Oleh: Jones Gultom.
Pepatah klasik “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” memiliki arti, bahwa apa yang dilakukan guru akan ditiru oleh muridnya. Bila seorang guru berharap muridnya menjadi orang baik, ia harus mengajarkan mereka dengan belas kasih. Karenanya dalam situasi apapun, guru harus mampu menahan diri dan menjaga nilai-nilai keteladanan. Karena kemampuannya itulah ia pantas disebut guru.
Lalu bagaimana dengan guru-guru yang justru menjadi penyebar kebencian, seperti yang terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belum lama ini.
Disebutkan dalam penelitian itu, sebanyak 63,07 % guru terpapar intoleransi. Penelitian ini dilakukan kepada 2.237 guru agama Islam dari berbagai jenjang pendidikan di 34 provinsi di Indonesia. Cukup memprihatinkan, guru yang terpapar intoleransi itu justru lebih banyak dari guru yang masih bertahan dengan kemurnian keguruannya.
Maka kita pun tak perlu heran bila akhir-akhir ini kehidupan toleransi masyarakat bangsa ini semakin dangkal. Salah satu contoh adalah penutupan tiga gereja secara paksa di Jambi. Penutupan itu justru mendapat legitimasi dari pemerintah setempat. Begitu juga dengan kasus speaker adzan di Tanjung Balai beberapa waktu lalu yang menjadikan Meiliana sebagai pesakitan. Masih di tahun yang sama, kasus intoleransi yang diekspresikan dengan cara teror terjadi di Surabaya, dimana tiga gereja diledakkan dengan bom pada Mei lalu.
Di luar kasus-kasus di atas, kita masih bisa menemukan contoh intoleransi itu berseliweran di media sosial. Hampir setiap hari ada postingan ujaran kebencian, baik dalam bingkai politik Pilpres 2019, maupun di luar tema itu.
Membaca media sosial dewasa ini, seperti masuk dalam kubangan radikalisme yang meneror mental kita. Karena demikian massifnya, upaya pencegahan dan penindakan bagi pelakunya, seperti membangun istana pasir. Bahkan, justru semakin parah, karena setiap kali ditindak, akan membuahkan sakit hati dan dendam bagi kelompok-kelompok pendukung pelaku.
Negara pun seperti sudah berada di titik nadir. Tidak punya kemampuan untuk mencegah warganya bertindak anarkis. Negara hanya mampu berbuat manakala peristiswa itu sudah berlangsung. Sekalipun banyak perangkat yang dibentuk untuk itu, namun tetap saja tak mampu menghempang. Maklum ini berkaitan dengan “sesuatu” yang paling fundamental dalam diri manusia. “Sesuatu” yang bibit-bibitnya masih tertanam kuat pada sebagian besar masayarakat negeri ini.
Guru di Zaman 4.0
Kita pun tiba pada revolusi 4.0 yang ditandai dengan peralihan kekuasan dari kelompok kapital ke individu-individu. Fase ini adalah gelombang ketiga dari arus globalisasi. Fase pertama terjadi ketika negara mengkoptasi dunia. Selanjutnya kekuasaan itu diambil alih pemilik modal (kapital) yang kita kenal sebagai revolusi industri. Revolusi industri kembali berevolusi dalam bentuk yang lebih praktis. Revolusi yang kemudian melahirkan dunia virtual individual. Bisa kita rasakan bagaimana kini, kekuasaan itu berada di tangan-tangan individual.
Digitalisme tidak hanya menggantikan peran manusia, namun juga merubah struktur dan interaksi sosial. Setiap individu menjadi media yang dengan leluasa menyebarkan informasi apa saja. Kesempatan dan akses yang mendukung itu, tidak mungkin bisa dihempang dengan aturan-aturan normatif. Sungguh zaman ini peradaban yang paling berbahaya. Peradaban yang melampaui modrenitas yang disebut Filsuf Michel Foucault dan kawan-kawan sebagai postmo.
Kita berada dalam ketegangan karena 7,5 milyar manusia di planet ini berpotensi untuk saling menyerang. Manusia revolusi 4.0 tidak hidup dalam komunalitas real. Tidak terikat pada tata nilai kolektif. Manusia revolusi 4.0 adalah manusia-manusia bebas yang menemukan cara yang pas untuk mengekspresikan kebebasannya itu. Manusia-manusia yang kita sebut milenial yang menghamba pada kecerdasan dan kekuatan dirinya sendiri.
Dalam dunia bisnis, hal itupun terjadi. Perusahaan-perusahaan berevolusi sesuai tuntutan digital. Perusahaan berkantor di gadget. Para pekerja tidak saling kenal. Keluar masuk uang melalui arus transmisi. Kontrol negara hilang. Bisnis menjadi sedemikian absurd. Contoh sederhana terjadi pada industri pers.
Riset perusahaan konsultan McKinsey & Co di ujung tahun 2017 lalu, pun sudah menyebutkan tahun 2030 dunia akan kehilangan pekerja sebanyak 800 juta orang. Mereka akan digantikan oleh robot dan teknologi yang dirancang sedemikian rupa untuk menggantikan peran manusia. Manusia kembali menjadi makhluk tanpa status dengan risiko pengangguran yang luar biasa.
Revolusi 4.0 juga merangsek dunia pendidikan. Kehadiran guru di zaman ini hanya sebagai pelengkap. Guru tidak lagi media transformasi pengetahuan. Para pelajar sudah lebih cerdas karena hidup di alam digital yang menyediakan arus informasi tanpa batas. Para guru, terutama yang masih konvensional, lebih sering menjadi bahan olok-olokan.
Situasi itu sebenarnya bisa dianggap menjadi tantangan, yaitu dengan mengedepankan prinsip sebagai pendidik. Perannya tidak tersentral sebagai sumber ilmu, namun sebagai pengarah. Menjadikan dirinya sebagai contoh. Inilah peluang yang bisa kembali direbut oleh para guru kita. Ke depannya guru-guru kita harus lebih mengandalkan perannya sebagai pendidik, dibanding sebagai pengajar yang rentan oleh zaman itu.
Sifat Keguruan
Guru sejati adalah guru yang mampu mempertahankan keguruannya dalam situasi apapun. Guru sejati akan selalu dibutuhkan di zaman apapun. Manusia tidak akan pernah berhenti mencari dan menemukan keinginannya. Selalu ada ruang kosong dalam proses pencarian itu. Ruang kosong itulah yang harus dimasuki. Setiap kali ruang kosong itu berisi akan menghasilkan ruang kosong lainnya. Selalu demikian yang membuat peradaban berjalan dan mengharuskan kehadiran seorang guru.
Saya teringat dengan kisah seorang murid pertapa di pegunungan Tibet. Si murid yang merasa sudah menguasai nyaris semua ilmu yang diajarkannya, mendesak gurunya untuk menurunkan ilmu pamungkasnya. “Guru berikan aku ilmu pamungkas. Ilmu paling tinggi yang belum guru ajarkan kepadaku!” Terkejut dengan permintaan itu, si guru pun memilih diam. Seingatnya semua ilmu yang dimilikinya sudah diajarkan. Si murid mendesak dan terus mendesak. Gurunya itu berusaha menyembunyikan kebingungannya. Karena didesak terus, akhirnya si guru mengiyakan permintaan muridnya itu.
Hari yang ditentukan pun tiba. Guru dan muridnya itu sudah bersiap-siap. “Ilmu ini sangat tinggi, aku takut tubuhmu tidak bisa menerima. Karena itu kau harus makan sekenyang-kenyangnya dulu,” kata si guru. Si murid itupun mengikuti saran gurunya. Seusai makan dia kembali menghadap gurunya dengan posisi setengah telanjang.
“Aku sudah siap guru!” katanya. Gurunya itu manggut-manggut. Sesaat ia meninggalkan muridnya yang sudah tidak sabar itu. Tak lama si guru muncul dengan sebuah piring di tangannya. “Kau ingin menguasai ilmu yang paling tinggi? Ini dia ilmunya.” Cucilah piringmu, sesudah makan!”
Penulis adalah pekerja seni, media dan budaya.