Di Balik Penataan PKL Kota Medan

di-balik-penataan-pkl-kota-medan

Oleh : Indra Syahputra Berbagai upaya kini tengah dila­ku­kan oleh Pemerintah kota Medan demi mengurangi per­masala­han yang te­ngah digandrungi kota Me­tropolitan ke­tiga di Indonesia ini. Wajar bila Gubernur Sumatera Utara pun merasa risih dan langsung ikut tu­run tangan setelah kota Medan men­dapat predikat sebagai terkotor dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal tahun yang lalu.

“Medan Rumah Kita” sebagai jar­gon unggulan yang selalu digaung-gaung­­kan oleh Pemerintah kota Me­dan sesaat harus berubah nama. Di­mulai dari “Medan Rumah Banjir”, “Me­dan Rumah Begal”, “Medan Ru­mah Macet”, “Medan Rumah Sam­pah” dan “Medan Jalan Sejuta Lo­bang” yang pernah disematkan ma­sya­rakat oleh kota ini. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, mengingat ba­nyak­nya permasalahan yang tak kun­jung dapat diselesaikan oleh Peme­rintahan kota Medan.

Maka menanggapi hal tersebut, Pemerintah pun mulai melalukan pembenahan, mulai dari mem­bersih­kan drainase dari berbagai macam sampah yang membuat kota Medan se­lalu kebanjiran setiap kali hujan turun, menertibkan para PKL yang ber­jualan di trotoar dan bahu jalan, meng­gemboskan kendaraan yang par­kir di sembarang tempat, dan me­nurun­kan papan reklame yang ber­tebaran sehingga membuat Medan seperti layaknya hutan reklame.

Demi untuk mengembalikan este­tika kota Medan dari segala macam bentuk kesemrawutan dan kemacetan yang dirasakan oleh masyarakatnya, se­tiap hari. Pemerintah kota Medan mulai melakukan pembenahan di­se­tiap sudut kota dari mulai penertiban para pedagang, parkir liar, dan papan reklame yang menghiasi jalanan kotanya.

Melalui Satpol PP yang dikerahkan ke lapangan, menelusuri setiap tempat yang terjadinya kemacetan ketika para pedagang mulai memakan bahu jalan. Pasalnya beberapa kali ditertibkan, namun masih saja ada yang mem­ban­del ketika para petugas tidak terlihat lagi di lapangan. Maka petugas tak segan-segan untuk menertibkannya kem­bali, seperti terlihat dijalan Gatot Subroto tepatnya diseputar Plaza Medan Fair, pedagang di jalan Bulan, Pasar Simpang Limun, Pasar Suka­ramai, dan tempat lainnya.

Baru-baru ini, Pemerintah yang dibantu oleh Satpol PP menggusur lapak pedagang Warkop Elisabet di Jalan Haji Misbah Kecamatan Medan Mai­mun. Sempat terjadi kericuhan antara petugas Satpol PP dengan pe­dagang yang menolak untuk digusur dengan alasan tempat tersebut sudah mereka diami selama puluhan tahun dan pernah menjadi tempat nongkrong para pejabat tinggi, namun akhirnya selang beberapa saat para petugas pun membongkar lapak para pedagang.

Melihat fenomena yang terjadi ketika penertiban dilapangan. Para pedagang yang tadinya sempat mela­kukan perlawanan hingga akhirnya hanya bisa pasrah, ketika tempat da­gangan­nya dihancurkan dan rata dengan tanah. Masing-masing menga­man­kan barang dagangannya hingga ada yang sempat diangkut oleh petugas Satpol PP saat penertiban.

Walaupun kadang terjadi kericu­han berupa penghadangan alat berat sam­pai pada baku hantam antara peda­gang dan petugas yang kerap me­war­nai jalannya penertiban di lapangan. Tapi akhirnya tak menyurutkan para petugas untuk menertibkannya meng­ingat dengan alasan bahwa sebelum­nya sudah disurati, namun akhirnya tidak diindahkan.

Hal ini tentu menjadi alasan kuat para petugas Satpol PP, mengacu pada peraturan Walikota nomor 9 tahun 2009 tentang larangan beraktivitas, me­nempati ruang milik jalan untuk jang­ka waktu tertentu maupun seterus­nya untuk bangunan sementara mau­pun permanen. Namun, para pedagang terkadang menolak untuk ditertibkan dengan alasan tempat yang mereka diami sudah bertahun-tahun menjadi tempati untuk mencari penghasilan.

Berikan Ruang

Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) memang merupakan persoalan klasik yang terjadi di seluruh Indo­nesia. Tidak hanya di pelosok desa, bahkan daerah perkotaan akibat dari ketiadaan lahan yang bisa ditempati. Maka tak ayal badan jalan menjadi sasaran para pedagang untuk meng­gelarkan barang dagangannya. Alhasil keberadaan para pedagang menjadi salah faktor kemacetan yang acapkali menghiasi kota-kota besar.

Akan tetapi, peran serta Pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang kepada para pedagang sehingga tidak serta merta menelantarkan be­gitu saja setelah di gusur. Tentu hal ter­sebut akan menghilangkan rasa ke­per­cayaan masyarakat kepada peme­rin­­tahan. Maka bila hal itu sampai ter­jadi, tentu angka pengangguran akan bertambah, seiring dengan tidak ada­nya pekerjaan yang bisa dilakukan oleh para pedagang yang sempat berjualan.

Tentu masih hangat dibenak kita dengan persoalan relokasi pedagang pasar Aksara. Akibat kebakaran hebat yang meluluhlantahkan bangunannya tiga tahun yang lalu, para pedagang ti­dak punya pilihan lain selain meng­gelar kemudian menggelar dagangan­nya di jalan raya. Alhasil, para peda­gang kembali digusur ketika meng­gelar lapaknya di badan jalan karena menjadi penyebab kemacetan yang harus dirasakan setiap kali melewati jalan tersebut hingga membuat pejalan kaki kesulitan untuk melintas.

Bangunan yang sudah rata dengan tanah tidak lagi dapat digunakan oleh para pedagang dengan alasan akan di ba­­ngun fly over atau stasiun mass rapid transit (MTR), tetapi hingga kini be­lum juga direalisasikan dan bangu­nan yang tadinya sempat berdiri se­bagai tempat jalannya perekono­mian masyarakat kota Medan, kini hanya tinggal mimpi untuk para pedagang bisa berjualan lagi ditempat tersebut. Nasib relokasi para pedagang masih terkatung-katung untuk menunggu kepastian akan pembangunan kembali tempat yang pernah mereka tempati.

Saling Bersinergi

Untuk mewujudkan kota yang didambakan oleh masya­rakatnya.

Pemerintah harus sigap dalam bergerak memajukan kota ini. Sudah terlalu jauh nampaknya kota ini tertinggal jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di seluruh Indonesia. Sebutan kota Metropolitan yang dihuni oleh beragam etnis, budaya dan suku ini tentu tidak bisa hanya berjalanan sendiri tanpa adanya peran aktif dari Pemerintah.

Pun, masyarakatnya dituntut untuk memberikan dukungan dan ikut serta da­lam menjaga kota ini. Seperti halnya tubuh, ketika salah satu bagian sudah sakit maka semua tentu akan merasa­kannya. Maka begitulah sebaliknya, keti­ka kota Medan mendapatkan penghar­gaan untuk sebutan kota yang tidak me­nge­nakkan tentu sedikit banyak masyarakatnya akan merasa­kan dampaknya.

Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama bekerja dan bekerja sama dalam membangun kota Medan ke depannya. Ujung kekuasaan tertinggi berada ditangan pemerintah, bila baik menjalankannya, tentu masyarakat akan nyaman dan aman berada di kota ini. Sebaliknya ketika pemerintah kota Medan gagal dalam menjalankan ama­nah yang sudah diberikan oleh masya­rakatnya, maka masyarakat tidak akan percaya lagi sampai kapan pun, melihat kinerja pemerin­tahannya yang kian hari semakin memburuk. ***

Penulis adalah Anggota Komunitas PADI UIN SU.

()

Baca Juga

Rekomendasi