Makan Bersama dan Literasi Keluarga

makan-bersama-dan-literasi-keluarga

Oleh: Andil H Siregar. Perayaan puncak Hari Ke­luar­ga Nasional (Harganas) XXVI dilang­sung­kan di Kota Banjarbaru, Kali­man­­tan Selatan pada 6 Juli 2019. Har­ganas tahun ini mengusung tajuk “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”. Menjadi pertanyaan sekarang, benar­kah kita sudah merayakanya hari ke­luarga di tengah keluarga kita? Wujud kita merayakanya tentunya tidak harus ambil bagian pada perayaan tersebut, tetapi lebih pada kebiasaan yang kita lakukan pada keluarga kita.

Hal sederhana wujud kita mera­ya­kanya, dapat kita lihat pada kebiasaan melakukan makan bersama setiap harinya. Jika keluarga kita masih rutin melaksanakan makan bersama ta­di, maka kita patut berbahagia karena kita sudah merayakan Harga­nas di keluarga kita. Jika keluarga kita belum bisa melaksanakannya karena berbagai alasan, mari sejenak kita cari ruang dan waktu yang tepat untuk kembali ke meja makan bersama anggota keluarga yang kita cintai. Setidaknya di bulan Juli ini, awal tahun ajaran baru bagi anak-anak kita, mari kita damping mereka minimal hanya lewat meja makan.

Sederhana Tapi Berdampak Besar

Makan bersama walau terlihat sederhana tetapi sangat berdampak besar pada perkembangan keluarga. Bob Ehrlich pernah berkata: ”Be­be­rapa obrolan terpenting yang pernah aku alami terjadi di meja makan ma­lam keluargaku”. Obrolan yang kita sampaikan pada saat makan malam tentu ringan, tetapi akan ber­kesan bagi anak-anak kita kelak. Mem­ba­ngun negara ini dimulai dari mem­bangun keluarga. Pada momen inilah kita dapat menggali perkem­bangan anak-anak kita dan menanam­kan nilai-nilai karakter kepada mereka.

Jika keluarga rapuh, hancurlah negara kita. Jika keluarga kuat, majulah negara kita. Jadi sebelum kita berbicara dan membahas siapa men­teri yang akan duduk di kabinet Jokowi, baiklah kita juga membahas hal yang utama dan dekat dengan kita. Hal itu adalah melihat dan meng­evaluasi perkem­bangan dan kinerja kabinet keluarga kita. Melihat dan mengevaluasi peran kita dalam ke­luarga tentu dapat kita mulai lewat makan bersama tadi.

Terkait makan bersama, saat saya masih kecil hampir semua keluarga melakukan momen makan bersama ini di kampung saya. Saat itu makan malam dan sarapan pagi bersama adalah momen wajib yang harus dilakukan bersama. Makan tidak akan dimulai jika masih ada anggota keluarga tidak hadir, kecuali karena alasan yang sangat mendesak. Pada saat itu waktu antara pukul 19.00-20.00 WIB dan pukul 06.30-07.15 WIB adalah rentang waktu keluarga melakukan makan bersama waktu itu. Jadi kalaupun ada urusan pergi ke ke­luarga yang lain, biasanya ditunggu dulu lewat rentang waktu tersebut. Kita tidak mau mengganggu keluarga lain yang sedang makan bersama ke­luarganya dan tentunya keluarga kita pun saat itu juga masih sedang me­lakukan hal yang sama di rumah kita.

Akan tetapi kebiasaan baik ini sepertinya semakin lama semakin tergerus. Karena berbagai alasan kita mengabaikanya. Demi alasan men­cari nafkah untuk keluarga kita justru seringkali meninggalkan keluarga pada momen makan bersama tadi. Di kampung saya pun saat ini demikian sepertinya yang terjadi. Kebiasaan baik itu tak sebanyak dulu lagi. Momen makan malam dan sarapan bersama jadi bersama terabaikan karena televisi atau hal lainya.

Mereflesikan Ketahanan Keluarga

Kebiasaan makan bersama ini perlu kita tanamkan dan budayakan kembali di masing-masing keluarga kita. Akan tetapi tidak cukup pada makan bersama saja, masih ada satu hal yang biasanya tidak terpisahkan darinya, yakni berkumpul atau ber­cerita sehabis makan. Sehabis makan baiklah kita sesama anggota keluarga saling berdiskusi, mempertanyakan perkembangan setiap anggota ke­luarga. Jika makan bersama dan berkumpul bersama sehabis makan rutin kita lakukan, maka setiap masalah yang ada pada keluarga kita tentunya akan dapat kita selesaikan.

Seperti yang dikatakan presiden kita Joko Widodo: “Bertemu dan kumpul dengan keluarga itu mem­bawa semangat baru dan energi baru”. Dengan momen makan bersama dan cerita bersama sehabis makan kita telah membangun kembali semangat dan energi yang ada pada keluarga kita. Dengan demikian kita telah turut ambil bagian dalam mensuksesan tujuan dari Harganas itu sendiri.

Pada tahun ini, peringatan Harga­nas merefleksikan empat konsep pendekatan ketahanan keluarga, yaitu: Keluarga Berkumpul, Keluarga Berinteraksi, Keluarga Berdaya, dan Keluarga Peduli dan Berbagi. Pada Harganas ini juga ditekankan kembali delapan fungsi keluarga, yaitu agama, cinta kasih, perlindungan, ekonomi, pendidikan, reproduksi, sosial budaya dan lingkungan.

Menyelipkan Literasi

Untuk melengkapi empat konsep pendekatan ketahanan keluarga tadi, saya kira kita perlu menambahkan gerakan literasi keluarga. Lewat momen makan bersama dan kumpul bersama tadi kita bisa juga me­nyelipkan literasi. Pada saat obrolan tadi kita bisa menyelipkan obrolan obrolan tentang buku yang mereka baca, memberikan referensi buku untuk mereka baca ataupun mendis­kusikan tentang buku yang mereka baca. Dengan demikian kita sudah turut membangun keluarga yang gemar membaca. “Tunjukkan padaku sebuah keluarga pembaca, dan aku akan menunjukkan pada orang-orang siapa yang menggerakkan dunia,” demikian Napoleon Bonaparte yang termashyur itu berkata.

Membangun literasi yang paling efektif tentu dimulai dari keluarga. Keluargalah yang pertama mem­berikan contoh kepada anak. Keluarga jugalah yang paling dekat dan me­nyaksikan bertumbuh kembangnya si anak. Maka membiasakan kebiasaan literasi sudah selayaknya ditela­dankan oleh orang tua di rumah. Demikian halnya dalam pelak­sanaan­nya perlu diperhatikan dan didis­kusikan pada momen makan malam dan bercerita bersama tadi.

Jika kita sudah mampu mem­bangun kebiasaan literasi dalam keluarga kita, maka kita dapat me­ningkatkan budaya baca dan menulis antar anggota keluarga. Sehingga masing-masing anggota keluarga mempunyai dasar keilmuan yang cukup untuk menyikapi permasalahan kehidupan. Tidak cepat panik dalam menyikapi setiap masalah. Budaya literasi keluarga juga akan mampu menangkal berita yang meragukan/hoaks yang saat ini banyak bertebaran di mana mana. Jika sudah demikian adanya, benarlah apa yang dikatakan oleh Napoleon Bonaparte tadi. Bah­wasannya keluarga pembaca atau keluarga literat lah yang akan me­nggerakan negara dan dunia ini.

Selain itu, dengan literasi keluarga kita juga telah ambil bagian dalam me­ng­galakan gerakan literasi peme­rin­tah dalam mengejar ketertinggalan kita. Sebagaimana kita ketahui berda­sar­kan penelitian PISA yang dirilis 6 De­­sember 2016 performa siswa-siswi kita masih rendah. Yaitu pada pering­kat 62, 61 dan 63 dari 69 negara pada bi­­dang sains, membaca dan matematika.

Mari kita kembali pada kebiasaan baik kita, makan bersama sembari me­nyelipkan nilai-nilai moral dan ni­lai-nilai literasi di dalamnya. Dengan demikian secara bersamaan kita sudah membangun dua hal mendasar yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak kita kelak. Yaitu menguatkan kem­bali nilai-nilai karakter pada ge­nerasi muda kita, serta ambil bagian da­lam membangun peradaban lite­rasi. Hingga nyatalah apa yang diku­man­dangkan dalam lagu keluarga ce­mara: “Harta yang paling berharga ada­lah keluarga, puisi yang paling indah adalah keluarga”. Semoga! ***

Penulis pendidik di SMP-SMA Budi Murni 3 Medan/pengajar fisika Ganesha Operation, dan Pegiat Literasi Toba Writers Forum.

()

Baca Juga

Rekomendasi