
Oleh: Sumiati Al Yasmine. Tak akan pernah sama antara airmata dan kerinduan
Karena kerinduan akan selalu menjadi kerinduan
Tak akan pernah sama antara lelah dan keperihan
Karena keperihan akan selalu menjadi luka
Biarlah luka menjelma luka
Kerena luka akan tetap menjadi luka yang sempurna….
Kini ia menyadari bahwa kebahagiaan yang begitu dirinduinya akan menjadi bumerang yang siap meledak kapan saja, ataukah kerinduan itu tak akan pernah menjadi miliknya. Sejauh kaki melangkah, menentukan sebuah pilihan adalah yang terberat, namun memilih dalam hidup adalah bagian dari peranan yang harus dilakoni, sejatinya pilihan itu adakalanya membuat hati berkecamuk, rancu dan ambigu, dengan segala keterbukaan hati yang penuh keyakinan maka ia memutuskan memilih lelaki itu untuk menjadi teman hidupnya seumur hidup. Naisa, tak mampu berkutik lagi ketika Zaid benar-benar melakukan tindakan yang terbilang romantis, ia datang ke tempat kerja Naisa dengan membawa bunga-bunga favorit kesukaan perempuan itu, azalea, mandevilla, zinnia, kuntum-kumtum bunga itu telah melelehkan hati Naisa, terlebih Zaid bersimpuh di hadapan Naisa, mengutarakan isi hatinya dengan tatapan mata yang dalam, kedua mata itu mampu menembus ruang labirin jantung Naisa perlahan-lahan namun membekas.
Segala perasaan, perhatian dan kasih sayang telah Zaid utarakan kepada Naisa melalui puisi-puisi roman picisan, di setiap harinya ada sepucuk surat terlayangkan di meja kerja Naisa, lagi-lagi surat itu menjadi perwakilan isi hati Zaid yang terlampau mencintai sang gadis pujaan. Di dalam suratnya Zaid menjelaskan bahwa ia telah menemukan calon pendamping hatinya yang akan ia cintai dengan kesempurnaan cinta yang ia miliki, di baris terakhir terselip puisi bermakna yang mampu membuat jantung Naisa berdebar dengan haluan frekwensi yang menjulang tinggi.
Kau akan menjadi satu-satunya hati yang tak pernah terbagi
Hanya ada satu hati, satu-satunya rasa yang tak pernah terbelah
Satu hati itulah kau….
Hati yang mendampingiku hingga mati menjadi sebuah akhir
Hatiku hatimu satu, satu cinta, satu hidup….
Satu yang terlebur dalam kentalnya darah
Naisa tak mampu menghadang lajunya airmata yang berkerumun dari kedua retina matanya ketika membaca puisi ungkapan hati dari lelaki yang mencintainya, apa yang harus ia khawatirkan jika ia segera menjatuhkan pilihan kepada Zaid, lelaki yang sudah siap lahir dan bathin untuk menikahinya, lelaki yang sudah mapan dalam pekerjaannya, memiliki visi dan misi hidup yang jelas, pribadi yang semangat, pekerja keras, bertanggung jawab, segala yang ada pada dirinya sudah lebih dari cukup. Bagi kebanyakan perempuan, Zaid adalah kategori lelaki idaman yang sangat layak untuk dijadikan suami. Tak ada lagi keraguan di hati Naisa untuk menjatuhkan pilihan, terlebih ketika lelaki yang dicintainya itu datang ke rumahnya dan mengutarakan niatan baiknya kepada kedua orang tuanya, segalanya tersambut dengan baik, kedua orang tua Naisa menyambut niatan baik Zaid yang ingin menikahi putrinya.
Bagi seorang perempuan bersanding di pelaminan adalah hal yang paling membahagiakan, kebahagiaan yang tak mampu di definisikan dengan apa pun, waktu seakan menjadikan Naisa perempuan yang paling bahagia di dunia ini. Satu-satunya kebahagiaan yang harus disyukuri dengan kesempurnaan hati ketika pada akhirnya Naisa mampu mengikat hati dengan lelaki yang ia cintai dengan sepenuh rasa, sepenuh raga, mengabdi dengan sebaik-baiknya kepada suaminya adalah cita-cita terhakiki yang tertancap teguh di hatinya. Hari-hari yang dijalaninya akan berubah dengan di warnai hal-hal yang mengesankan, di setiap harinya akan ada cinta dan kasih sayang penuh makna dari sang suami, di setiap harinya akan ada cerita-cerita istimewa tentangnya dan tentang suaminya. Begitu indahnya menghabiskan waktu bersama dengan orang yang paling berarti dalam hati.
***
Hari yang dilalui ternyata tidak seindah dengan pengharapan yang ada di hati, romantisnya cinta dan kasih sayang hanya sepenggal untuk berlabuh, tak ada waktu yang mengesankan, tak ada hal-hal yang bermakna di setiap episode yang di tuai, segalanya berjalan dengan hambar, kaku dan menjenuhkan. Tak ada lagi puisi-puisi indah bersulam rindu, puisi-puisi yang memverbalkan tentang kesejatian cinta secara utuh, puisi-puisi penuh ikatan kasih untuk saling berbagi, yang tersisa hanyalah hari-hari penuh kekecewaan dan kegetiran. Gurat senyum yang mengembang telah layu, kebahagiaan yang bersemayam dalam raga hanya tinggal puing-puing ampas debu. Naisa tak memahami apa yang tengah terjadi dalam biduk rumah tangganya belakangan ini, selama ini ia sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik, menjadi yang terbaik di mata suaminya dalam hal apa pun, namun segala upaya itu sepertinya tak mampu menjadi nilai lebih di kedalaman hati suaminya. Permasalahan sekecil apa pun menjadi perkara yang besar bagi suaminya, setiap harinya yang ia lontarkan tentang kekurangan-kekurangan Naisa dalam mengurus rumah tangga, kekurangan tersebut dijadikan sebagai lahan pertengkaran.
“Hidup berumah tangga denganmu hanya membuat beban dalam pikiranku bertambah menggunung, aku ingin sesuatu hal yang lebih fresh ketika pulang ke rumah, tak bisakah kau mengurus rumah dengan lebih baik?”
“Seharian di rumah apa saja yang kau lakukan? Masakan hambar, ruang tamu berantakan, tak bejus menyetrika pakaian kerja, halaman rumah tidak tertata dengan rapi, lantai rumah yang kotor bahkan meja kerjaku tak pernah kau bersihkan!”
“Aku sudah lelah bekerja, inikah balasanmu kepada suamimu…..!”
“Aku iri melihat istri teman sekantorku yang tak pernah membuat kecewa suaminya, selalu becus dalam mengurus rumah tangga, berbeda dengan dirimu yang tak punya keistimewaan apa-apa.”
“Aku tak suka kau bandingkan dengan perempuan mana pun.”
“Hebat, hebat sekali istriku ini, sudah berani menjawab perkataan suaminya, dasar perempuan kurang ajar…..!”
Praakkk…….tamparan keras mendarat di pualam pipi Naisa, seketika kedua mata sayu Naisa merembeskan bening airmata yang tak mampu ia bendung, sakitnya tamparan yang melebam di pipinya tak mampu menyamai sakit hatinya yang kini telah bersimbah darah yang mengental, lelaki yang ia puja dan ia cintai sepenuh hati selama ini telah berani berlaku kasar kepadanya, inikah cinta sejatinya namanya, kalau seseorang yang di cintai tega melukai hati dan fisiknya. Apalagi yang kurang, segala urusan rumah tangga telah Naisa lakukan tanpa pernah mengeluh sedikit pun, tugasnya sebagai seorang istri telah ia tunaikan dengan sepenuh hati, perkara mengurus rumah dan segala isinya telah terlaksana dengan baik, dulu suaminya tak pernah meributkan tentang perkara ini dan itu, Zaid selalu punya kebesaran hati atas apa pun yang di lakukan sang istri, kini setiap kekurangan-kekurangan Naisa di mata suaminya menjadi api penyulut kemarahan yang siap menghantamnya tanpa timbang rasa, Zaid begitu berbeda, apakah hatinya tak lagi mencintai Naisa sebagai satu-satunya cinta yang ada di kedalaman hatinya? Entahlah……hanyalah waktu yang mampu menuliskan riwayat sebuah kebenaran yang tak akan pernah terbantahkan.
“Kau tega menyakitiku mas, kau lupa pada janji setia yang pernah kau ikrarkan di hadapanku beberapa tahun yang lalu, kau bilang pantang bagimu untuk melukai perempuan yang kau cintai, ternyata janji setiamu itu hanyalah sampah….!”
“Persetan dengan janji setia itu!”
“Pergilah dari hadapanku sekarang juga, aku muak melihatmu, wajahmu membuatku ingin muntah.” Teriak Zaid di hadapan Naisa sembari membanting benda-benda yang ada di dekatnya, airmata Naisa bertambah mengucur dengan deras, dengan hati yang terluka Naisa pergi dari hadapan suaminya, isak tangis perempuan itu terlampau menggetirkan dan menyayat.
***
Sunyi hanya mampu melumat kepedihannya dalam diam, luka tak mampu terganti sekalipun hari terus beranjak pergi untuk menuliskan tembang elegi kisahnya, di antara ketertatian hati untuk melangkah, di antara remah airmata yang terselubung dalam kantung jiwa, Naisa berdialog dalam hatinya, berusaha untuk menemukan letak kesalahan yang ada dalam dirinya, apa yang salah! Hati Naisa tetap menegaskan bahwa selama ini tanggung jawabnya sebagai seorang istri telah ia lakukan dengan senang hati, dengan penuh kebahagiaan tanpa beban. Ada sesuatu hal yang telah terjadi dalam diri suaminya, mungkinkah takdir tak akan lama lagi hendak mencuatkan dilema tragis di dalam bahtera rumah tangganya?
Seperti biasanya Naisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya dengan penuh semangat, ia ingin membuat suaminya bangga dan tidak kecewa, sepulang kerja nanti ia ingin melihat suaminya tersenyum dengan bahagia, ia ingin senyum suaminya itu kembali merekah seperti dulu, setelah beberapa pekan ini meredup di balik awan yang menghitam, tidak ada waktu bagi Naisa untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, saat ini yang harus ia lakukan adalah mengabdi sepenuhnya kepada suaminya, melaksanakan tugas rumah tangga dengan penuh sinergi dan lebih baik lagi.
Naisa perempuan berpendidikan tinggi yang rela meninggalkan rutinitas karir bekerjanya yang sudah mapan demi sang suami, karena sebelum menikah Zaid meminta kepadanya untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, tanpa ragu dan berpikir panjang lagi, Naisa segera mengundurkan diri dari pekerjaannya. Rutinitas yang berkaitan di luar rumah secara total sangat di larang oleh suaminya untuk dilakukannya, bahkan untuk sekadar jalan-jalan saja menikmati suasana yang baru agar tak suntuk pikiran, suaminya melarangnya dengan keras, alhasil dari bangun hingga tidur kembali pemandangan yang selalu Naisa lihat tak lain adalah urusan rumah tangga meluluh, tak ada warna yang lain yang mampu ia sulam untuk mencipta makna dan rasa dalam perjalanan hidupnya, begitu pun demikian ia tak pernah menggerutu di hadapan suaminya, tak pernah merasa keberatan dengan keputusan suaminya, ia laksanakan segala kemauan dan keputusan suaminya sebagai pengabdian terindah yang ia lakukan sebagai seorang istri.
Lebih parah lagi, Naisa tak di izinkan untuk menggunakan Hp, tak diizinkan menonton televisi, mendengarkan radio, apa lagi menggunakan hal-hal yang berkaitan dengan tekhnologi, Naisa hanya di perbolehkan membaca setumpuk buku-buku dengan berbagai jenis genre, malamnya Naisa harus menjelaskan kepada suaminya tentang isi buku yang sudah ia baca, jumlah buku semakin hari semakin bertambah, bila ada genre buku yang baru Zaid langsung membelinya, ia menginginkan istrinya memanfaatkan waktu yang ada di rumah untuk membaca, bila sehari saja Naisa tak membaca maka akan diberi hukuman oleh suaminya, sering kali ia mendapatkan hukuman tidur di lantai hanya beralaskan karpet. Untuk itulah sebanyak apa pun tugas rumah tangga yang ia selesaikan, ia tak boleh kehilangan waktu untuk membaca buku.
Di tengah kesibukan Naisa membereskan kamarnya, kedua matanya tertuju pada hp milik suaminya yang tertinggal di atas tempat tidur, bersegera ia raih hp tersebut, ada sepuluh panggilan tak terjawab dari hp suaminya, Naisa sangat penasaran, mungkinkah yang menelepon adalah rekan bisnis suaminya? Begitu khawatirnya Naisa pada suaminya, tentunya hp ini sangat penting bagi suaminya, terlintas dalam hati Naisa untuk mengantarkan hp milik suaminya ke kantor, namun ia terperanjat bukan main saat memeriksa nama dan identitas pemilik nomor tersebut, Viola! Siapakah perempuan ini? Namanya masih asing di telinganya, Naisa bertambah penasaran, bersegera ia buka kotak message dan membaca semua pesan yang ditujukan suaminya untuk perempuan bernama Viola.
“I love You, kekasih hatiku….”
“Sayang, perjalanan rumah tangga yang ku lalui bersama istriku terasa menjenuhkan dan hambar tanpa bahagia.”
“Ketika beberapa bulan menikahinya aku baru menyadari ternyata ada bidadari yang lebih jelita di banding dirinya, ketika hidup berdampingan dengan dirinya aku baru memahami ternyata ada rembulan yang lebih rupawan dari dirinya.”
“Ketika menjalani kehidupan bersamanya aku baru mengerti ternyata ada pelangi yang lebih memukau di banding dirinya, ketika melalui perjalanan kehidupan dengannya di setiap harinya aku benar-benar tersadar bahwa ada kelopak cahaya yang lebih indah melebihi dirinya, cahaya istimewa yang lebih indah itu adalah dirimu, terima kasih telah berkenan menjadi tulang rusuk keduaku, engkau akan menjadi yang terindah hari ini dan selamanya….”
“Bersabar sayang untuk menunggu bulan madu kita….”
Tubuh Naisa bergemetaran, singgungan ruas bibirnya menggeletar, seakan badai menghantam labirin jantungnya hingga remuk redam, airmata itu kembali turun dengan derasnya, airmata yang lahir dari kesakitan hati yang terkoyak. Betapa sakitnya hati ini, ketika kesetiaan terinjak-injak dengan begitu brutalnya, sebuah pengabdian tulus harus dibayar dengan perselingkuhan, siapa pun itu tak akan sudi untuk menerimanya, makar perselingkuhan ini tak termaafkan. Segala pengorbanan telah dilakukan, segala kegetiran telah di lumat, segala kepedihan telah di telan, selama ini Naisa telah memberikan seluruh jiwa dan raganya untuk mengabdi kepada suaminya, tapi pengabdian itu tak terbalas dengan kesejatian cinta dari sang suami, pengkhianatan ini terlampau menyakitkan, perempuan sehebat apa pun pasti akan terluka hatinya ketika tak lagi menjadi satu-satunya cinta yang ada di hati suaminya.
Langit menghitam, gugusan waktu meronta dalam siklusnya, airmata Naisa tak berkesudahan, seketika itu juga ia teRingat kepada kedua orangtuanya, selama ini kedua orangtuanya selalu membanggakan keharmonisan rumah tangganya bersama suaminya, keharmonisan macam apa yang dimaksud, ternyata di balik keharmonisan tersebut tersimpan sampah busuk perselingkuhan suaminya, aroma busuk itu tak akan lama lagi akan tercium dan terendus oleh siapa saja termasuk kedua orang tuanya, biar saja semua orang mengetahui keburukan rumah tangganya, tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari ikatan pernikahannya, segalanya telah hancur lebur, terhantam ombak yang menyeringai dengan dahsyat, kini yang tersisa hanya puing-puing kelam yang tak akan lama lagi akan berubah menjadi remah abu.
“Naisa, kau mau pergi ke mana?”
“Naisa, kenapa kau tak menggubris perkataanku?”
“Naisa!!!!” Teriak Zaid dengan lantang, ia sangat kesal ketika pulang ke rumah tidak ada sambutan baik dari istrinya.
“Kau tak perlu mengatur kehidupanku lagi.”
“Apa maksudmu berkata seperti itu, aku tak mengerti?”
“Aku berhak untuk mengatur hidupmu karena kau adalah istriku.”
“Kesalahan terbesarku yang tak mampu kuperbaiki adalah kenapa aku harus jatuh hati padamu? Mencintaimu begitu dalam membuat kedua mataku buta hingga tak mampu melihat sisi keburukanmu dengan hati yang terbuka. Kenapa tidak dari awal aku mengetahui keburukanmu? Jika sedari awal aku mengetahuinya mungkin hatiku tak akan sesakit ini.”
“Betapa bodohnya aku telah menganggap dirimu sebagai suami yang paling baik sedunia, ternyata hatimu tak lebih seperti seonggok bangkai busuk yang penuh belatung.”
“Naisa jaga perkataanmu! Kau jangan bertindak konyol.”
“Konyol katamu, kau yang bertindak konyol di belakangku, kau selalu mengatakan bahwa aku akan menjadi satu-satunya cinta terindah dalam hidupmu, satu-satunya hati yang akan di cintai dan tak akan terbagi, mungkin kau sudah amnesia hingga lupa dengan perkataan yang pernah kau ucapkan kepadaku, dasar lelaki bedebah, kau mencintai hati yang lain di belakangku, kesetiaan dan pengabdianku telah kau cincang-cincang dengan sadisnya….” Isak tangis Naisa bertambah meradang dan berkecamuk, ia lemparkan hp milik suaminya tepat di hadapannya, lantas ia berlalu pergi dengan membawa airmata kegetirannya seorang diri.
Zaid hanya terdiam dalam kesendiriannya, ia tak mampu mengelak dari sebuah kebenaran, benar adanya bahwa ia telah mengikat hati dengan cinta yang lain di belakang Naisa.
Sunyi telah menggenang di sayatan luka Naisa yang menganak sungai, luka yang tak mampu di redam, luka yang telah terkatung-katung di bibir waktu….
Aku tak lagi menjadi satu-satunya
Tak lagi satu
Satu telah menjadi dua
Ia telah mendua di balik cinta yang kupintal tanpa lelah....