
Oleh: Eka NAM Sihombing. Dalam rangka menjaga keseimbangan dalam proses persidangan di pengadilan sebagai upaya mencapai keadilan substantif, hakim tentunya memerlukan informasi yang komprehensif perihal perkara yang dimohonkan oleh para pihak, begitupula para pihak tentunya memiliki hak untuk didengarkan pendapat atau argumentasinya terutama dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung (Judicial Review/JR). Proses persidangan yang demikian hanya bisa diwujudkan apabila peradilan JR dimaksud menerapkan open court principle atau asas persidangan terbuka untuk umum secara paripurna. Pengabaian terhadap asas ini dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam rangka menegakkan asas dimaksud, beberapa elemen masyarakat mengajukan permohonan JR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon uji materi tersebut meminta agar MK menyatakan ketentuan Pasal 31A ayat (1) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum” dan pemohon juga meminta ketentuan Pasal 31A ayat (4) dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena menjadi tidak relevan untuk dipertahankan keberadaannya.
Namun, MK pada Kamis (24/01/2019) menolak permohonan uji materi terhadap konstitusionalitas Pasal 31 A ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UUMA). Dalam Putusan MK tersebut salah satu hakim MK (Saldi Isra) memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Saldi Isra berpendapat bahwa dalam mengadili dan memutus permohonan pengujian norma yang diajukan oleh para Pemohon, semestinya Mahkamah Konstitusi berpegang, salah satunya kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017, tertanggal 20 Maret 2018.
Lebih lanjut, dalam dissenting opinion nya disampaikan bahwa dengan merujuk putusan tersebut, meskipun UU MA tidak mengatur secara eksplisit bagaimana proses pemeriksaan terhadap permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sebagai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 mestinya cara berfikir hukumnya adalah menyejajarkan proses pengujian di MA dengan proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Keharusan demikian tak hanya disebabkan 44 karena pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUXV/2017, tetapi juga terdapat amanat Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang secara eksplisit menyatakan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Putusan MK yang menolak permohonan tersebut tentunya menimbulkan kekecewaan dari berbagai kalangan yang menginginkan proses persidangan JR di MA benar-benar terbuka untuk umum tidak terbatas hanya meminta keterangan dari para pihak secara tertulis sebagaimana layaknya persidangan pengujian Undang-Undang terhadap UUDNRI Tahun 1945.
Penerapan “Asas Persidangan Terbuka untuk Umum” dalam JR di MA
Jeremy Bentham menyatakan bahwa “Keterbukaan adalah jiwa keadilan, taji tertajam dan penjaga terkuat dalam melawan ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim diadili ketika ia mengadili”. Salah satu asas yang sangat penting dalam hukum acara adalah asas persidangan terbuka untuk umum. Abdul Manan (2018) mengungkapkan asas ini mengandung makna bahwa setiap orang terutama pihak yang berkepentingan untuk hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan, hal ini bertujuan agar hak-hak para pihak terpenuhi serta menjamin objektifitas peradilan.
Meskipun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan asas ini, akan tetapi terdapat pengecualian dalam hal undang-undang menentukan lain, misal : pelecehan seksual, perceraian, persidangan anak dan sebagainya. Asas persidangan terbuka untuk umum ini sangat berkaitan erat dengan asas audi et alteram partem atau mendengarkan dua belah pihak, dalam pemeriksaan persidangan JR di MA baik pemohon maupun termohon berhak untuk didengarkan pendapat dan argumentasinya oleh hakim dan hakim diharuskan untuk memperhatikan dan mendengarkan dengan seksama pendapat dan argumentasi kedua belah pihak. Sehingga tidaklah cukup apabila dalam proses persidangan JR di MA hanya jawab menjawab secara tertulis. Apalagi yang diuji merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan (regeling) dan mengikat masyarakat secara umum.
Judex Juris atau Judex Facti
dalam JR di MA
Berdasarkan ketentuan Pasal 24A UUDNRI Tahun 1945, MA diberikan kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Pada tingkat kasasi, MA bertindak sebagai judex juris yaitu hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Dalam pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seyogyanya hakim bertindak sebagai judex factie atau memeriksa fakta dan bukti dari suatu permohonan pengujian dimaksud. Hal ini dikarenakan dalam pemeriksaan perkara selain permohonan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang, MA bertindak sebagai judex juris atau memeriksa penerapan hukum, dikarenakan pada tingkat peradilan sebelumnya (PN dan PT) telah dilakukan pemeriksaan terhadap fakta-fakta atau bukti-bukti yang berhubungan dengan perkaranya.
Sedangkan dalam permohonan JR, MA belum mendapatkan fakta-fakta atau bukti-bukti secara utuh perihal permohonan JR. Pastinya, apabila MA bertindak sebagai judex facti dalam persidangan JR, hakim akan mendapatkan informasi tidak hanya ratio legis atau asbabun nuzul suatu peraturan perundang-undangan yang utuh dari organ pembentuk dan tentunya akan terhindar misinterpretasi antara pemohon dan hakim pemeriksa JR.
Singkatnya waktu pemeriksaan dalam persidangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan permasalahan ketersediaan sarana dan prasarana seharusnya tidak dapat dijadikan pembenaran oleh MK untuk menolak permohonan para pemohon agar Proses Pemeriksaan dalam Persidangan atas Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dilakukan dengan dihadiri para pihak-pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Ketertutupan peradilan hanya akan menyisakan ruang gelap yang berpotensi menciderai rasa keadilan itu sendiri.
Seharusnya dalam rangka penegakan asas persidangan terbuka untuk umum, MK menyatakan permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap Pasal 31 ayat (1) dan (4) UUMA dapat diterima dan memerintahkan kepada pembentuk UU dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan perubahan atas rumusan jangka waktu persidangan pemeriksaan JR di MA, sehingga persidangan terbuka untuk umum dapat diterapkan secara paripurna. Bukankah MK sebelumnya pernah memutus untuk memerintahkan kepada organ pembentuk untuk menyelesaikan perubahan rumusan UU dalam jangka waktu tertentu mengenai batasan usia perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. ***
Penulis adalah Pengajar Fak. Hukum UMSU Medan dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum USU