Oleh: Liven R. BEIJING, malam Imlek.
Malam cerah. Di langit, bintang-bintang bergandengan membentuk formasinya. Rombongan kami yang berjumlah sebelas orang, belum termasuk seorang pemandu lokal, tertumpah di pasar tradisional dadakan di taman tak jauh dari Kuil Langit yang megah.
Beberapa menit yang lalu, aku masih merindukan rumah. Merindukan suasana malam Imlek di kota kelahiranku, Medan, Indonesia, di mana kami sekeluarga selalu berkumpul, mengenakan pakaian dengan corak dan warna yang sama, dan mengelilingi meja menikmati tuan yuan fan – makan malam bersama di malam Imlek. Karena alasan ini juga, tahun lalu aku menolak tiket apresiasi yang diberikan oleh Asosiasi Guru Mandarin se-Indonesia untuk berkunjung ke China dalam suasana Tahun Baru Imlek yang lalu.
Bagiku, bila semua etnis Tionghoa di mana pun selalu berusaha pulang untuk berkumpul dengan keluarga di malam Imlek, maka aku tak seharusnya justru meninggalkan keluarga di malam Imlek. Tapi, atas bujukan Mama, akhirnya tahun ini aku berangkat juga, menginjakkan kaki di Negeri Tirai Bambu ini, dan dipastikan melewati Imlek hingga hari kedua di sini.
Hani menarik tangan kananku, menunjuk pada banyaknya gantungan dengan simpul khas China di salah satu kios di pinggir jalanan, “Lihat itu! Indah sekali! Beli?”
“Cheongsam merah tua itu bagus sekali, Vanes, sepertinya cocok dengan ukuran kita! Lihat, yuk!” Lily menarik tangan kiriku ke arah seorang penjual pakaian jadi.
“He-eh! Kalian berdua ingin membelah badanku menjadi dua?!”
Kami tertawa bersama di antara lautan manusia segala etnis dan bangsa yang memadati setiap ruas jalan sejauh mata memandang. Lagu-lagu Mandarin bernuansa Imlek berkumandang menyemarakkan malam yang gemilang dengan dominan merah lampion di mana-mana. Seketika, aku terbawa suasana dan menikmati nuansa Imlek yang kental di sekelilingku!
Beberapa menit berlalu dalam keasyikan memilah oleh-oleh apa yang akan dibeli. Mendadak, bunyi genderang dan gong yang dipukul keras terdengar. Serta-merta aku, dan juga yang lain, memandang ke arah datangnya suara di ujung jalanan. Sekelompok barongsai – delapan ekor – tampak menari dan beratraksi semakin mendekat. Barongsai itu, dari yang berbulu kuning, merah, ungu, hingga putih, lengkap! Orang-orang di sekeliling terpaku dalam rasa takjub, termasuk aku. Sebagian orang bertepuk tangan mengikuti irama genderang.
Cai Sen dao! Cai Shen dao! Cai Shen lai dao wo jia da men kou! (Dewa Rejeki tiba! Dewa Rejeki tiba! Dewa Rejeki tiba di gerbang rumahku!) Lagu riang yang tak asing itu membahana. Tiba-tiba, muncul delapan orang berpenampilan Cai Shen (Dewa Rejeki) berjalan beriringan di belakang para pemain barongsai.
“Delapan Cai Shen ini melambangkan Dewa Rejeki dari delapan penjuru mata angin. Malam ini, mereka akan melakukan pertunjukan sambil berjalan menuju Kuil Langit itu.” Xian Ping, pemandu kami memberi penjelasan dalam bahasa Mandarinnya yang fasih dan setengah berteriak untuk mengalahkan bisingnya suara lain. “Mereka akan membagikan angpao keberuntungan di sepanjang perjalanan. Tak perlu mendekatinya. Jika beruntung, mereka akan mendatangimu dan memberimu angpao. Begitulah nilai sakralnya,” imbuh Xian Ping lagi.
Rombongan itu semakin mendekat. Delapan Cai Shen tak lagi berjalan beriringan, melainkan berpencar ke mana-mana membagikan angpao. Semakin dekat, suara genderang dan gong yang dipukul kuat itu seolah akan memecahkan gendang telingaku. Seperti biasa, aku tak begitu menyukai kebisingan sejenis ini. Hatiku menjadi tak tenang. Perasaanku kacau. Karenanya, aku menyusupkan diri di kerumunan sejauh mungkin dari jalan yang akan mereka lewati sambil menutup telinga. Desakan orang-orang yang ingin menyaksikan iringan barongsai sesekali membuatku hampir kehilangan keseimbangan.
“Nona!” Sebuah tepukan di pundak dan panggilan yang lumayan keras di sisi telinga menyentakkanku. Rasa kaget membuatku membalik tubuh dan membelalakkan mata. Cai Shen!
Masih dalam keterkejutanku dalam memandang dan terpaku pada kumis panjang hitam Cai Shen yang dipasang menutupi mulutnya itu, aku mengabaikan angpao yang telah disodorkannya selama beberapa waktu.
Orang ini, dari keseluruhan wajahnya yang dirias menjadi Cai Shen, hanya bagian atas wajahnya yang tak tertutupi! Aku baru tersadar saat memandang mata Cai Shen yang sedang tersenyum kepadaku, dan menerima angpaonya!
“Xie-xie! (terima kasih!)”
Kupandangi angpao keberuntungan dalam genggamanku. Membolak-balik, aku mendapati dua angpao lengket menjadi satu. Setiap orang – yang dikatakan beruntung – seharusnya hanya mendapatkan satu saja. Rejeki siapa ini yang nyasar di tanganku? Ah!
Dengan sedikit berjinjit, aku mencari sosok Cai Shen yang menghampiriku tadi. Begitu banyak orang yang menginginkan angpao keberuntungan, aku tak seharusnya menyimpan dua. Ah, itu dia! Belum terlalu jauh!
Sedikit mendorong kiri-kanan, aku menerobos kerumunan.
“Tuan… tuan!” Dalam bahasa Mandarin, sekencang mungkin aku berteriak. Tapi, tuan siapa? Panggilan yang tak tepat! “Pak! Pak, tunggu! Angpaonya lebih!” Dia terus berjalan semakin jauh. Eh, dari kulit wajahnya tadi, sepertinya dia anak muda! “Gege (Abang)! Gege, tunggu!”
Lagi-lagi langkahku terhambat padatnya orang-orang. Sekali lagi, sekuat tenaga kusibak kerumunan manusia. “Gege! Cai… Shen…! Cai… Shen! Tunggu…!” Bunyi petasan yang mendadak berdentum-dentum diiringi cahaya kembang api yang menyerbu angkasa, seketika menelan hilang suaraku. Uh!
Orang-orang mengalihkan pandangan ke langit, tapi aku tidak. Masih pada target kejaran, mataku berjaga. Aneh! Cai Shen itu terlihat tidak lagi membagikan angpao, melainkan berjalan cepat menyusup di antara keramaian. Menggunakan kesempatan orang-orang berdiam diri di tempat menyaksikan kilau kembang api yang memukau, aku kembali mengejar Cai Shen!
Dia berjalan cepat menjauhi keramaian. Aku terus mengikutinya.
Di sebuah lorong sempit, di antara dua bangunan, dia masuk. Aku menghentikan langkah dengan bingung. Terlihat dua alat pengeras suara berdiri di sisi jalan, di samping lorong bangunan. Waw, ternyata di sinilah ‘sarang’ para ‘Chai Shen’! Ketika orang-orang sibuk mengamati kembang api di langit, mereka berganti kostum di sini!
“Nona, ada apa?” Saat memutuskan berbalik, suara itu menyapaku.
“Ini.…”
Cai Shen di hadapanku mengerutkan dahi. “Bukankah untukmu?”
Aku mengangkat tangan sebelah lagi yang menggenggam angpao. “Lebih satu…,” jawabku sambil mengulurkan tangan lebih dekat ke arahnya.
“Ini berarti kamu akan mendapatkan rejeki berlebih tahun ini,” ujarnya setelah diam sesaat. “Simpanlah, Nona. Duapuluh menit lagi, setelah acara kembang api ini selesai, kami akan berubah menjadi pemain long (naga) di Kuil Langit sana. Cai Shen sudah selesai membagikan angpao….” Ada nada tawa di balik kumis hitam yang masih bergantung di depan mulut lelaki ini.
“Oh?!”
“Nona, jujur sekali…” Dia beranjak selangkah lebih dekat ke arahku. “Tinggal di daerah mana?”
“Aku…, ehm, Indonesia!”
Aku bisa melihat ekspresi terkejut memancar dari mata ‘Cai Shen’ di hadapanku. Indonesia! Ya, meski di sebagian negara, lebih sering orang-orang akan mencibir ketika mendengar nama ‘Indonesia’, dan aku tidak tahu mengapa, tapi aku tetap bangga menyebut diri dari Indonesia!
Sejurus, dia terus menatap wajahku, membuatku risih untuk segera pamit dari hadapannya.
“Tunggu! Mari berfoto untuk kenang-kenangan.”
Surprais! Aku tersenyum. Dia menjentikkan jarinya meminta seseorang di dalam grup mereka untuk membantu mengabadikan momen: aku berdiri bersisian dengan Cai Shen!
“Di mana alamatmu?”
Heh? Aku terbiasa memproteksi diri untuk tidak menyebut alamat kepada siapa pun yang tak kukenal. Aku terdiam. Dia masih memandang wajahku tanpa berpaling. Ada apa di wajahku?!
“Kami akan mengadakan doa bersama kepada Tian (langit/Tuhan) tepat pukul duabelas tengah malam nanti di Kuil Langit itu. Siapa namamu? Di mana alamatmu? Aku akan menyebut nama dan alamatmu dalam doa….”
“Aku ingin foto tadi. Boleh memberiku sekarang?” Tidak menjawabnya, aku segera mengalihkan pembicaraan.
“Baik. Tapi kamera kami tak dapat langsung jadi. Bagaimana kalau kukirim nanti? Lewat e-mail?”
Dari tas ransel, aku mengeluarkan secarik kertas dan pulpen; menuliskan: [email protected].
“Vanescia Lie? Nama yang bagus. Aku akan menyebutmu dalam doa, ya?”
Aku mengangguk dan tersenyum untuk ketulusannya. “Terima kasih, Gege….”
“Sampai jumpa.”
Sampai jumpa? Kapan lagi? Ah, basa-basi yang terlanjur basi sebelum matang! Haha! Rasa lucu menggelitik kalbu! Begitu pun, aku tetap membalas ucapan ‘sampai jumpa’nya.
“Cai Shen, gong xi-gong xi!” Aku teringat untuk meneriakkan kalimat ini kuat-kuat setelah berjalan agak jauh darinya. Dia mengangkat tangannya membentuk soja ke arahku.
Jalanan di sekeliling masih ramai meski tak seramai tadi. Para penjaja masih sibuk melayani. Sebagian orang telah memilih mengikuti iringan barongsai menuju Kuil Langit. Nyanyian Imlek pun masih berkumandang. Tapi, di mana rombonganku; pemanduku? Astaga!
**
INDONESIA, hari kedelapan Imlek.
Malam ini adalah malam bagi etnis Tionghoa Buddhis untuk bersembahyang kepada Tian; malam pemanjatan syukur atas semua berkah dan perlindunganNya dalam setahun lalu dan malam permohonan agar dilimpahkan segala kebaikan dalam setahun ke depan. Kami sekeluarga memutuskan untuk melakukan sembahyang tepat pukul satu dini hari nanti.
Selesai membantu Mama menyiapkan buah-buahan dan kue, tak ada lagi yang harus kukerjakan. Untuk mengusir kebosanan, aku mengecek e-mail yang sudah lama tak kubuka.
Hampir selusin e-mail yang belum dibaca menjejali kotak masuk. Di antaranya ada empat surel berjudul Mandarin. Satu-persatu kuperiksa. Satu di antaranya terlihat memiliki lampu indikator hijau menyala pada chatbox-nya, dia sedang aktif!
“Nona Vanescia, gong xi fa cai! Apa kabar?”
“Gong xi!” jawabku. “Siapa, ya?”
“Chen Zhi Ying.”
Aku berusaha mengingat-ingat. Gagal! “Siapa, tuh, Chen Zhi Ying, ya? Maaf, aku pelupa…,” balasku kemudian.
Tidak ada balasan selama hampir dua menit.
Sebuah foto masuk.
“Ah, Cai Shen!” Oh! Aku baru sadar, bahkan nama pun tidak kutanyakan padanya tempo hari!
“Vanescia, aku ingin ke Indonesia. Boleh?”
“Untuk?”
“Melihat suasana Cap Go Meh (hari kelimabelas Imlek) di sana. Dan….” Kalimatnya tergantung.
“???”
“Menemui seorang gadis cantik berlesung pipi yang telah mencuri hatiku di malam Imlek!”
Aha! Gombal urutan ke duaribu tujuhratus limapuluh delapan yang kuterima! Tapi, bersahabat bukanlah dosa. Baiklah! Segera kuketik....
“Cai Shen dao! Cai Shen dao! Huan ying Cai Shen lai dao wo jia men kou! (Dewa Rejeki tiba! Dewa Rejeki tiba! Sambut dengan gembira Dewa Rejeki yang tiba di pintu rumahku!) ”***
Penulis adalah trainer penulisan
e-mail: [email protected]