Sudarso, di Balik Wanita Desa

Oleh: AZMI TS. Tak banyak pelukis realis nusantara ini segesit Sudarso dalam membuat lukisan. Terutama ketika menggarap lukisan realis seputar wanita desa. Tema ini selalu mendominasi karya seni yang pernah diciptakannya. Nyatanya walaupun dari segi usia Sudarso sudah mencapai 90 tahun, tapi tak sedikitpun kendur semangatnya berkarya.

Ini suatu kenyataan. Sudarso punya alasan tersendiri mengapa dia sering melukiskan kaum hawa alias wanita. Pelukis yang berasal dari Pancasan, Purwokerto, Jawa Tengah lahir pada tanggal 26 Juni 1914. Sudarso, anak seorang carik desa, sejak kecil menyenangi gambar terutama tokoh wayang. Sekolah Rakyat Arjoena School di Ajibarang, Jawa Tengah tamatan tahun 1931.

Setelah tujuh tahun tamat SD itu, dia hijrah ke Bandung. Bukan melukis tetapi menjadi pedagang susu dan telur, keluar masuk kampung hingga tahun 1938. Bersama rekannya Wahdi, Barli, Hendra Gunawan dan Affandi serta satu pelukis Belanda, Koos, membentuk kelompok Lima. Di samping itu dia juga aktif sebagai pemain ketoprak hingga tahun 1943.

Tak puas dengan aktivitas seninya di Bandung, dia pun bersama Affandi mengadu nasib di Yogyakarta, hingga tahun 1945. Sudarso juga ikut mendirikan dan mengajar di ASRI antara tahun 1951-1966. Ada yang unik pada karya lukisan Sudarso yakni gaya realisme, diselingi sosok model wanita desa berkain dan kebaya.

Pilihan Sudarso tentang perempuan atau wanita desa ini dalam referensi disebutkan adalah sosok ibu. Maklumlah Sudarso, sudah ditinggal pergi oleh sang ibu alias minggat entah kemana, sejak lama! Jadi ketika dia merasa rindu akan belaian kasih sang bunda, diapun melukiskannya sosok itu pada kanvas.

Kesetiaan Sudarso melukiskan wanita desa memang luar biasa. Dia tak hanya mampu menvisualkan keluguan, wanita desa bersahaja dan sosok yang memakai busana kebaya. Busana kebaya pada lukisan wanita Sudarsopun tak sepenuhnya kain panjang (non formal = terlihat betis).

Melihat cara dan teknik Sudarso melukis wanita desa (kebaya setengah betis tadi) dia sangat paham detail sisi anatomi dan gestur. Dengan busana kain jarit yang tak mengenal wiru sekaligus cingkrang (separuh panjang), justru menonjolkan betis sosok wanita desa tanpa alas kaki. Wanita desa itu selalu duduk dengan gestur yang beragam, namun tetap berada dengan latar sunyi dan warna buram.

Menarik lagi kalau ditelisik pada lukisan berjudul “Dik Kedah, Dik Tinah dan Dik Tiul”. Objek perempuan Jawa yang hampir dominan muncul dalam lukisan Sudarso inilah yang perlu dikaji. Ternyata Sudarso sangat mengagumi keagungan wanita.

Demikian pula Sudarso, sangat mencintai Hj. Asiyah dengan 8 anak. Anak laki-laki berjumlah 5 itu mengikuti bapaknya sebagai pelukis.

Jadi yang dimaksud ‘wanita’ bahasa Jawa (kerata basa) Wani yang artinya berani sedangkan Tata yang berarti beraturan. Selanjutnya Wani ditata yang artinya berani (mau) diatur. Wani nata yang artinya berani mengatur. Dalam lukisan Sudarso, kata wanita mengindikasikan bahwa perempuan harus bersekolah setinggi mungkin, sehingga agung dalam perannya di tengah masyarakat.

Di balik lukisan berjudul “Dik Sudilah”, Sudarso melukiskan sosok wanita desa menatap sendu dengan senyum dikulum. Posisi duduk wanita berpakaian putih berbunga, dengan selendang biru muda, sedangkan tangannya diletakkan di atas lutut yang bersilang. Di balut kain biru tua mengesankan Dik Sudilah tengah dirundung kesepian.

Pada lukisan “Dik Kedah”, Sudarso posisi duduknya agak beda terutama pada arah pandangan ke arah samping. Busana kebaya gelap serta selendang bermotif ditambah kain berwarna merah dengan sedikit kaki merenggang. Lukisan ini bermakna Dik Kedah sedang memikirkan untuk mengambil suatu keputusan.

Lukisan ini tak hanya menjadi kesayangan Sudarso, tapi juga akhirnya Soekarno berhasil memilikinya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu dimaknai tentang posisi duduk wanita desa versi Sudarso ini. Ada wanita yang sedang duduk dalam berbagai posisi, menilai mereka dapat dilihat dari ‘tanda’ bersikap. Sebab cara duduk juga dapat merefleksikan sifat dan cara berpikirnya.

Kalau pembaca teliti dan mengamati lukisan Sudarso terutama posisi duduknya, akan pahamlah bahwa wanita itu romantis, patuh, dan memiliki beberapa rahasia. Hal ini biasanya spontan tanpa dibuat-buat. Paling tidak Sudarso adalah maestro lukisan realisme di Indonesia, mampu menempatkan posisi wanita dari cara duduknya, berbusana kebaya serta tatapan wajah (gestur).

Keseriusan Sudarso agar bisa eksis dalam berkarya terutama melukis Perempuan Desa adalah hal unik, dan belum ada duanya. Walaupun dalam perjalanan karirnya Sudarso tidak sepopuler Affandi, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, Wahdi dan sebagainya. Dia telah menjadikan Sudarso pelukis di lingkaran istana pada era Soekarno.

Sudarso dalam sejarah seni rupa Indonesia termasuk pelukis dalam lingkaran istana dan banyak lukisannya di koleksi oleh Soekarno. Kiprah pameran dimulainya tahun 1951 seiring terbentuknya GPI (Gabungan Pelukis Indonesia). Tahun ahun 1960 di Kedutaan Argentina di Jakarta, lalu pada tahun 1969, dia kembali berpameran di Balai Budaya.

Dia banyak mengadakan pameran tunggal pada sejumlah kota Indonesia maupun pameran bersama di luar negeri. Tepat pada 20 Juni 2006. Pelukis Sudarso menghembuskan nafas terakhirnya di Purwakarta, Jawa Barat. Almarhum di makamkan di Yogyakarta.

Beberapa karya lukisan perempuan desa adalah aset sejarah senirupa nusantara. Ada baiknya koleksi lukisan Sudarso ini dapat diketahui publik. Mungkin saja Galeri Nasional punya data untuk itu, semoga saja lukisan Sudarso, tiba-tiba terendus sudah tidak berada di Indonesia. Alangkah naifnya kita yang selalu saja lalai dan sering menyepelekan, tak pernah peduli pada karya lukisan anak negeri, satu di antaranya adalah Sudarso.

()

Baca Juga

Rekomendasi