Oleh: Rosni Lim
Sepasang suami-istri sedang bertengkar. Dalam pertengkaran itu, keduanya mengucapkan kata-kata kasar yang tak enak didengar, kata-kata makian yang bercampur kata-kata kotor. Keempat anak mereka yang masih kecil-kecil, mendengarkan pertengkaran ortu mereka di sudut ruangan sambil meringkuk ketakutan. Segala kata makian dan kata kotor itu terekam di benak mereka, hingga suatu saat ketika mereka besar, mereka masih mengingatnya dengan jelas.
“Ah, (kata-kata kotor), ujian Biologiku dapat nilai 50. (Kata-kata kotor), maunya nyontek saja waktu itu biar nilaiku nggak 50, melainkan 100, (kata-kata kotor).”
Kalimat keluhan di atas, penulis tangkap dari seorang pelajar cowok berseragam putih biru, di suatu pagi yang cerah ketika penulis sedang duduk sarapan di kaki lima.
Merasa takjub dengan banyaknya kata kotor yang diucapkan oleh remaja itu, walaupun dia tahu di depannya ada seorang ibu sedang sarapan semeja dengannya, penulis terus memasang telinga untuk apa yang akan diucapkannya kemudian.
Ternyata, dalam pembicaraan antara remaja cowok itu dengan temannya yang juga cowok, penulis dibuat semakin takjub; dalam setiap kalimatnya selalu dibubuhi dengan “kata sandang” kata-kata kotor yang sebenarnya tak perlu sama sekali!
Temannya yang sedang sarapan, sambil makan sambil mendengarkan celotehan tersebut, dan kebanyakan diam, hanya menanggapi sesekali tanpa sekali pun ikut-ikutan mengeluarkan kata-kata kotor. Sepertinya, remaja yang mengucapkan kata-kata kotor itu memiliki kebiasaan yang sudah parah dengan kata-katanya tersebut, dan dari gayanya berbicara seolah sangat ingin menarik perhatian atau memancing komentar dari lawan bicaranya.
Kejadian kedua, ketika penulis sedang duduk di depan ruko menunggui anak les, keluar dua remaja dari warnet di dekat situ. Keduanya berbicara dengan suara keras di depan warnet. Saking kerasnya suara mereka, sampai-sampai penulis yang duduk berjarak 5 meter dari mereka bisa mendengar dengan jelas.
Salah satunya membubuhi kalimat-kalimatnya yang keras dengan kata-kata kotor yang seolah-olah dirasakannya sebagai suatu variasi yang sangat indah bila diucapkan maupun didengar. Dia berbicara sambil tertawa gembira, sepertinya tidak sedang memaki atau memarahi siapa pun, tapi kok di dalamnya banyak sekali kata-kata kotor? Apa sebabnya dan untuk apa sebenarnya?
Anak-anak kecil, abg, remaja, bahkan orang dewasa sekalipun, entah karena sebab apa memiliki “hobi” untuk mengucapkan kata-kata kotor. Dari mana mereka mendapatkan perbendaharaan kata yang demikian “hebat”, padahal di dalam kelas waktu sekolah dulu, mereka tak pernah diajarkan demikian, bukan?
Pengaruh lingkungan, teman, dan mungkin saja orangtua yang gemar mengucapkan makian, kata-kata kasar, bercampur kata-kata kotor ketika sedang bertengkar di depan anak-anak, secara tak langsung “mengajarkan” mereka untuk ikut menirukannya.
Jangankan kata-kata kotor yang begitu gampang ditiru oleh anak-anak, bahkan syair lagu cinta yang panjang-lebar dan sedang ngetop pun akan dengan mudahnya diserap dan dinyanyikan oleh mereka.
Penulis teringat kejadian belasan tahun lalu ketika sedang jalan-jalan di sebuah plaza mewah. Secara tak sengaja, penulis bersenggolan dengan seorang anak kecil cewek berusia sekitar 3-4 tahun yang penulis rasa belum bersekolah.
Pembaca tahu apa yang diucapkannya kepada penulis sambil memandang dengan sorot mata penuh kebencian? Sorot mata dan kata-kata yang penulis rasa tak pantas ditemukan pada anak balita seusia dia. Dia mengucapkan sebuah kata makian/kata kotor yang bila diterjemahkan seperti sejenis nama hewan. Seumur hidup, baru sekali itu penulis dibuat kaget oleh seorang anak balita!
Anak sekecil itu, cewek lagi, putih dan cantik, dengan spontan mengucapkan kata makian berupa kata kotor dibarengi dengan sorot mata marah yang penuh kebencian. Saat itu di benak penulis cuma satu, orangtuanya yang mengajarinya! Mengajari bukan secara langsung, tapi secara tak langsung, mungkin saja ketika bertengkar mereka mengucapkan kata-kata kotor hingga anak kecil berusia 3-4 tahun tersebut dengan senang menirukannya begitu merasa ada yang mengusik atau mengganggunya.
Dalam masa pertumbuhan, anak-anak, abg dan remaja, sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, mereka juga mudah menyerap hal-hal yang mereka rasa menarik. Apa yang dilihat, didengar, dan dirasa, itulah yang akan mereka tiru.
Tak heran bila ada orangtua yang super ketat, mereka tak akan membiarkan anak-anak mereka bergaul dengan teman-teman yang dirasa kurang baik atau dengan sembarang orang. Tapi bagaimana pun usaha orangtua untuk memproteksi anak-anak mereka, di sekeliling mereka selalu bertebaran hal-hal baik dan buruk yang saling menempel dan tak dapat dipisahkan.
Karena itu, peran orangtua bukanlah memproteksi/melarang anak-anak bergaul dengan siapa-siapa saja atau mencegah mereka bertemu hal-hal buruk yang mungkin sewaktu-waktu bisa ditiru, tapi adalah memberi pengertian kepada mereka, memberi penjelasan disertai alasan yang kuat hingga mereka bisa membedakan dan memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk.
Hal yang membuat kaget mungkin, ketika ada seorang anak yang ditanyai, “Kenapa kamu suka sekali mengucapkan kata-kata kotor, Nak?” Lalu jawabnya, “Ortuku saja begitu, kenapa aku tidak?” Nah!
Teman, kata-kata kotor atau kasar berupa makian yang kita ucapkan itu sama sekali tak ada gunanya bagi kita. Selain merugikan diri sendiri (membuat diri terbiasa berucap buruk), juga tak jarang makian yang kita ucapkan itu akan menyakiti perasaan orang lain. Mungkin bagi kita, merasa lega dan puas setelah memaki seseorang dengan kata-kata kotor, tapi tahukah bahwa luka yang kita tusukkan ke jantungnya akibat kata-kata makian kita itu akan terus membekas dan tak bisa lagi hilang?
Mujur, bila orang yang kita maki itu pemaaf dan tak simpan di hati, tapi bagaimana bila dia itu pendendam dan sangat sensitif? Tentunya berbahaya sekali bila dia terus mengingatnya, kan?
Sebenarnya, bukan saja kata-kata kotor itu tak layak kita ucapkan, bahkan bila ada hal-hal/orang yang sepantasnya kita maki/memperoleh kata-kata kotor pun tak layak kita vonis dan tak harus mengucapkannya; malahan kita harus pintar-pintar mengubahnya menjadi kata-kata baik hingga orang yang seharusnya mendapatkan kata-kata makian itu berbalik ke arah yang benar.
Mulai sekarang, mari kita sama-sama belajar untuk berpikir baik, berbuat baik, dan berucap baik. Kata-kata tak baik yang kita ucapkan bisa menjadi senjata yang membahayakan diri sendiri kelak. Jagalah hati, pikiran, dan hati-hati dengan ucapan. Semoga bermanfaat!
* Desember 2014