Masa Depan Mesir Pasca Referendum Konstitusi Baru

Oleh: Drs. Kasman SAN. Referendum untuk menyetujui konstitusi baru Mesir telah digelar. Jajak pendapat ini bertujuan mengganti konstitusi lama yang disahkan oleh Presiden Mohammed Morsi beberapa bulan sebelum dia disingkirkan oleh militer. Konstitusi baru itu disusun oleh sebuah komite yang berisi 50 orang dan hanya dua di antaranya yang berasal dari partai Islam.

Pemerintah sementara mengklaim bahwa rancangan konstitusi baru ini memberikan lebih banyak kebebasan dan hak, serta menjadi kunci menuju stabilitas di Mesir. Hasil referendum menunjukkan 90 persen lebih pemilih mendukung konstitusi baru itu. Dukungan yang mendekati 100 persen itu tentu sebuah hasil yang mencengangkan semua pihak.

Lalu apakah dukungan suara 90 persen pemilih bisa memberikan legitimasi yang kuat bagi pemberlakuan konstitusi baru? Ada pepatah yang mengatakan, ”it’s too good to be true”, sesuatu yang terlalu indah untuk dipandang sebagai kenyataan. Dukungan yang nyaris bulat dalam referendum itu terlalu bagus untuk diterima sebagai sebuah realitas dan karenanya layak untuk dikritisi dan dicermati. Hasil itu sudah diprediksi sebelumnya karena Ikhwanul Muslimin memboikot referendum dan terbukti hanya sekitar 55 persen warga yang memiliki hak pilih yang memberikan suara dalam referendum itu. Konstitusi baru itu akan melapangkan jalan bagi panglima militer untuk maju dalam pencalonan presiden.

Bisa saja, Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Abdel Fattah al-Sisi menjadi calon tunggal. Setelah kudeta politik militer terhadap Presiden Mohammed Mursi yang terpilih melalui pemilu demokratis, referendum atas konstitusi baru itu dikhawatirkan tidak akan membuka jalan solusi bagi krisis Mesir. Konstitusi baru masih dicurigai sebagai sebuah kedok konstitusional bagi militer untuk meraih kembali kekuasaan dan melanggengkan pengaruhnya dalam kehidupan demokrasi sipil Mesir.

Dari sudut pandang politik praktis, hasil referendum itu juga akibat dari kekeliruan manuver Ikhwanul Muslimin. Aksi boikot tampaknya bukan strategi politik yang tepat bagi kelompok pendukung organisasi tersebut karena kehidupan politik pascareferendum akan semakin mempersempit ruang gerak kelompok tersebut.

Sebaliknya, militer memiliki dasar yang seolah-olah valid dan demokratis. Dengan lahirnya konstitusi baru, bolaa berada di pihak militer. Penguasa militer bisa memanfaatkan peluang itu untuk mengoreksi penyelewengan kekuasaan yang telah terjadi, atau bersikukuh pada ego militer dengan membawa kembali rezim otoritarian melalui kandidat presiden dari latar belakang militer.

Pascareferendum, perjuangan sipil untuk demokratisasi masih jauh dari pencapaian. Perdana menteri sementara, Hazem Beblawi, mengatakan referendum ini merupakan “momen paling genting” untuk Mesir. Apalagi Ikhwanul Muslimin yang menjadi pendukung Morsi memboikot referendum tersebut.

Mendukung Konstitusi Baru

Mereka beralasan referendum tersebut merupakan bagian dari kudeta terhadap Morsi. Sembilan orang meninggal pada hari pertama pemungutan suara akibat pertempuran antara pendukung IM dan pasukan keamanan. Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan 444 orang ditangkap pada pemungutan suara selama dua hari ini.

Hasil hitung cepat media lokal menyebutkan bahwa 90 persen warga Mesir yang ikut memilih mendukung konstitusi baru itu. Konstitusi baru itu dijadikan legitimasi bahwa mayoritas rakyat Negeri Piramida itu mendukung penggulingan Morsi. Namun, yang lebih penting dari semua itu adalah Kepala Militer Mesir, Jenderal Abdel Fattah Al Sisi, semakin dekat dengan kursi kepresidenan. Setelah penggulingan Presiden Muhammad Morsi pada Juli 2012, Mesir terpaksa menggelar kembali pemilihan presiden untuk mengakhiri konflik di negara itu.

Hanya Al Sisi satu-satunya calon presiden yang serius untuk maju dalam pemilu itu. Laporan Kantor Berita Reuters, Selasa (14/1), menyebutkan referendum yang dilaksanakan setelah militer menggulingkan Morsi itu cenderung memberikan peluang penyerahan kursi kepresidenan Mesir kepada Jenderal Abdul Fattah Al Sisi, yang di kalangan Ikhwanul Muslimin (IM) dianggap sebagai dalang kudeta enam bulan lalu itu.

Peluang Jenderal Sisi bakal terpilih sebagai presiden sangat besar. Apalagi, rakyat Mesir saat ini sudah lelah dengan kekisruhan politik yang berlangsung hampir tanpa henti sejak Mubarak ditumbangkan pada Februari 2011 lalu. Opini yang berkembang saat ini adalah warga memandang Jenderal Sisi sebagai figur yang bisa mengembalikan stabilitas Negara Piramida itu Jenderal Abdel Fatah Al Sisi juga sudah memberikan isyarat.

Dia pernah mengatakan hanya ingin mencalonkan diri sebagai presiden asalkan atas permintaan rakyat dan dengan mandat dari tentara Mesir. Pernyataan itu merupakan indikasi pertama bahwa ia mungkin akan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden mendatang.

Walaupun pihak militer dan kelompok sekuler Mesir mengklaim referendum ini menjadi jalan untuk menuju stabilitas Mesir, banyak juga kalangan pengamat mengatakan bahwa Mesir kembali akan diguncang krisis yang akut. Kembali ke awal, seperti ketika rezim tangan besi, Husni Mubarak, berkuasa. Saat itu, Mubarak bersama militer bersikap keras terhadap rakyatnya yang beroposisi, khususnya Ikhwanul Muslimin.

Di eranya, banyak tokoh Al Ikhwan al Muslimun (Ikhwan) yang dibunuh,ditangkap, atau dipenjara. Ia melanjutkan tradisi kekuasaan militer dari Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. Jendral Al Sisi dianggap setali tiga uang dengan Mubarak. Siapa yang menentang kekuasaannya, layak dibunuh. Ia tidak tahan dengan demonstrasi dari oposisi. Beda dengan presiden yang digulingkan, Mohammad Morsi tidak menggunakan senjata saat menghadapi para demonstran.

Kini, Al Sisi melangkah lebih “maju” dengan melarang dan menangkap tokoh-tokoh dari kelompok Ikhwanul Muslimin.  Karena itu, kekeruhan politik di Mesir diperkirakan akan menjadi panjang dan akut. Ikhwanul Muslimin tentu tidak akan tinggal diam setelah Al Sisi berkuasa nanti.

Mereka menolak berkompromi dan tidak akan masuk dalam pemerintahan Al Sisi.  Gerakan rakyat Mesir ini lebih tepat disebut sebagai kebangkitan dan protes akibat konflik yang tidak berkesudahan. Kebangkitan atas rakyat yang hanya bisa marah dan mengungkapkan kemarahannya terhadap rezim, namun tidak memiliki daya untuk membentuk pemerintahan baru. Atau mungkin, mereka memang tidak tahu pasti pemerintahan seperti yang apa yang tepat untuk mereka karena ketiadaan figur pemimpin revolusi.

Kemarahan mereka adalah nyata. Namun, secara ril pula kekuasaan tidak ada di tangan mereka. Lagi-lagi, elitelah yang mengambil alih. Sikap IM yang tak mau mengalah (padahal mengalah pun adalah sebuah strategi untuk menang) pun harus diakui bak memberikan bensin kepada api yang sedang menyala sehingga membuka jalan bagi aksi represif militer. Apalagi, menyelamatkan jiwa lebih wajib daripada menyelamatkan kekuasaan.

Dan rakyat Mesirlah yang menjadi korban utama. Darah kembali tertumpah sia-sia, sementara perbaikan ekonomi entah kapan akan terwujud. Tumbangnya Morsi dan IM perlu dijadikan catatan bahwa mengusung sebuah ideologi sebagai kendaraan politik ternyata tak semudah yang disangka. Ingatlah bahwa rakyat akan berpihak pada mereka yang memperjuangkan kepentingan bangsa, bukan yang melulu memikirkan kepentingan organisasi atau kelompok tertentu. ***

Penulis, bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional, tinggal di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi