Takengon, (Analisa). Ikan depik yang sudah mengalami penjemuran (pengeringan) sangat diminati pembeli. Selain rasanya yang enak dan gurih, depik kering tahan disimpan lama, tidak berbau dan mudah dibawa keluar daerah sebagai oleh-oleh.
Inen Nova (65), pedagang depik kering di Kampung Kala, Kebayakan, Jumat (10/7) menyebutkan, setiap hari ia bersama suaminya Aman Nova (66) berjualan ikan depik kering di gardu jaga pinggir jalan desa. Menurutnya, cukup banyak yang berminat membeli ikan depik olahannya karena tidak berbau dan ukuran ikannya besar-besar.
Ikan depik (Lasbora Tawarensis) yang hidup dan berkembang biak di perairan Danau Lut Tawar memang memiliki ukuran kecil, layaknya ikan teri di laut. Menurut warga Takengon yang mayoritas penduduknya bersuku Gayo ini, ikan depik ada tiga jenis yang hidup di danau dan ukurannya juga berbeda, ada depik sedang, eyas dan relo.
Agar ikan depik tidak berbau dan gurih, ujar Inen Nova, depik eyes yang baru tertangkap di didisen (rumah yang terbuat dari susunan batu tempat ikan bertelur di pinggir danau) terlebih dahulu dicuci bersih dan disortir. Selanjutnya, langsung dijemur dipanas matahari selama lebih kurang empat hari berturut-turut, setelah itu depik kering sudah siap jual.
Inen Nova mengingatkan, jika depik dijemur kurang dari empat hari, apalagi sempat terkena hujan dipastikan ikan akan berbau saat dicium dan rasanya pun pahit. Saat penjemuran jangan langsung di atas tanah, sebaiknya dibuatkan tempat penjemuran khusus.
Harga jual depik kering berkisar Rp 115 ribu sampai Rp 130 ribu/kilogram untuk kualitas baik. Sementara untuk depik ditangkap dengan jaring (penyangkulen-Gayo red) dijual Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu/kilogram.
“Langganan yang beli ikan depik kering ibu tidak hanya dari Takengon, tapi juga dari Medan dan Banda Aceh, bahkan pernah ada yang pesan untuk dibawa ke Jakarta,” sebut Inen Nova.
Bisa Dibudidayakan
Habitat ikan depik pernah diteliti oleh Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BP3U) Kementerian Kelautan dan Perikanan Palembang yang dipimpin, Dr. Husnah, M.Phil. Menuru Husnah, ikan depik bisa dan berpeluang untuk dibudidayakan, hanya saja sayangnya belum ada yang mencobanya sehingga masih bersifat alami.
Dirusak Manusia
Melihat eksploitasi ikan jenis ini dilakukan setiap hari oleh para nelayan di Gayo, maka potensi kepunahannya lebih besar. Apalagi lokasi ikan depik untuk memijah terutama di tangkapan air danau sudah banyak yang dirusak oleh manusia, belum lagi pencemaran sampah yang cukup memprihatinkan terjadi di seputaran danau, ujarnya.
Telur ikan depik yang diperoleh dari didisen ternyata juga dapat menetas dalam waktu 24 jam dan setelah menetas dua hari larva ikan depik yang berbentuk seperti kecebong berukuran sangat kecil membutuhkan pakan berupa plankton.
Menurut Husnah, banyak telur ikan depik yang terdapat di sekitar lokasi didisen hampir setiap hari dirusak dengan cara dikayuh oleh nelayan agar dapat hanyut keluar dari tempatnya, hal ini tentunya dapat merusak telur-telur ikan depik yang sudah dibuahi.
Ribuan bahkan jutaan telur atau larva ikan depik akan mati sia-sia sehingga mengganggu proses reproduksi alami ikan depik di danau yang tentu saja mempercepat turunnya jumlah populasi ikan depik, selanjutnya berdampak langsung terhadap semakin menurunnya produksi hasil tangkapan.
Sebagai solusi agar nelayan didisen dapat berkontribusi terhadap upaya pelestarian ikan depik, Husnah menyarankan kepada para nelayan agar dapat membuatkan saluran khusus di didisen agar telur-telur ikan depik dapat menetas dan larvanya dapat tumbuh kembali menjadi dewasa.
“Saya rasa tidak banyak habis biaya untuk membuat saluran itu jika dibandingkan dengan penghasilan dari menangkap ikan depik yang mencapai beberapa kaleng dan bernilai jutaan rupiah tiap bulann,” imbau Husnah. (jd)