
Oleh: Sudarma Amirul Hatz Saragih
Dalam teori fungsional dijelaskan bahwa setiap sistem mempunyai komponen-komponen. Komponen yang ada di dalam sistem mesti menjalankan perannya dengan baik agar sistem dapat berfungsi. Kurang lebih seperti itulah layaknya sebuah keluarga, keluarga ialah sistem dan anggota keluarga adalah komponen-komponennya.
Kultur kehidupan keluarga di Indonesia, pada umumnya menggambarkan seorang ayah yang perannya lebih berorientasi pada perlindungan dan ibu yang orientasinya lebih kepada pengasuhan. Lebih dari itu, dalam ilmu sosiologi dijelaskan bahwa keluarga mempunyai peran pendidikan terhadap anak, akan tetapi sekali lagi kultur kekeluargaan kita pada umumnya menunjukkan peran seorang ibu dalam mendidik hanya terbatas kepada anak, sementara ayah dapat mendidik seluruh anggota keluarganya.
Pada posisi inilah terlihat betapa krusialnya peran seorang ayah dalam keluarga. Sebagai guru dalam keluarga perannya menentukan sistem itu dapat berfungsi atau tidak. Seorang ayah memang mempunyai tanggung jawab yang lebih dalam mengelola keluarga. Hal itu pula yang dijelaskan dalam hadits, dimana terdapat sepenggal kalimat yang memiliki arti “setiap lelaki adalah pemimpin atas keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban”.
Mencetak Generasi
Sejauh mana seorang ayah memikirkan pendidikan anaknya menunjukkan visioner atau tidaknya ia. Dikatakan demikian karena memang pendidikan anak adalah bentuk kepedulian orang tua terutama ayah, karena umumnya perannya sebagai pencari nafkah dapat menentukan kemana arah nafkah tersebut ia ingin gunakan.
Dalam penelitian Harmaini, Vivik Shofiah, dan Alma Yulianti yang berujudul “Peran Ayah Dalam Mendidik Anak” yang dilakukan pada 166 siswa SMA sebagai responden, dengan rincian laki-laki sebanyak 67 orang dan perempuan sebanyak 99 orang, disimpulkan bahwa para siswa SMA tersebut memandang peran ayah dalam merawat anak berdasarkan pada tiga poin. Pertama kebutuhan afeksi, seperti memberikan perhatian, membahagiakan, memberikan rasa aman, memberikan yang terbaik, serta memberikan perhatian pada saat sakit. Kedua pengasuhan, seperti meluangkan waktu, memberi nasehat, mengingatkan, mengajarkan serta menjaga. Terakhir dukungan finansial, seperti memberi makan, memberi uang jajan serta memenuhi kebutuhan.
Dalam penelitian itu dapat kita ketahui bahwa anak pun memiliki pemikiran bahwa seorang ayah mempunyai peran dalam memperhatikan pendidikannya (mengajarkan). Mengenai arah nafkah yang sebelumnya kita bahas, sudah banyak pemberitaan tentang seorang ayah yang pekerjaannya tidak prestisius namun anaknya mampu menempuh pendidikan yang tinggi dengan hasil yang baik.
Seperti yang diberitakan Liputan6 pada 9/3/18 yang berjudul “Kisah Sukses Raeni Anak Tukang Becak, Jadi Dosen dan Siap Raih Doktor”. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nya pada saat lulus sarjana dari Universitas Negeri Semarang sebesar 3,96. Berita ini mencuat saat Raeni diantar ayahnya menggunakan becak dari Kendal ke Semarang tahun 2014 silam, ia menjadi wisudawan terbaik meski ayahnya seorang tukang becak.
Begitupula yang diberitakan Kompas 8/9/19 yang berjudul “ Cerita Anak Tukang Becak Raih Gelar Doktor di Usia 27 Tahun”. Lailatul Qomariyah anak dari Saningrat (43) dan Rusmiati (40) meraih gelar doktor teknik kimia di Fakultas Teknologi Industri (ITS) Surabaya, dari 80 lebih mahasiswa yang mengikuti program doktoral, ia siap mengikuti sidang terbuka dan dinyatakan lulus dengan nilai IPK 4.0.
Dari setidaknya dua berita di atas, peran ayah sebagai guru dalam keluarga yang menanamkan pendidikan pada anaknya dapat dijalankan dalam kondisi status ekonomi rendah sekalipun, hanya saja semua kembali pada ayah dalam memainkan perannya. Sebagai seseorang yang dapat mendidik seluruh anggota keluarga itu berarti perannya mempengaruhi peran anggota keluarga lainnya agar sistem dapat berfungsi.
J Verkuyl dalam jurnal Heman Elia tentang “Peran Ayah Dalam Mendidik Anak” menyebutkan peran ayah dalam tahun-tahun pertama adalah membantu ibu memberikan perawatan terhadap anak. Setelah itu ayah menjadi kepala keluarga dan berperan pada perbatasan antara keluarga dan masyarkat. Ayah membawa keluarganya ke lingkungan masyarakat, dengan demikian ia bertanggung jawab dalam mengajari istri maupun anak-anaknya dalam hidup bersosial.
Menurut Richard C. Halverson seorang ayah bertanggung jawab atas tiga tugas utama: Pertama, ayah haruslah mengajar anaknya tentang Tuhan dan mendidik anaknya dalam ajaran agama. Kedua, seorang ayah haruslah mengambil peran sebagai pimpinan dalam keluarganya. Ketiga, ayah haruslah bertanggung jawab atas disiplin.
Dari sekian banyak peran yang harus seorang ayah lakukan, satu hal yang menjadi sangat penting adalah perannya sebagai “guru” dalam keluarga. Guru dalam keluarga artinya memberikan nasehat, menjadi teladan, serta mengajarkan hal-hal yang baik pada istri dan anak-anaknya. Sehingga hubungan antar anak dengan orang tua, anak dengan saudara kandungnya, dan orang tua dengan anak dapat berjalan dengan baik.
Setelah keluarga sebagai sistem telah berfungsi maka dalam kehidupan bermasyarakat pun akan ditemui jalinan sosial yang baik dan bersifat kontinu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa ayah setelah membantu ibu merawat anaknya ia harus berperan sebagai jembatan antara keluarga dan masyarakat.
Perjuangan seorang ayah barangkali terasa begitu berat apabila membaca tulisan ini. Tapi memang seperti itulah seharusnya peran yang dijalankan seorang ayah, sehingga apabila itu yang terjadi dalam kehidupan kita, kita tidak menemui lagi anak-anak yang marbutut (mencari barang-barang bekas) sementara ayahnya masih ada, atau tidak ada lagi keributan antar tetangga karena seorang istri yang hobi memprovokasi.
Bagaimanapun, kegagalan seorang istri dan anak merupakan kesalahan seorang ayah, dan sebaliknya. Tentulah ayah yang baik pasti mampu memperjuangkan keluarganya menjadi keluarga yang baik, memperjuangkan anak-anaknya agar menjadi generasi bangsa yang berguna, sekalipun ia hanya seorang tukang becak. Menjadi ayah berarti menjadi guru dalam keluarga, menjadi guru dalam keluarga berarti menjadi orang yang visioner dan menjadi visioner tak perlu berpendidikan tinggi hanya perlu peduli pada masa depan anggota keluarga.
Dengan kuatnya peran ayah dalam keluarga, maka penulis berpendapat persoalan sosial dapat berkurang, terutama masalah sosial anak. Anak-anak gelandangan dapat berkurang bila ayah peduli pada masa depannya. Begitupula anak-anak yang banyak menghabiskan waktu di warnet (warung internet) yang saling lempar kata-kata kasar, pun akan berkurang.
Dulu bung Karno dan bung Hatta berdebat soal bagaimana mencapai kemerdekaan. Bung Karno lebih memilih jalur perang untuk merdeka, bung Hatta menyarankan agar ditanamkan pendidikan dalam keluarga maka dengan sendirinya bangsa akan menuntut merdeka karena mayoritas rakyat sudah berpendidikan. Saran bung Karno saat itu benar adanya, namun saran bung Hatta tidak pula salah, dalam kondisi saat ini dimana bangsa sudah merdeka dari penjajahan saatnya saran bung Hatta ayah-ayah terapkan dalam keluarga, agar kelak anak-anak dapat merdeka menghadapi kehidupan duniawi. Memang, peran ayah begitu berat bila merujuk pada tulisan ini, tetapi seperti kata pepatah Leiden is Lijden (memimpin adalah menderita), Selamat Hari Ayah! ***
Penulis adalah mahasiswa (Ilmu Kesejahteraan Sosial) Universitas Sumatera Utara.