Urgensi Realisasi Masjid Bersertifikat Tanah Wakaf

Oleh: Dr.OnnyMedaline, SH. M.Kn.

Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan ban­gunan tempat melaku­k­an ibadah salat bagi kaum muslim. Te­tapi karena akar kata “masjid” meng­an­dung makna tunduk dan patuh, ma­ka pada hakikatnya masjid adalah tem­pat melakukan segala aktivitas yang meng­andung kepatuhan kepada Allah swt.

Firman Allah Swt dalam surat Al-Jin (72):18, menegaskan bahwa “Sesu­ngguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, kare­na jangan­lah menyem­bah selain Allah sesuatu pun.” Masjid adalahmilik Allah Swt, karenanya ke­sucian masjid harus dipelihara. Segala sesuatu yang didu­ga mengurangi kesu­cian masjid tidak boleh dilakukan di dalam masjid maupun diperlakukan ter­hadap masjid.

Salah satu wujud menjaga kesu­cian masjid, dengan memper­tegas kedudukan masjid melalui legalisasi status tanah yang di atasnya berdiri bangunan masjid di hadapan hukum sesuai dengan ke ten­tuanhukum wakaf dan pendaftaran tanah wakaf yang ada di Indonesia, berdasarkan UU Wakaf No. 41 Tahun 2004 ten­tang Wakaf dan Peraturan Pelak­sanalainnya. Serta PP No. 24 Ta­hun 1997 tentangPendaftaran Tanah.

Pendapat para ulama secara ijma’ yang dituangkan dalam Fatwa Maje­lis Ulama Indonesia (MUI) No. 54 Tahun 2014 menyatakanbahwa “Status tanah yang di atasnya ada bangunan masjid adalah wakaf. Ada­pun yang belum ber­staus wakaf wajib diusahakan untuk disertifi­kasi­kan sebagai wakaf.

Keluarnya fatwa tersebut dise­babkan oleh berbagai realita yang terja­di ter­hadap kedudukan masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Realita sosial yang terjadi, masih banyak bangunan masjid yang dibangun oleh perorangan, ke­lompok masyarakat, ataupun peme­rin­tah yang belum memiliki doku­men for­mal wakaf.

Sehingga membuka celah terja­di­nya pengalih fungsi wakaf dengan alasan-alasan tertentu, misalnya terjadinya per­ubahan tatakota/wilayah yang salah sa­tunya dengan penggusuran baik oleh swasta atau­pun pemerin­tah tanpa meng­hi­raukan status dan kedudu­kan tanah yang di atasnya bangunan masjid. Pa­dahal seharusnya tanah yang sud­ah diwakafkan dalam hukum Islam tidak boleh ditukar, diubah perun­tukannya, dijual atau dialihfungsi­kan kecuali den­gan syarat-syarat yang dibenarkan oleh syariat hukum Islam maupun oleh per­aturan per­undang-undangan tentang wakaf.

Status Fatwa

Walaupun dalam tatanan perun­dang-undangan di Indonesia, status fatwa yang dikeluarkanoleh MUI bukan me­rupakan jenis perundang-undangan yang mempunyai kekua­tan hukum me­ngikat dan tidak bisa dipaksakan melalui penegak hu­kum.

Fatwa MUI merupa­kan bagian dari hukum yang hid­up dalam masyrakat (living law) dant idak lebih dari pen­dapat hukum (legal opinion) dari hasil musyawarah para ulama, pemimpin, dan cendekiawan muslim dalam me­ngayomi umat untuk mengembangkan kehidupan yang Islami serta mening­katkan partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional. Dalam perkem­bangannya keberadaan fatwa MUI sering dilegitimasi lewat peraturan per­undang-undangan oleh lembaga peme­rintah, sehingga fatwa MUI dapat saja bersifat mengikat selama diserap ke dalam peraturanperundang-undangan.

Fakta MUI No. 54 Tahun 2014 mem­berikan rekomendasi dan menja­dikan pedoman kepada peme­rintah maupun BadanWakaf Indo­ne­sia (BWI) untuk memberi­kan perhatian khusus terhadap status tanah yang berdiri di atasnya ber­upa masjid untuk melakukan pen­dataan dan pensertifikatan tanah wakaf dengan biaya di tanggung oleh negara melalui Kementrian Agama.

Status Tanah Wakafdalam seja­rah hukum pertanahan telah diberi penega­san dalam Pasal 49 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1960 yang meletakkan tanah wakaf dalam lingkup tanah untuk ke­per­luan suci dan sosial yang dilin­du­ngi. Selan­jutnya penegasan tanah wakaf seca­ra teknis diatur lebih lanjut dalam PP 28 Tahun 1977 tentang Perwa­kafan Tanah Milik dan Letakkan Tanah Wakaf sebagai Objek Pen­daf­taran Tanah yang selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 9 PP 24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hu­kum dan per­lindungan hukum, menyedia­kan in­formasi kepada pihak-pihak yang ber­kepentingan, serta untuk menyele­ngga­rakan tertib administrasipertanahan. Da­lam rangka memberi kepastian hu­kum tersebut, maka diterbitkan sertifi­kat tanah wakaf sebagai tanda bukti kepemilikan tanah yang sudah dibuku­kan dalam buku tanah yang bersang­ku­tan.

Peran Pemerintah

Secara garis besar dibutuhkan peran pemerintah dalam proses pen­sertifikatan tanah wakaf, serta du­kungan beberapa instansi peme­rin­tah yang berkaitan dengan perwa­kafan. Kementrian Agama melalui perpanjangan urusan ke Kantor Urusan Agama (KUA) pada tingkat ke­camatan, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupa­kan Lembaga Pemerintah Non Kemen­terian berada di bawah dan bertang­gungjawab kepada Presiden, yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang perta­nahan.

Dalam usaha pengembangan, penge­lolaan, serta pemanfaatan harta benda wakaf, maka Badan Wakaf Indonesia (B­WI) juga dapat membe­rikan saran dan pertim­bangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Adapun mekanisme pendaftaran tanah wakaf tersebut maka melalui kewenangan Kementerian Agama bidang Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertanggung jawab terhadap pemberdayaan wakaf dan dilimpahkan kepada Kantor Urusan Agama (KUA) melaksanakan fungsinya sebagai Pe­jabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PP­AIW) yang berwenang membuat akta ikrar wakaf (AIW) atau Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW).

KementerianAgraria dan Tata Ru­ang/KepalaBadan Pertanahan Nasio­nal (BPN) telah mengeluarkan peraturan mengenai tata cara sertifikasi tanah wakaf. Peraturan yang ditetapkanpada 13 Februari 2017 itu berjudul Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Repu­blik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Dalam Pasal 2 ayat (1) menya­takan bahwa Hak atas Tanah yang telah di­wa­kafkan hapus sejak tanggal Ikrar Wakaf dan statusnya menjadi benda Wakaf. Selanjutnya menyatakan bahwa PPAIW atas nama Nazhir menyampaikan AIW atau APAIW dan dokumen-doku­men la­innya yang diperlukan untuk pendaf­taran Tanah Wakaf atas nama Nazhir kepada Kantor Pertanahan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapu­luh) hari sejak penanda­tanga­nan AIW atau APAIW.

Khususnya di Kota Medan, saat ini jumlah Masjid lebih kurang sebanyak 1.300 masjid yang terse­bar di 21 Ke­camatan artinya jumlah tersebut me­nunjukkan terdapat tanah wakaf yang berdiri di atasnya bangunan masjid. Pe­ngelolaan dan Pemberdayaan tanah wakaf tersebut menjadi tanggung jawab Nazhir wa­kaf untuk mengawasi, melin­du­ngi, dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan peruntu­kannya, termasuk juga melakukan pengad­minis­trasian harta benda wakaf melalui pen­ser­tifikatan tanah wakaf. Se­lanjutnya nazhir dapat melaporkan pe­laksanaan tugasnya kepada Badan Wakaf Indone­sia (BWI).

Pendaftaran tanah wakaf yang di atas­nya terdapat bangunan masjid men­jadi urgen dibicarakan oleh karena konklik-konflik tanah wakaf khususnya di Kota Medan di­kare­nakan masalah ta­nah wakaf yang belum memiliki ser­tifikat tanah wakaf sehingga dengan mudah ter­jadinya alih fungsi atau tu­kar guling masjid kekawasan lain. Se­harus­nya hal tersebut tidak boleh terjadi ter­hadap tanah yang sudah dalam status wakaf, sebagaiman yang disebutkan dalam Pasal 40 UU No. 41 Tahun 2004 bahwa: harta benda yang sudah diwa­kafkan dilarang: (1) dijadikan jaminan, (2) disita, (3) dihibahkan, (4) dijual, (5) diwaris­kan, (6) ditukarkan, atau (7) dialih­kan dalam bentuk pengalihan hak lain.

Berikut beberapa contoh masjid yang berada Kota Medan yang masih belum ada kejelasan status tanah wakafnya, yaitu: Masjid AmalSila­turahmi, MasjidAl Jihad, masjid Al Badar, masjid Al Khairiyah, dan masih terdapat beberapa masjid yang dalam bermasalah.

Beberapakendala yang dihadapi dalam pensertifikatan tanah wakaf adalah: (1) Sikap mental sebagianumat Islam yang masih berprinsip bahwa wakaf adalah ibadah jadi tidak perlu melakukan administrasi terhadapnya, (2) Masih ada sebagian masyarakat yang tidak perduli, bahkan belum per­caya tentang niat baik pemerintah bahwa pensertifikatan tanah wakaf tersebut merupakan bentuk perlindu­ngan harta benda wakaf dan untuk memper­tahankan nilai keabadian wa­kaf. Hal ini dikarenakan belum opti­mal­nya pemberian bim­bingan dan pema­haman kepada nazhir dan masya­rakat pada umumnya.

Selanjutnya (3) Pemerintah juga kurang terfokus dalam mengurus harta wakaf terutama terhadap keberadaan mas­jid. Hal ini terbukti kurang maksi­mal­nya koordinasi dari instansi-instansi yang terkait, baik Kementrian Agama maupun Badan Pertanahan Nasional.

Selanjutnya, (4) Lemah­nya kesa­daran nazhir, termasuk sumber daya para nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf pada umumnya, (5) Terba­tasnya dana untuk melakukan pen­sertifikatan tanah wakaf terutama terhadap masjid Oleh karenanya untuk memakmurkan wakaf bukan hanya terfokus pada pemberdayaan masjid sebagai tempat ibadah yang dikelola secara produktif, akan tetapi harus juga sekaligus memberi kejelasan dan kepastian hukum terhadap status pen­sertifikasian tanah wakaf yang bertujuan meminimalisir terjadinya konflik yang terjadi antar umat Islam. Sehi­ngga kemaslahatan masjid untuk umat akan terwujud secara maksimal baik secara administrasi maupun tujuan kesejahteraan umum.

(Penulis adalah DivisiBalitbang BWI Sumatera Utara)

()

Baca Juga

Rekomendasi