PADA tahun ajaran ini, Aris tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Ia terpaksa harus mengalah, karena tahun ini adiknya, Ahmad tamat SD dan melanjutkan ke SMP. Belum lagi kedua adiknya yang masuk SD. Sementara penghasilan dari upah menyuci pakaian yang diperoleh ibu Aris, Risma, tidak mencukupi.
Ayah Aris sudah empat tahun meninggal dunia. Untuk meringankan beban ibunya, Aris memutuskan untuk berjualan.
Persoalan ekonomi masih menjadi penyebab banyak anak putus sekolah. Biaya pendidikan yang tidak murah memaksa orang tua untuk tidak melanjutkan pendidikan anak-anaknya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, menyebutkan jumlah anak yang putus sekolah di jenjang pendidikan dasar pada 2017/2018 sebanyak 32.127 anak. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada 2015/2016 sebesar 60.066 anak.
Berkurangnya jumlah anak putus sekolah itu, katanya, menyebabkan rata-rata lama sekolah (RLS) meningkat dari 7,73 pada 2014 menjadi 8,10 pada 2017. Angka harapan lama sekolah (HLS) juga meningkat dari 12,39 (2014) menjadi 12,85 (2017). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 68,9 di 2014, menjadi 70,81 di 2017.
Sedangkan data pokok pendidikan (Dapodik) mencatat peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah, dari 74,26 (2014) menjadi 82,84 (2017). Sementara itu, angka partisipasi murni (APM) pendidikan menengah meningkat dari 59,35 (2014) menjadi 60,37 (2017).
Berkurangnya jumlah anak putus sekolah tidak terlepas dari anggaran yang dialokasikan pemerintah sebesar 20 persen untuk pendidikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Graduation Apple Developer Academy di Green Office Park, Tanggerang, Maret silam, menyebutkan pemerintah telah menaikkan anggaran pendidikan setiap tahunnya agar tetap terjaga sebesar 20 persen dari APBN.
Alokasi anggaran pendidikan 2019 sebesar Rp492,5 triliun atau 20 persen dari belanja negara yang mencapai Rp 2.461,1 triliun. Anggaran pendidikan tahun ini meningkat Rp 48 triliun dibanding APBN 2018. Adapun target yang dicapai tahun ini, penerima Program Indonesia Pintar sebanyak 20,1 juta siswa, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 57 juta siswa, dan beasiswa Bidik Misi 472 ribu mahasiswa. Selain itu, untuk pembangunan/rehab 56 ribu ruang kelas melalui Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, Kementerian PUPR, maupun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Daya Saing
Seiring semakin sedikit jumlah anak yang putus sekolah, terjadi peningkatan daya saing. Menurut IMD World Competitiveness Ranking 2019, Indonesia melejit ke posisi 32 dunia atau naik 11 peringkat dibandingkan 2018 (posisi ke-43 dunia).
IMD menggunakan empat indikator utama dalam penilaiannya, yakni kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. IMD juga menyebut salah satu keunggulan Indonesia adalah upah buruh yang rendah dibandingkan 63 negara lainnya di Asia Pasifik. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada berada di bawah Jepang dan Prancis yang berada di posisi ke-30 dan ke-31. Adapun Republik Ceko dan Kazakhstan berada di bawah Indonesia, masing-masing di posisi ke-33 dan ke-34.
Sedangkan Global Talent Competitiveness Index menunjukkan daya saing Indonesia ada di posisi keenam dengan skor 38,61 di Asean. Sedangkan Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27. Peringkat berikutnya Malaysia 58,62, Brunei Darussalam 49,91, dan Filipina 40,94.
Pendidikan Indonesia berdasarkan Education Index yang dikeluarkan Human Development Reports, pada 2017 pada posisi ketujuh di Asean dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura, 0,832. Peringkat kedua ditempati Malaysia 0,719, disusul Brunei Darussalam 0,704. Pada posisi keempat, Thailand dan Filipina, keduanya memiliki skor 0,661.
Upaya pemerintah dalam meningkatan SDM merupakan langkah tepat. Tanpa SDM unggul, Indonesia sulit bersaing dengan negara lain. Menurut Majelis Pertimbangan Karang Taruna (MPKT) Kota Medan, Aliansyah SHU yang akrab disapa Acai Jaya, kualitas SDM tidak cukup diukur dari penguasaan teknologi, tapi juga memiliki moral yang baik.
Penguasaan teknologi tanpa memiliki moral yang baik dapat disalahgunakan kepada hal-hal negatif. “Tidak sedikit generasi penerus bangsa terjerumus kepada perbuatan negatif karena penggunaan teknologi,” katanya.
Pendidikan moral sebagai benteng dalam penguasaan teknologi. Ini yang harus menjadi perhatian serius. Tindakan anarkis, judi online, perbuatan asusila, dan sebagainya sebagai bukti pendidikan moral belum mendapat perhatian serius.
Ironisnya pelaku perbuatan negatif justru banyak dari kalangan pemuda. Apa jadinya bangsa dan negara bila pemuda yang menjadi penerus bangsa melakukan hal negatif akibat tidak memiliki moral yang baik?
“Sebagai negara yang memegang kuat adat ketimuran, pendidikan moral jauh lebih penting dari hanya sekadar penguasaan ilmu pengetahuan,” tegasnya. (fahrin malau)