeri adalah dengan digagasnya Dialog Utara. Temu muka sastrawan Indonesia (Medan-Sumut) danMalaysia (utara tanah semenanjung). Diperluas, tidak saja Indonesia-Malaysia, jugaSingapura, Thailand, Brunai. Melakukan diskusi dan penerbitan antologi, “Muara” di Medan dan “Titian Laut” di Malaysia. Sayang, gagasan ini tersendat-sendat jalannya bahkan antologinya belum ada lagi. Perlu ditanya kepada GAPENA Malaysia dan Kordinator Dialog Utara di Medan sebagai penyelenggara.

Sekedar catatan, sastra koran di Medan melahirkan sastrawan periode 40-an dan 60-an seperti Bokor Hutasuhut, Ali Soekardi, A. Azis, Sabaruddin Ahmad, Haiti Ibrahim, Djohan A.Naution, Aldian Arifin, N. A. Hadian, A. Rahim Qahhar, A. A. Bungga, Herman KS., B. Y. Tand, Damiri Mahmud, Shafwan Hadi Umry, Ahmad Samin Siregar, D. Rifai Harahap, Sulaiman Sambas, Dhalika Tadaus, Idris Pasaribu, A. S. Atmadi, Jaya Arjuna dan lainnya. Nama-nama ini, ada yang masih aktif, pensiun sebagai sastrawan atau bahkan sudah meninggal dunia.

Periode 80-an dan 2000-an muncul nama seperti Mihar Harahap, Asro Kamal Rokan, Wirja Taufan, Sugeng Satya Dharma, Tagor Anaxitianur, Gunawan Tampubolon, Y. S. Rat, Arie F Batubara, Iwan Loebis Ikhwan AR, Nina Zuliani, Laswiyati Pisca, Murni Aryanti Pakpahan, Antilan Purba, Budi Hutasuhut, Afrion, M. Raudah Jambak, Hasan Albana, Sartika Sari, Syafrizal Sahrun, Wahyu Wiji Astuti, Ilham Wahyudi dan lainnya. Keterlibatan perempuan periode 2000-an mulai dapat diperhitungkan, termasuk mutunya secara umum.

Hanya persoalannya, karya sastra Medan plus sastrawannya, belum dianggap karya sastra Indonesia atau sastrawan Indonesia. Kalau ingin dihitung sastrawan/karya sastra Indonesia, harus menulis di media Jakarta. Buat antologi terbitan Jakarta, minta editor dari Jakarta bahkan bila perlu tinggal di Jakarta.

Hal ini berarti antara Medan-Jakarta duhulu sama jaraknya dengan antara Medan-Jakarta kini. Padahal dahulu karya sastra Indonesia diskriminasi-sentralisasi, sedangkan kini bersifat desentralisasi-otonomi.

Semestinya, perubahan ini semakin mendekatkan sastrawan/karyanya dalam rumah besar sastra Indonesia. Artinya, karya sastra/sastarawan Medan, seperti Jakarta disebut hasil  sastra/sastrawan Indonesia. Yang penting menggunakan bahasa Indonesia dan menceritakan tentang Indonesia. Sebutannya menjadi karya sastra Indonsia di Medan, karya sastra Indonesia di Jakarta dan sebagainya. Toh, sastrawan Jakarta pun berasal dari daerah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pusat sastra itu ada di daerah-daerah.

Penulis kritius sastra, mpr-oos, ketua fosad, pengawas dan dosen uisu

()

Baca Juga

Rekomendasi