Oleh: Yohansen Wyckliffe
PERISTIWA Tiananmen (1989) menjadi tragedi pembantaian yang cukup mengenaskan terhadap rakyat sipil di lapangan Tiananmen, Beijing, China. Tindakan itu dilakukan oleh kelompok militer, di bawah arahan pemerintah Tiongkok pada 15 April dan 4 Juni 1989. Tercatat, ada sebanyak 100.000 lebih pelajar/mahasiswa kala itu yang menuntut kebebasan pers, dan meminta keadilan atas kematian Hu Yaobang (sekjen partai pro demokrasi), yang diduga mati karena tindakan rahasia pemerintah Tiongkok, atas dasar perbedaan paham dan ideologi. Untuk meredam aksi massa para demonstran mahasiswa itu, pemerintah Tiongkokpun mengerahkan kekuatan militer, lengkap dengan senjata dan ratusan tank baja, hingga berakibat pada tewasnya 7.000 warga sipil (wikipedia.og) yang berjuang menuntut keadilan.
Kini, pemerintah Tiongkok tengah mendapatkan tekanan serupa dari dunia Internasional. Beberapa negara Eropa, yang diinisiasi Amerika Serikat meminta pemerintah China untuk tidak mengulang peristiwa serupa, seperti tragedi Tiananmen 1989 silam dalam meredam aksi demonstrasi belakangan ini (19/8). Pasalnya, sejak beberapa bulan terakhir, pemerintah Hongkong dan China mendapatkan protes dari sebanyak 3 juta demonstran Hongkong, menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan Hongkong kepada China.
Untuk itu, sebelum menelaah tentang dinamika politik yang tercipta pasca Demonstrasi Hongkong, tentu perlu diketahui terlebih dahulu soal status negara Hongkong atas China, yang notabenennya adalah negara semi otonom. Hal itu bermula sejak tahun 1842, pulau Hongkong diserahkan China kepada Inggris, sebagai daerah koloni dengan durasi penyewaan wilayah selama 99 tahun. Kemudian di tahun 1984, baik China maupun Inggris kembali membuat kesepakatan untuk menyerahkan Hongkong sepenuhnya kepada China di tahun 1997, dengan penerapan prinsip ‘satu negara dua sistem’.
Akibat dari kesepakatan itu, terhitung sejak tahun 1997 hingga 50 tahun mendatang, Hongkong akan memiliki tingkat otonomi negara sendiri, kecuali di bidang pertahanan dan kepentingan luar negeri. Meskipun begitu, tentu saja Hongkong tetap memiliki hak untuk menerapkan sistem hukumnya sendiri, dan kebebasan warga negara yang diatur dalam konstitusi negara.
Aksi Massa di Hongkong
Hingga pertengahan bulan Agustus 2019 (20/8), aksi massa terus berlangsung di Hongkong. Jutaan warga menuntut penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi, yang memungkinkan badan peradilan Hongkong mengekstradisi warganya ke China, jika dianggap melanggar hukum. Situasi itu tentu saja akan semakin memperkuat dominasi Tiongkok atas kemandirian Hongkong.
Sehingga, akibat dari rencana peraturan perundang-undangan itu, sejak bulan Februari 2019 hingga saat ini, unjuk rasa yang semula damai berubah menjadi bentrokan liar dengan pihak kepolisian, dimana warga meminta pemerintah Hongkong memperjuangkan independensi negaranya, dalam melakukan praktik penyelenggaraan hukum.
Kepala Eksekutif Hongkong, Carrie Lam, pada tanggal 14 Juni 2019 memang telah mengumumkan penundan tanpa batas, pembahasan amandemen legislasi ekstradisi ini. Namun tampaknya, niat demonstran yang semula hanya sekadar menolak dominasi Tiongkok yang semakin luas akibat RUU Ekstradisi, kini semakin berkembang, dengan meminta kemandirian penuh Hongkong atas China.
Selain itu, massa juga meminta Carrie Lam mundur dari jabatannya, karena dianggap hanya sebagai pemimpin negara yang mewakili suara Tiongkok. Mengingat pula, sejak tahun 1997 posisi jabatan kepala Eksekutif Hongkong selalu ditentukan oleh pihak China sendiri, tanpa melibatkan partisipasi warga negara.
Propaganda
Aksi massa yang semakin mewabah belakangan ini, tentu saja akan berakibat pada penurunan pertumbuhan ekonomi di Hongkong. Akibatnya aksi propaganda pun mulai dilakukan pemerintah Hongkong dan Tiongkok untuk meredam dukungan terhadap aksi demonstran prodemokrasi disana. Aksi propaganda itu kemudian dikonfirmasi oleh pihak facebook dan twitter.
Twitter pada tanggal 19 Agustus 2019 kemarin, mengumumkan bahwa pihaknya telah menangguhkan sekitar 200.000 akun twitter, dan menghapus 936 akun diantaranya yang berkaitan soal kampanye pemerintah Tiongkok terhadap perilaku massa dalam demonstrasi di Hongkong. Seluruh akun itu dianggap sebagai upaya kampanye pemerintah Tiongkok, untuk menyebar pemberitaan bohong terkait demonstrasi Hongkong, dengan menyatakan bahwa aksi massa itu sebagai tindakan kekerasan yang disponsori pemerintah Barat, dan hanya dilakukan kelompok-kelompok radikal di Hongkong.
Hal senada juga dilakukan facebook yang juga telah menghapus tujuh halaman, tiga grup dan lima akun milik jaringan kecil Tiongkok yang mengawasi jalannya demonstrasi Hongkong (mediaindonesia.com 20/8). Hingga saat ini, upaya pengawasan akun untuk menjaga netralitas aksi di Hongkong masih dilakukan kedua layanan jejaring sosial dunia itu.
Jika ditelaah dari aspek perang dunia maya (cyber war) yang tengah berkembang secara global belakangan ini, secara sepintas memang dapat diyakini bahwa maksud dari facebook dan twitter menjaga/mengawal penyebaran informasi tentang demonstrasi Hongkong, adalah untuk meminimalisir pengaruh Pemerintah (powers of the government) dalam menggiring opini publik melalui media sosial.
Kasus ditahun 2016 lalu memang menjadi pelajaran yang sangat berharga, yakni dalam skandal data 87 juta pengguna facebook yang diserap oleh Cambridge Analytica. Data itu kemudian digunakan untuk mempengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politikus dalam Pilpres Amerika Serikat, yang diduga kuat memenangkan Donald Trump atas Hillary Clinton. Itu sebabnya, perusahaan jejaring sosial perlu meningkatkan pengawasan dan pengendalian data penggunanya.
Kerugian
Dari seluruh rangkaian demonstrasi Hongkong yang masih berlangsung, beserta dinamika politik yang tercipta didalamnya, tentu saja pada akhirnya akan berdampak pada sektor ekonomi nasional negara itu. Menurut penelitian perusahaan analis, Forward Keys, dalam delapan minggu terakhir hingga 9 Agustus 2019, pemesanan penerbangan ke Hongkong dari wilayah Asia menurun lebih dari 20%. Pun begitu dengan pemesanan tiket dari jarak jauh di bulan Juni hingga pertengahan Agustus, menurun 5% dibanding tahun lalu. Serupa halnya dengan hunian perhotelan yang menurun 60-65% (republika.co.id 20/8).
Memang, dapat disimpulkan bahwa konstalasi politik yang buruk pada akhirnya akan berakibat pada buruknya situai perekonomian suatu negara. Tinggal saat ini yang perlu diupayakan pemerintah Hongkong, maupun pemerintah Tiongkok adalah menemukan win-win solution untuk meredam keinginan massa, mungkin saja dengan memberikan kemandirian penuh terhadap Hongkong.
Pasalnya, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat, sama saja sebagai suatu tindakan yang menolak eksistensi warga sebagai manusia dan masyarakat yang beradab. Dengan begitu, tentu hal yang dapat dipetik menjadi pelajaran berharga dari tragedi Hongkong adalah, bahwasanya Negara perlu menyadari dimana letak kedaulatan suatu negara itu sesungguhnya berada. Ketika rakyat mulai peka dan menyadari haknya yang belum terpenuhi, disitulah negara perlu kembali hadir, dengan membentuk konsesnsus, lalu kemudian memberikan apa yang menjadi hak warga negara atas dasar kesepakatan bersama.
Memang dari perspektif politik luar negeri, aliansi/sekutu lintas negara sangatlah diperlukan sebagai hard power dalam kontestasi politik global. Namun demikian, keberhasilan suatu negara tidak dilihat hanya dari seberapa luas pengaruh negara tersebut di kanca internasional. Akan tetapi, kemandirian dan partisipasi warga negara untuk bebas menentukan pilihannya sendiri sangatlah menentukan. Untuk itu, dalam menghadirkan masyarakat yang pasrtisipatif dan seimbang dalam perealisasian kewajiban serta penuntutan haknya kepada pemerintah, negara perlu untuk mengupayakan pembangunan. Bukan sekadar pembangunan fisik/infrastruktur semata, juga pembangunan Sumber Daya Manusianya. ***
Penulis adalah alumnus Program Studi Ilmu Politik Fisip USU 2015