Oleh: Meyarni
Kota Medan sejak lama mendapat sorotan, khususnya dari sisi penataan kota. Berbagai kritikan dilontarkan agar kota ini bertumbuh dan menjadi kota yang layak huni sebagaimana konsep awal kota ini di abad 19 akhir. Momentum Pilkada Medan yang akan digelar tahun 2020 diharapkan menampung berbagai masukan. Siapapun yang terpilih memimpin Kota Medan, diharap bisa membangun kota ini dengan lebih baik.
Persoalan Kota Medan berawal dari tidak adanya konsep ekologis dalam membangun kota ini. Padahal sejak dibangun abad 19 akhir lalu, Kota Medan sudah didesain menjadi kota nyaman berbasis turisme. Tidak heran bila kota ini menjadi tempat tinggal berbagai warga negara di dunia.
Namun, karena tata kelola dan konsep perencanaan pembangunan yang tidak matang, kota ini tumbuh sedemikian gersang. Setidaknya hal itu berlangsung sejak 30 tahun lalu. Kota Medan kini terasa sangat gersang, dan tentu akan membuat masyarakatnya tidak nyaman.
Bukan rahasia umum, penataan Kota Medan kerap dilakukan dengan sistem tambal sulam. Selain itu, satu pembangunan kerap tumpang tindih dengan yang lain. Bahkan pembangunan yang satu sering merusak konsep yang sudah ada sebelumnya. Pembangunan sering tidak berkelanjutan, namun terkesan "membabi buta". Tidak heran bila pembangunan yang terjadi sering membuat konsep suatu kawasan jadi terganggu.
Tambah lagi, daerah resapan air di hulu, yakni kawasan hutan di Deliserdang dan Karo yang telah rusak juga turut memperparah keadaan. Namun sebenarnya dampaknya bisa tidak separah sekarang bila pemerintah Kota Medan mau peduli dan serius menata kota ini, khususnya sistem drainase.
Dulunya sistem drainase di Kota Medan merupakan peninggalan orang-orang Eropa yang banyak berkontribusi membangun kota ini. Mereka sudah mengatur sistem drainase setidaknya untuk jangka waktu beratus tahun ke depan. Untuk tiga puluh tahun sekali dranaise itu harus diperbaiki tanpa harus merusak instalasi dan jaringannya.
Sayangnya sistem drainase itu banyak yang "diutak-atik" saat pembangunan kota Medan berlanjut. Malah banyak pula bangunan raksasa yang tidak memiliki konsep drainase yang proporsional dan tertata. Sebaliknya, ada pula di antaranya yang sekedar memanfaatkan sungai-sungai sebagai "hilir" drainasenya.
Gorong-gorong di jalan-jalan di pusat Kota Medan juga banyak yang sudah tidak berfungsi lagi. Sebagian telah tersumbat dan tertutup secara permanen antara lain karena pembangunan yang serampangan di atasnya. Padahal bukan tidak mungkin air masih terus masuk ke gorong-gorong itu.
Karena itu, ketika hujan turun, air yang mengendap di gorong-gorong itu langsung tumpah ruah ke jalan-jalan. Air yang hitam berbau busuk bercampur dengan air hujan dan menjadi pemandangan yang biasa saat hujan turun di Kota Medan.
Daerah resapan kota berupa taman mauapun hutan kota yang diharap membantu mengurangi dampak hujan yang turun tidak berpengaruh apa-apa, karena daya serapnya memang begitu rendah. Apalagi taman kota di Medan sangat minim, bisa dihitung dengan jari.
Kompleksitas inilah yang membuat Medan rentan terhadap banjir. Kompleksitas yang disebabkan oleh karena salah urus pemerintah kotanya sendiri.
Ketika banjir melanda, sejumlah pihak hanya bisa salah menyalahkan. Pemerintah menuduh pola laku masyarakat yang tidak menjaga keberadaan parit. Sebaliknya masyarakat menuding pemerintah yang tidak becus menangani masalah yang sudah berpuluh-puluh tahun terjadi ini.
Saya bukan membela masyarakat. Mereka hanyalah sebagian kecil, khususnya tinggal di pemukiman yang memang bukan kawasan tempat tinggal. Tetapi yang pasti, pemerintah sebagai pemimpin harusnya lebih proaktif dan bergerak secara terus menerus mencari jalan keluar membebaskan kota ini dari ancaman banjir.
Salah satu yang paling mudah dilakukan adalah dengan memperbanyak kawasan hijau. Pemerintah dalam membangun kota wajib tunduk pada aturan dan prinsip-prinsip menyangkut aspek ekologis. Sistem drainase harus dipastikan bebas dari sampah.
Begitupula dengan gorong-gorong harus rutin disterilkan. Selain itu melalui kepling pemerintah harus kembali menghidupkan semangat gotong royong dalam diri masyarakat. Masyarakat diajak untuk bertanggungjawab dengan keberadaan paritnya sendiri.
Sedangkan upaya yang lebih progresif adalah dengan melihat langsung titik-titik vital dari saluran drainase dan gorong-gorong yang ada di Kota Medan itu. Bila perlu titik-titik yang dicurigai "mampet" itu dibongkar dan diperbaiki instalasinya.
Di tingkat yang lebih besar lagi, perlu dilakukan zonasi sebagaimana yang dulunya diterapkan arsitek-arsitek Eropa. Juga harus dipastikan kemana hilir pembuangan air itu. Jangan pula dibuang sembarangan apalagi sampai harus mencemarkan lingkungan.
Jika itu yang terjadi, apapun yang dilakukan pemerintah tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal
(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan)