Memanusiakan Anak Sejak Dini

Oleh: Liven R

ANAK, dalam pertumbuhannya selalu akan merupa SDM potensial bagi kemajuan suatu bangsa/negara di masa depan. Terbentuknya karakter-karakter manusia dewasa yang mulia-­dalam hubungan sosial maupun dalam aspek tanggung jawabnya terhadap nilai-nilai kemanusiaannya, diyakini tidaklah terjadi secara otomatis semenjak seorang anak dilahirkan, melainkan terbentuk sedikit demi sedikit dalam pertumbuhannya­-melalui serapan didikan yang diterimanya, pembiasaan diri, dan apa yang dilihat dari lingkungan sekitarnya sejak masa kanak-kanaknya.

Pada kisah hidup seorang filsuf besar Tiongkok: Meng Zi, diceritakan semasa kanak-kanaknya, Meng Zi kehilangan ayahnya di usia yang masih sangat kecil. Karena amat mencintai suaminya, ibu Meng Zi pun mengajak Meng Zi pindah rumah di dekat pemakaman suaminya.

Setiap hari, ada saja pelayat dan orang-orang yang berduka memenuhi areal pekuburan di dekat rumah mereka. Melihat orang-orang yang berduka, Meng Zi pun bermain dan segera meniru adegan kematian dengan berpura-pura meratap dan menangis. Mengetahui hal ini tidaklah baik bagi pertumbuhan Meng Zi kecil, ibunya memutuskan untuk membawa Meng Zi pindah ke kota.

Di kota, Meng Zi sehari-harinya menyaksikan bagaimana para pedagang menjajakan dagangannya, dia pun bermain dan meniru aksi para pedagang berteriak mengumbar janji; sesekali disertai tipuan kepada pembeli. Melihat hal ini, ibu Meng Zi berpikir tidaklah baik bagi anak kecil untuk belajar hal-hal seperti menipu dan mengumbar janji palsu. Oleh karena itu, sekali lagi dia memutuskan membawa Meng Zi pindah dan mencari tempat yang lebih baik bagi proses pembelajaran Meng Zi.

Di sebuah tempat yang berdekatan dengan sekolah, untuk ketiga kalinya ibu Meng Zi mencoba tinggal menetap bersama anaknya.

Di tempat barunya, setiap hari mereka dapat mendengar suara guru yang sedang menerangkan pelajaran; suara anak-anak yang sedang melafal pelajaran bersama-sama, serta melihat bagaimana anak-anak belajar dan membaca buku. Dengan cepat, Meng Zi pun belajar menghafal kebaikan yang didengarnya; rajin membaca buku dan meniru perilaku anak-anak sekolah yang dilihatnya. Bagi ibu Meng Zi, ini adalah lingkungan baik yang akan membawa kebaikan bagi pertumbuhan Meng Zi di masa depan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tak berpindah-pindah tempat tinggal lagi.

Di masa dewasanya, Meng Zi sungguh tumbuh menjadi seorang yang berguna bagi masyarakat dan negaranya. Tak hanya itu, kitab ajaran moralitasnya yang telah berumur lebih dari duaribu tahun terus dilestarikan ke berbagai negara, hingga sekarang.

Dalam kisah di atas kita disadarkan bahwa anak cenderung meniru apa yang dilihat dan didengarnya. Dengan kata lain, lingkungan berandil memengaruhi karakter seorang anak.

Sebagai orangtua/guru setidaknya terdapat 3 garis besar pengajaran/pembiasaan positif yang seyogianya diupayakan agar menjadi komponen utama pembentuk karakter anak yang tertanam dalam dirinya sejak kecil, dan diharapkan semakin berkembang seiring pertumbuhannya, yakni: belajar percaya dan menghargai diri sendiri, belajar menghargai orang lain, dan belajar  sopan santun serta tata-krama. 

Oleh alasan anak masih kecil, segala sesuatu, hal besar maupun kecil, yang berkaitan dengan kehidupan anak, harus ditentukan oleh orangtua; setelah melewati evaluasi melalui kacamata baik dan buruk orangtua. Benarkah semestinya demikian?

Karena besarnya kasih orangtua kepada anak, sering menjadikan orangtua menjelma diktator dalam kehidupan anak. Sadarkah orangtua: anak adalah manusia yang mempunyai keinginan dan juga pendapatnya dan bukan boneka?

Ketika anak menunjukkan perilaku tak menurut, jangan lantas memvonisnya ‘anak bandel’. Sikap ‘mendadak’ bandel, suka menangis, bahkan melawan orangtua, seringkali adalah wujud protes anak terhadap kondisi ketidaknyamanan yang dirasakannya.

Saya adalah guru pembimbing anak-anak usia sekolah. Saya, belum menjadi orangtua, dan hanya pernah menjadi anak selama hidup saya hingga hari ini. Banyak orangtua murid saya yang bertanya kepada saya bagaimana mereka harus mendidik anak mereka agar menjadi anak baik.

Lalu, apakah Anda bisa memercayai jawaban yang saya berikan padahal Anda tahu saya belum pernah menjadi orangtua?

Karena pertanyaan mengharapkan jawaban. Saya, tak akan menjawab dalam porsi sebagai orangtua, namun sebagai anak.

Di dalam keluarga saya, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan seluruh anggota keluarga, akan dibicarakan bersama. Dalam hal ini, tak peduli berapa usiamu, asal kamu sanggup berpendapat, maka silakan.

Sejak kecil, saya merasa nyaman dengan politik demokratis di keluarga saya. Meski tak selalu pendapat saya diterima, tapi setidaknya saya selalu didengarkan dan merasa dihargai.

Orangtua adalah pengambil keputusan akhir dalam sebuah keluarga. Benar dan setuju! Tapi, sebelum mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri anak, sebaiknya tanyakan dahulu pendapat anak. Biarkan anak belajar mengutarakan keinginannya. Jikalau pendapat yang diutarakan anak kurang baik, jangan lantas mengatakan ide itu ‘terlalu buruk’, tetapi beritahukan apa dampak keputusan yang diambil bagi dirinya juga orang lain. 

Saya percaya, jika anak diberi kepercayaan, dia akan belajar bertanggung jawab. Ketika anak merasa dihargai, akan membangkitkan rasa percaya dirinya dan membuatnya mencintai diri sendiri; sehingga setiap keputusannya yang menyangkut diri sendiri akan dipertimbangkannya dengan baik.

Sederhana bukan? Setiap dari kita pernah kecil; pernah menjadi anak; pernah merasakan bagaimana perlakuan yang membuat kita merasa nyaman, terlindungi, dan dihargai, maka seperti itu juga anak-anak pada umumnya ingin diperlakukan.

Sebuah peribahasa Tiongkok berbunyi: yang bu jiao, fu zhi guo; jiao bu yan, shi zhi duo, memberikan sindiran bahwa ‘melahirkan anak namun tak dididik, adalah kesalahan orangtua; mendidik namun tak tegas, adalah kemalasan guru’. Peribahasa ini mengajarkan bahwa orangtua dan guru semestinya bersinergi dalam mendidik dan membentuk karakter anak sejak kecil.

Pada kejadian belum lama ini, seorang anak (9 tahun, warga negara lain) menyambangi sebuah situs jejaring sosial dan berkomentar tentang kesalahan terjemahan Mandarin-­yang menurutnya­-seharusnya begini dan begitu. Sesungguhnya, bukanlah hal yang luar biasa untuk saling memberi pendapat di ruang jejaring sosial, akan tetapi sebuah syarat mutlak yang harus dipatuhi siapa pun adalah ‘etika menyampaikan pendapat’. Dan, asal tahu, sejak awal anak ini telah menyampaikan pendapatnya (yang sebenarnya salah total) dalam bahasa Indonesia yang kacau disertai dengan kata-kata kasar.

Ketika diberitahukan tentang kesalahannya (disertai gambar kamus terjemahan), si anak bukan menerima kesalahannya, melainkan mulai memaki dan melontarkan kata-kata kasar yang tak berhubungan dengan topik awal pembicaraan.

Profesional Muda, jika suatu ketika Anda melihat seorang anak kecil memaki-maki orang dewasa dengan kata-kata kasar, apa yang Anda pikirkan? ‘Luar biasa hebat dan beraninya anak ini memaki orang dewasa!’ ataukah ‘betapa kurang ajarnya anak ini!’?

Jujur saja, saya berpikir: Wah! Bersekolahkah anak ini? Siapa, sih, orangtuanya? Pernah tidak, ya, dia diajari sopan santun?

Sesuatu yang membuat tercengang kemudian adalah tak lama muncullah ibu si anak, dan turut menyampaikan komentarnya dengan kata-kata yang­-juga­-layaknya seorang yang tak pernah dididik; kasar dan minus sopan santun!

Orangtua, tak dipungkiri memiliki peran dalam melindungi anak-anaknya. Namun, orangtua juga semestinya bijak dalam melihat ‘benar-tidaknya’ kelakuan anak terhadap orang lain, dan bukan melindungi/membela secara membabi buta, meski anak jelas telah berbuat salah (bersikap tak sopan). Karena pembelaan yang tidak tepat, akan membuat anak merasa benar meski salah dan terus mengulangi kesalahannya di kemudian hari.

Anak melakukan kesalahan (khilaf berbuat/berkata kasar) adalah hal yang wajar. Tidak dianjurkan pula untuk langsung memarahi ataupun memberi hukuman ketika anak ketahuan berbuat tak sepantasnya. Akan tetapi dapat disikapi dengan mengatakan kepadanya bahwa saya (selaku orangtua/guru) tak setuju dan tak membenarkanmu berbuat seperti itu, karena hal itu tak baik dan amat memalukan. Selanjutnya janganlah diulangi lagi.

Bukankah adalah sesuatu yang amat disayangkan: seorang anak yang pada dasarnya memiliki hati yang bersih dan karakter seputih kertas, kemudian dibentuk dan diajari (atau mungkin diperlihatkan) bagaimana bersikap kasar dari orangtua dan lingkungan terdekatnya.

Mengapa penting untuk mengajarkan sopan santun dan tahu menghargai orang lain kepada anak sejak kecil?

Suatu ketika, penyeleksian penerimaan asisten guru sedang berlangsung di tempat bimbel kami. Pada jam yang telah ditentukan, seorang pelamar menelepon dan berkata: (tanpa ‘halo’ dan kata sapaan) Saya sudah di depan pintu!

Dari kesan pertama yang ‘kurang baik’, pintu pun dibukakan dan dia melangkah masuk. Pertanyaan demi pertanyaan mampu dijawabnya dengan baik. Dengan penuh percaya diri dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa jurusan Psikologi, yang dalam penerapannya nanti, dia akan mampu membantu kami bagaimana mengajari anak untuk belajar dari segi psikologi anak. Mantap!

Tapi kemudian, untuk menerimanya bekerja perlu pertimbangan lebih lanjut terlepas dari kemampuan akademiknya yang hebat itu. Mengapa? Sederhana saja, perihalnya adalah ketika dia melangkah masuk, kami semua yang berada dalam ruangan tak seorang pun yang terlihat sedang memakai sepatu. Dan, dia masuk tanpa membuka sepatunya! Tidak tahukah dia mengepel ulang lantai itu melelahkan?! Tidak tahukah dia menjaga kebersihan itu penting (walau bukan di rumah sendiri)?

Seorang yang kurang memahami sopan santun (tidak beretika dalam bertelepon) dan tak tahu menghargai orang lain yang telah lelah mengepel lantai (atau apa pun itu), meski pintar dan hebat sekalipun dalam bekerja, dikhawatirkan akan menularkan sikap tak bertata-kramanya kepada anak-anak didik kami nanti. Itu sebab dia tak dapat diterima kemudian.

Adalah kenyataan, pendidikan akademik selalu penting untuk masa depan seorang anak, akan tetapi pendidikan akhlak dan budi pekerti jauh lebih penting dalam menentukan kualitas hidup seseorang di dalam pergaulan dan nilai-nilai kemanusiaannya.

Ibu Meng Zi perlu berpindah tempat tinggal sebanyak 3 kali hanya untuk memberikan sebuah lingkungan yang baik bagi Meng Zi. Dalam kehidupan ini, kita semua memiliki tanggung jawab tak sebatas dalam lingkungan keluarga, namun juga di masyakarat, negara, dan bahkan dunia internasional. Setiap ucapan dan tingkah laku kita menunjukkan siapa diri kita dan bagaimana kita dibesarkan. Oleh karena itu, bentuklah karakter anak yang baik sejak dini. Berikanlah selalu contoh-contoh yang baik dan sebuah lingkungan pembelajaran yang baik, agar anak belajar tentang kebaikan.

Mari bentuk generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia dalam bingkai kemanusiaan! Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli!

* Medan, Juli 2014

* Penulis adalah tenaga pendidik; penulis buku-buku pelajaran Mandarin

()

Baca Juga

Rekomendasi