KPAI dan Nasib Olahraga Bulu Tangkis

kpai-dan-nasib-olahraga-bulu-tangkis
Oleh: Deddy Kristian Aritonang. Tudingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) soal eksploitasi yang dilakukan PB (Perkumpulan Bulu Tangkis) Djarum berakhir tragis. Bagaimana tidak, PB Djarum harus menghentikan Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis (AUBB) demi mereduksi kemungkinan terjadinya polemik terkait tuduhan itu. Dengan demikian, tahun 2019 menjadi tahun terakhir PB Djarum melakukan penjaringan calon pebulu tangkis masa depan untuk Indonesia sejak tahun 2006.

Buntutnya, para orang tua dan klub-klub kecil menjadi resah. Ibarat ayam kehilangan induk, mereka tidak tahu mau dibawa ke mana nasib anak-anak mereka yang tengah meniti karir menuju atlet bulu tangkis profesional. Lebih dari itu, masalah ini bisa jadi akan berpengaruh pada masa depan cabang olahraga bulu tangkis di Indonesia secara umum.

Selama ini PB Djarum sudah terbukti dan cukup konsisten menelurkan atlet-atlet yang mampu mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Sebut saja Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon. Mereka adalah contoh atlet sukses yang lahir dari audisi PB Djarum. Lalu ingatkah kita saat duo Susi Susanti dan Alan Budikusuma meraih medali emas di ajang Olimpiade 1992 untuk Indonesia hingga dijuluki ‘Pengantin Olimpiade’? 

Terima atau tidak, PB Djarum punya sumbangsih besar terhadap pembinaan kedua legenda kita itu. Dengan berhentinya AUBB, regenerasi atlet bulu tangkis Indonesia dikhawatirkan akan terputus. Padahal bulu tangkis merupakan salah satu cabang olahraga yang bisa membawa Indonesia berbicara banyak di kompetisi olahraga dunia. Malah—koreksi jika saya salah—belum ada cabang olahraga lain yang mampu menandingi kedigdayaan bulu tangkis dari faktor banyaknya raihan prestasi di ajang internasional.

Menyamakan Persepsi

Masalah ini mencuat ke permukaan ketika KPAI gencar menyuarakan adanya eksploitasi terhadap anak dalam gelaran AUBB yang dilakukan PB Djarum. Dilansir dari laman BBCNews Indonesia, KPAI memandang anak digunakan sebagai promosi brand image produk rokok Djarum. Oleh sebab itu, KPAI meminta agar nama ‘Djarum’ dan seluruh ornamen Djarum yang ada pada kegiatan AUBB dilepas.

Selanjutnya, Komisioner KPAI, Sitti Hikmawaty merujuk pada hasil survei LSM Lentera Anak pada 7 November hingga 3 Desember 2018. Dalam survei yang konon dilakukan di 28 provinsi dengan melibatkan 514 responden itu, ditemukan bahwa sebanyak 68% anak-anak mempersepsikan kata Djarum pada industri rokok. Sementara 28% mengatakan Djarum adalah beasiswa dan 1% Djarum disebut jarum jahit.

Psikolog sekaligus pemerhati dunia anak, Kak Seto (Seto Mulyadi) menilai langkah KPAI sudah tepat karena bertindak sesuai dengan aturan. Kak Seto pun mempertanyakan keseriusan dan ketulusan PB Djarum dalam mencari bibit unggul di dunia bulu tangkis karena memilih menghentikan audisi. Dia bahkan menilai PB Djarum seperti anak kecil yang sedang ngambek (sumber: Bolastlyo.com).

Menurut manajer senior komunikasi Bakti Olahraga Djarum Foundation, Budi Darmawan, mediasi kedua belah pihak sudah pernah dilakukan. Komunikasi di antara kedua lembaga itu difasilitasi oleh Kemenkopolhukam. Saat itu Djarum dikabarkan setuju untuk tidak mewajibkan anak-anak peserta audisi memakai jersey Djarum. Namun pihak Djarum memutuskan mundur ketika KPAI meminta semua ornamen Djarum dihilangkan termasuk pada jersey atlet. Masih menurut Budi, Djarum adalah identitas klub dan AUBB merupakan ajang pencarian bakat klub sehingga wajar apabila nama klub ditampilkan.

Harus diakui kehadiran industri rokok menyisakan dilema yang sangat besar. Sebagai produk, rokok berbahaya bagi kesehatan. Tapi dari segi ekonomi, sumbangsih rokok tak terbantahkan. Kontribusi rokok melalui cukai punya kontribusi besar bagi kas negara. Demikian halnya dengan penyedia dana untuk pertunjukkan seni dan olahraga di Indonesia, peran industri rokok sebagai sponsor belum tergantikan.

Larangan rokok sebagai sponsor olah raga, apalagi yang melibatkan anak-anak sejatinya bertujuan baik dan mulia. Misalnya adalah agar tidak timbul salah paham soal eksistensi rokok di kalangan anak muda. Jangan sampai muncul stigma bahwa di balik prestasi yang gemilang ada rokok sebagai pahlawannya sehingga membuat generasi muda terpapar rokok.

Tapi, KPAI dan pihak-pihak seperti Kak Seto juga tidak boleh terlalu keras. Dalam arti, selagi pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Indonesia) dan termasuk KPAI sendiri, belum mampu turut andil memecahkan masalah pendanaan untuk sponsor olah raga seperti yang telah dilakukan PB Djarum selama ini, ada baiknya masalah ini diselesaikan dengan mengutamakan nasib atlet-atlet bulu tangkis. Tidak ada gunanya ngotot meski karena regulasi. Sebab kondisi saat ini belum sepenuhnya ideal untuk melaksanakan apa-apa yang digariskan dalam regulasi itu. Dan kalau masalahnya sudah begini, yang menjadi korbannya adalah anak-anak dengan mimpi besar menjadi atlet bulu tangkis dunia. Ya, mimpi itu mungkin cuma akan menjadi mimpi.

Demikian halnya dengan PB Djarum. Cukup disayangkan bila keputusan menghentikan AUBB nantinya akan bersifat permanen. Sebagai pihak yang punya pengalaman mumpuni dalam perekrutan dan pembinaan atlet bulu tangkis, PB Djarum pasti memiliki kredibilitas untuk mencari solusi yang lebih baik bagi nasib dan masa depan olah raga bulu tangkis di tanah air ketimbang menyetop audisi. 

Menyoroti Kinerja KPAI

Terlepas dari tuduhan eksploitasi yang dilakukan PB Djarum, entah KPAI sadar atau tidak, ada tugas-tugas yang seharusnya menjadi ranah KPAI justru dikerjakan oleh PB Djarum. Maksud saya begini. Ketika PB Djarum menyediakan beasiswa, tempat berlatih hingga pendidikan bagi atlet-atlet muda bulu tangkis, mereka sebenarnya juga telah turut membantu menghindarkan anak-anak itu dari, katakanlah, narkoba. 

Tak hanya itu, atlet rekrutan PB Djarum juga terbantu dari sisi ekonomi. Karena mulai dari keperluan makan, tempat tinggal, peralatan pertandingan, kesehatan dan bonus di saat meraih prestasi diberikan oleh PB Djarum. Bayangkan bila seorang atlet berasal dari keluarga tidak mampu, betapa beban keluarga akan menjadi lebih ringan bukan? 

Malah, PB Djarum, menurut Hariyanto Arbi legenda bulu tangkis dengan smash 100 watt, menerapkan disiplin tinggi pada para atlet binaannya seperti larangan merokok. Jika sampai ketahuan merokok, bisa-bisa seorang atlet dikeluarkan dari PB Djarum. Lantas bagaimana dengan KPAI? Sejujurnya saya tidak mau berprasangka buruk tapi keadaan di lapangan sulit untuk dibantah.

Meski KPAI punya legal standing yang kuat atas polemik ini, kinerja lembaga itu selama ini kerap kali menuai sorotan dan kritik tajam. Malah kalau perlu, harus dievaluasi secara mendalam. Bukan bermaksud menuduh, tapi ada kesan kalau gaya bekerja KPAI mirip dengan orang-orang yang sadar kamera. Artinya KPAI sering kali menyoroti hal-hal yang mendapat ekspos kuat dari media--untuk tidak mengatakan pilih-pilih kasus, atau yang lebih ekstrim, pencitraan.

Singkatan KPAI, seperti yang kita ketahui bersama adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Ada kata ‘Perlindungan’ di sana. Padahal secara kasat mata, ketimbang mengurusi atlet-atlet binaan PB Djarum dan cara PB Djarum merekrut atlet-atlet muda, ada begitu banyak permasalahan serius yang sedang menimpa anak-anak di Indonesia yang boleh jadi lebih membutuhkan peran KPAI.

Lihat saja di jalanan. Berapa banyak anak-anak yang harus bekerja menjadi pengamen dan peminta-minta. Bukankah kemiskinan telah mengeksploitasi mereka? Anak-anak yang seharusnya berada di bangku sekolah dan menikmati keceriaan bermain harus rela menerima nasibnya menyambung hidup di jalanan atau membantu orang tua bekerja demi sesuap nasi. Dan tidak sedikit dari mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual, intimidasi, menderita kekurangan gizi, penganiayaan dan lain-lain. Lalu lihat juga tayangan-tayangan sinetron, FTV, acara talkshow dan musik di stasiun-stasiun televisi yang sangat sering mengeksploitasi hak-hak anak demi tujuan komersil. Sudahkah KPAI benar-benar memaksimalkan perannya memberikan ‘perlindungan’?

Seharusnya KPAI lebih konsentrasi dulu mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya di ranah-ranah itu. Karena dengan memberikan perhatian 100 persen untuk masalah-masalah ini pun, belum tentu KPAI mampu menyelesaikan, apalagi kalau sampai fokusnya terbagi-bagi seperti pada persoalan dengan PB Djarum ini. ***

Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.

()

Baca Juga

Rekomendasi