Oleh: Hidayat Banjar. Data Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) – dihimpun 2006-2013 – secara nasional persentasi kelulusan UPA (Ujian Profesi Advokat) yang tertinggi terjadi pada tahun 2009, dari jumlah peserta ujian 3.352, yang lulus 1.915 (57,1 persen). Selanjutnya, seleksi pada tahun 2011, 51 persen (2.552 orang) dari jumlah peserta 4.974). Persentasi yang terendah terjadi pada September 2006, dari yang ikut UPA 3.404 yang lulus hanya 593 (17,4 persen) peserta.
Sedangkan kelulusan tahun 2013 hanya sekitar 32 persen. Berdasarkan komposisi kota penyelenggara ujian, persentase kelulusan tertinggi masih dipegang oleh DKI Jakarta dengan angka 40,6 persen. Berdasarkan data yang dipublikasikan laman resmi Peradi (www.peradi. or.id), total peserta ujian yang lulus, 1.801 orang yang tersebar di 16 kota penyelenggara ujian.
Rencana awal, pengumuman kelulusan ujian advokat 2013 akan dilansir 16 Mei 2013. Namun, berdasarkan SK PUPA No 3/2013, PUPA memutuskan untuk menunda empat hari. Ketua PUPA (Panitia Ujian Profesi Advokat, Thomas Tampubolon kepada media, Senin malam (20/5), menjelaskan penundaan dilakukan karena sempat terjadi pembahasan tentang besaran ambang batas kelulusan (passing grade).
PUPA, kata Thomas, ingin menerapkan passing grade 70 dengan ambang bawah 65. Namun, saat rapat PUPA dengan DPN PERADI, muncul aspirasi dari daerah agar passing grade diturunkan di bawah 65. Pada akhirnya, PUPA menetapkan bahwa passing grade adalah 65-70. “Demi menjaga kualitas, PUPA selalu konsisten menerapkan 70 dengan batasan 65 tetap dianggap lulus, kami justru sebenarnya ingin lebih (dari 70),” ujarnya.
Kenapa Gagal?
Kelulusan UPA ditentukan oleh Peradi dengan menggunakan skor nilai tertentu, faktanya banyak kawan yang terlihat mumpuni namun gagal. Kenapa? Bagi yang akan mengikuti UPA pada 15 Februari 2014 ada baiknya belajar dari kegagalan teman-teman terdahulu agar tidak gagal.
Beberapa kawan mengatakan, tidak adanya persiapan yang cukup untuk menghadapi UPA penyebab kegagalan: tersita waktu karena bekerja, sibuk mengurus anak, padatnya aktivitas di luar rumah (kantor), dan lainnya. Memang tidak mudah untuk menghadapi soal-soal UPA yang beraneka ragam.
Untuk itu, bagi rekan-rekan yang akan mengikuti UPA 2014 persiapkanlah diri. Beberapa rekan yang supersibuk membuat rangkuman dari materi-materi agar dapat dibaca ketika pulang kantor dan menyempatkan hadir dalam belajar kelompok untuk membahas soal-soal UPA.
Kegagalan lain disebabkan, lupa menuliskan nomor ujiannya. Padahal diketahui kemampuanya di atas rata-rata. Walaupun terkesan sepele, namun kesalahan seperti ini sangat fatal. Sebaik apa pun peserta menjawab soal-soal UPA, namun bila lupa mengisi persyaratan ujian akan percuma.
Sebelum peserta UPA membaca soal-soal, ada baiknya membaca dan melaksanakan petunjuk. Begitu pula ketika selesai, disempatkan untuk dicek apakah seluruh petunjuk sudah dilaksanakan. Apabila ada keraguan, segera tanyakan dengan panitia.
Umumnya ada dua soal dalam Ujian Profesi Advokat, keduanya harus ditulis kembali nama, nomor ujian, tanda tangan dan lainnya.
Soal Esai
Tentang soal esai mana yang dipilih, ada peserta UPA mengerjakan keduanya (hukum acara perdata dan alternatif penyelesaian sengketa). Walaupun sampai saat ini tidak jelas bagaimana penilaian ketika kedua soal tersebut dikerjakan, namun rumor yang beredar, panitia akan mengambil nilai terendah.
Apa pun rumornya, dengan mengerjakan kedua soal tersebut mengakibatkan peserta UPA tidak fokus (maksimal). Oleh karena itu sebelum ujian sudah memilih mau mengerjakan esai hukum acara perdata atau alternatif penyelesaian sengketa.
Kegagalan berikutnya terjadi akibat kebiasaan menulis dengan komputer (mengetik), akhirnya tidak terampil menulis dengan tangan. Atau memang tulisan peserta UPA hanya bisa dibaca oleh si penulisnya sendiri. Benar pun hasil kerjanya, jika tak dapat dipahami oleh penilai, sudah dapat dipastikan nilainya nol.
Berbeda dengan pemeriksaan ujian pilihan berganda yang menggunakan mesin. Pemeriksaan ujian esai harus dibaca satu-persatu oleh penilai dan tentunya tidak hanya jawaban ujian peserta seorang saja yang dibaca. Ada berpuluh-puluh atau beratus jawaban ujian esai. Bila tulisan peserta sulit dibaca, mungkin penilai langsung mencoret jawaban esai tersebut. Karena itu, ada baiknya peserta melatih tulisan tangan untuk membuat surat kuasa dan gugatan (soal hukum acara perdata).
Ketidaksesuaian
Ada pula kasus kesalahan nama di sertifikat PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) mengakibatkan tidak lulus UPA dua kali berturut-turut. Sebenarnya untuk alasan ini, kita boleh percaya atau tidak.
Apabila ada rekan yang mengalami hal yang sama, ada baiknya jauh-jauh hari untuk mengurus penyatuan nama antara di KTP, Ijazah, Sertifikat PKPA dan kartu UPA sehingga tidak bingung nama mana yang mau dituliskan dalam kertas jawaban. Begitupula dengan nomor sertifikat PKPA dan nomor ujian, haruslah sesuai (sama).
Kondisi rendahnya tingkat kelulusan UPA ini, menurut Thomas, harus dicarikan solusinya. Dari sisi penyelenggara ujian, Thomas mengatakan pihaknya akan terus melakukan perbaikan-perbaikan. Mulai dari persiapan sebelum hari-H, kualitas soal, hingga penyelenggaraan ujian.
Di sisi lain yang tidak kalah penting, kata Thomas, adalah perbaikan pada sistem pendidikan khusus profesi advokat (PKPA). Idealnya, PKPA memiliki korelasi yang positif dengan hasil ujian. PKPA yang berkualitas tentunya akan menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Makanya, Thomas merekomendasikan beberapa hal terkait PKPA.
Mulai dari kualitas pengajar. Menurut dia, kualitas pengajar di Pulau Jawa masih terlihat timpang dengan pengajar di daerah. Thomas mengusulkan agar Peradi menerapkan sistem sertifikasi pengajar PKPA. Dengan sistem sertifikasi, maka kualitas pengajar PKPA di seluruh Indonesia pun bisa dijaga. Hal lain yang diusulkan adalah perlu diselenggarakan training for trainers atau pelatihan untuk pengajar. Tujuannya sama, untuk menyamakan level kualitas pengajar PKPA.
Sejalan
Lalu, soal materi yang diajarkan dalam PKPA. Ditegaskan Thomas, PKPA seharusnya lebih diarahkan sebagai medium persiapan menuju ujian advokat. Makanya, dia usul materi PKPA pun harus sejalan dengan materi yang akan diujikan. Sejauh ini, Thomas melihat dari segi jumlah, materi PKPA terlalu banyak dibandingkan materi yang disajikan dalam ujian advokat.
Solusinya, menurut dia, kurikulum PKPA perlu dititikberatkan pada materi-materi terkait ujian seperti hukum acara, pidana maupun perdata, atau materi kode etik advokat. Selebihnya, hal-hal yang ditujukan sebagai bekal advokat saat menjalankan praktik, bisa disajikan dalam program pendidikan hukum berkelanjutan atau continuing legal education.
“Dalam rapat dengan DPN (Dewan Pimpinan Nasional) Peradi, kami (PUPA) sepakat akan melakukan perbaikan, tetapi ini juga harus sinergis dengan divisi pendidikan agar outputnya tetap ada korelasinya,” kata Thomas.
Beberapa komentar saya himpun dari calon advokat yang dinyatakan lulus UPA 2013, berpendapat, PKPA sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada ujian. Mereka merasa beberapa materi PKPA tidak lebih sekadar penyegaran atas materi-materi kuliah yang pernah dipelajari di fakultas hukum. Yang terasa manfaatnya, justru ujicoba (try out) ujian yang biasanya diselenggarakan lembaga PKPA.
“Pada akhirnya saya ikut PKPA karena itu dipersyaratkan sebelum mengikuti ujian, kalau tidak begitu, saya lebih memilih ikut try out saja,” papar teman yang tak bersedia namanya ditulis. Dia pun setuju atas rencana perbaikan pada sistem ujian dan sistem pendidikan profesi advokat. Semoga. ***
Penulis adalah Anggota Badan Pengurus LBH Laskar Keadilan Indonesia.