Peringati Hari Anti Penyiksaan

KontraS Sumut: Negara Masih Abai Terhadap Kasus Kekerasan

KontraS Sumut: Negara Masih Abai Terhadap Kasus Kekerasan
Peringatan Hari Anti Penyiksaan di Medan (Analisadaily/Jafar Wijaya)

Analisadaily.com, Medan - Dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional (International Day in Support of Victims of Torture), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara menggelar aksi teatrikal di Tugu Titik Nol Kota Medan, Jalan Balaikota, Jumat (26/6).

Menurut sejarahnya, 26 Juni ditetapkan sebagai hari anti penyiksaan sebagai bentuk penghormatan terhadap konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang mulai berlaku pada tanggal 26 juni 1987.

Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Namun sayangnya, 22 tahun setelah diratifikasi, penerapan undang-undang itu masih juah dari harapan.

Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut, Amin Multazam Lubis, mengatakan sampai hari ini negara dianggap absen dalam kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan. Bahkan negara sendiri yang acapkali mempertontonkan praktik kekerasan dan penyiksaan itu.

"Beberapa kebijakan tembak mati untuk para pelaku kejahatan tertentu sering kali menabrak prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Belum lagi soal laporan penggunaan kekuatan sebagaimana Perkap 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian tidak dilakukan secara akuntabel," kata Amin.

"Hal demikian menjadi sinyal bahwa sistem hukum justru semakin lemah ketika berhadap-hadapan dengan praktik penyiksaan. Dalam konteks Sumatera Utara, situasinya juga tidak jauh berbeda," sambungnya.

Selain itu, KontraS juga menyoroti sejumlah kasus kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Sumatera Utara. Catatan mereka, ada 9 kasus dugaan penyiksaan yang terjadi di Sumut dalam waktu Juli 2019-Juli 2020. Bahkan dari kasus-kasus itu, dua orang meninggal dunia.

Menurutnya angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Data 2019 dalam periode yang sama, hanya ada 5 kasus yang terjadi di Sumut.

Data tersebut hanya merupakan kasus di mana KontraS terlibat langsung dalam melakukan pemantauan, investigasi lapangan, maupun pendampingan hukum terhadap korban.

"Mengingat luasnya wilayah, keterbatasan akses informasi serta masih enggannya korban penyiksaan melaporkan kasus yang mereka alami, kami meyakini kasus-kasus penyiksaan yang tidak terpantau justru angkanya jauh lebih banyak," sebutnya.

"Dari 9 kasus yang ditangani KontraS sebagian korban berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Khususnya yang memiliki pemahaman hukum cukup rendah dan tidak memiliki akses informasi yang baik soal bantuan hukum. Masyarakat kategori ini memang sangat rentan mendapatkan praktik penyiksaan dan perlakuan diskriminatif ketika berhadapan dengan proses hukum," ujar Amin.

Amin juga mengungkapkan bahwa KontraS mengecam sekaligus memberikan kritik keras atas masih langgengnya praktik-praktik brutal dalam penegakan hukum. Penyiksaan bukanlah menjadi solusi penegakan hukum.

Bahkan KontraS juga mengecam kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan aparat saat akan mengumpulkan barang bukti, mengejar pengakuan, atau memberikan hukuman di luar proses peradilan. Hal ini sebenarnya secara tegas dilarang oleh hukum nasional maupun internasional.

"Aparat kepolisian kerap berdalih terduga pelaku tindak pidana melawan sehingga harus diberikan tindakan tegas dan terukur. Tafsir yang tidak jelas terhadap tindakan tegas dan terukur justru cenderung mengarah pada penggunaan kekuatan yang dilakukan secara berlebihan," ungkapnya.

Masih banyak anggota kepolisian yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Sandar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Praktik kekerasan dan penyiksaan masih terjadi dalam kasus-kasus yang menjadi musuh publik seperti, narkoba, begal dan terorisme.

"Padahal jika melihat fakta di lapangan, angka tindak pidana justru sama sekali tidak mengalami penurunan ketika penggunaan kekuatan berlebihan itu diterapkan dilapangan. Yang bermunculan justru persoalan baru seperti salah tangkap, rekayasa kasus hingga peradilan sesat," terang Amin.

Bagi Amin, Peringatan Hari Anti Penyiksaan harusnya menjadi momentum refleksi dan evaluasi untuk melakukan pembenahan terhadap isu-isu yang terkait dengan penyiksaan.

"Bagaimana Negara mampu untuk segera melakukan penyelidikan yang independen dan efektif terhadap dugaan kasus penyiksaan, Memastikan aparat kepolisian mengenal dan terlatih dalam menerapkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia, mendorong berjalannya mekanisme pengawasan internal dan eksternal secara akuntabel, hingga memastikan RUU KUHP dan KUHAP, mengikutsertakan ketentuan-ketentuan yang secara eksplisit melarang tindakan penyiksaan. Kami meyakini bahwa bangsa merdeka tidak mengenal praktik penyiksaan," tandas Amin.

(JW/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi