Oleh: Fahrin Malau. Akhir bulan September 2014 bersama Warisan Budaya Sumatera (BWS) berkunjung ke Kabupaten Mandailing Natal (Madina) selama 3 hari. Madina menyimpan banyak warisan budaya dan satu diantaranya di daerah ini ada seorang penulis novel dan cerpen pada zaman Balai Pustaka dalam kesusastraan Indonesia, M. Kasim.
Sastrawan ini nama lengkapnya Muhammad Kasim Dalimunthe. Lahir tahun 1886 di Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Madina Provinsi Sumatera Utara. M. Kasim seorang guru sekolah dasar di Kecamatan Kotanopan adalah pelopor penulisan cerita pendek dalam sastra Indonesia.
Novel pertamanya “Moeda Teroena” tahun 1922 diterbitkan Balai Pustaka dan tahun 1924 memenangkan sayembara menulis buku anak-anak berjudul “Pemandangan Dalam Doenia Kanak-kanak” atau “Si Samin,” meraih hadiah pertama Arloji Emas dari Balai Pustaka.
Sedangkan Cerita pendek (Cerpen) yang terkenal “Teman Doedoek” tahun 1936. “Bertengkar Berbisik” tahun 1929 dan “Buah di Kedai Kopi” tahun 1930 yang ketiganya diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta.
Rumah M. Kasim di Jalan Sindang Laya Kecamatan Kotanopan Kabupaten Madina masih asli. Ini pengakuan Rita Dalimunte (45) cucu M. Kasim dari anak kesepuluh yang kini menempati rumah itu.
Rumah panggung berukuran besar itu terbuat dari kayu Bania, masih kokoh dan terpelihara dengan baik. Suasananya asri, karena dihiasi dengan pepohonan dan bunga. Rumah rumah penduduk yang berjauhan satu dengan lainnya berada di dataran tinggi yang berbukit dan dari rumah M. Kasim dapat memandang Pasar Kotanopan.
Rita Dalimunte mengakui tidak memiliki lagi buku-buku milik M. Kasim. Rumah M. Kasim itu menurut cerita orangtua Rita yang bersaudara 10 orang masih asli ketika mereka kanak-kanak di rumah itu. Rumah yang kokoh tidak termakan usia dan memang terus dirawat orangtuanya dan kini Rita yang merawat rumah itu.
Rumah itu dirawat karena peninggalan kakek mereka. Di samping itu rumah M. Kasim dibangun pada tahun 30-an memiliki nilai sejarah yang harus dilestarikan.
“Pihak keluarga saja yang merawat, belum ada dari pemerintah,” kata Rita Dalimunte.
Tidak Turun ke Anaknya
Sastrawan M. Kasim, menurut Rita Dalimente tidak seorang pun anak dari M. Kasim yang menjadi sastrawan. Para cucu M. Kasim, hanya ada seorang yang suka menulis cerita anak-anak, Cerpen dan Novel yakni Rifan Nazhif yang ini menetap di Palembang.
Rifan Nazhif kata Rita Dalimunthe, sering tulisan cerita anaknya terbit di Harian Analisa dan suratkabar terbitan Medan, Palembang dan Jakarta. Selain Rifan Nazhif tidak ada dari cucu M. Kasim yang menjadi penulis atau sastrawan.
Rumah M. Kasim itu kini sepi meskipun kumpulan Cerpen “Teman Doedoek” dinilai sebagai kumpulan cerita pendek pertama dalam kesusastraan Indonesia modern. M. Kasim dalam Novel dan Cerpennya bergaya bahasa sederhana penuh humor, juga memiliki karya terjemahan yakni Niki Bahtera (dari In Woelige Dagen karya C.J. Kieviet) tahun 1920 dan Pangeran Hindi (dari De Vorstvan Indie karya Lew Wallace) tahun 1931.
Gaya bahasa sederhana penuh humor, dari judul cerita pendeknya Bertengkar Berbisik saja sudah lucu.
Tidak lazim orang bertengkar dengan berbisik. Lazimnya orang bertengkar itu dengan suara keras dan berebut untuk berbicara. Dalam cerita Bertengkar Berbisik, terjadi karena alur ceritanya memang harus bertengkar dengan berbisik. Kalau tidak sandiwara mereka akan terbongkar.
Cerita Bertengkar Berbisik menyeritakan tiga orang musafir yang akan kemalaman di perjalanan. Muncul ide, satu di antara mereka menjadi Kepala Kampung dan dua orang lagi menjadi pengawal. Ide itu lahir, agar mereka dapat diterima oleh Kepala Kampung di kampung yang mereka dapati.
Sudah pasti karena mengaku Kepala Kampung maka tiga orang musafir itu mendapat perlakuan istimewa ketika dijamu makan malam dan begitu juga ketika tidur malam hari. Sang Kepala Kampung tidur di kasur empuk, lengkap dengan bantal guling dan selimut, sedangkan pengawal hanya tidur di tikar pandan putih.
Melihat perlakuan yang berbeda diperoleh, tiga orang musafir itu bertengkar. Dua orang di antara mereka tidak terima, sebab Kepala Kampung itu bukan benaran. Mereka sama-sama orang biasa, hanya bersandiwara saja seorang menjadi Kepala Kampung dan dua orang lagi menjadi pengawal.
Dua orang pengawal tidak terima, maka terjadilah pertengkaran di dalam kamar yang harus berbisik. Mereka bertiga bertengkar berbisik karena takut diketahui oleh yang punya rumah atau Kepala Kampung yang mereka kunjungi.
Sudah tentu lucu orang yang bertengkar harus berbisik, tidak bisa melepaskan emosi dengan suara keras karena takut didengar orang lain.
Emosi yang tertahan karena harus berbisik meluapkan kekecewaan dan protes terhadap ketidakadilan yang didapat.
Penulis ketika berada di rumah M. Kasim teringat dengan cerita Bertengkar Berbisik sepertinya rumah M. Kasim yang kokoh dan indah itu, berbisik kepada para sastrawan, lestarikanlah rumah ini, sehingga sebuah peninggalan sejarah tidak hilang ditelan zaman sebagai warisan budaya kepada anak cucu kita.
Kini rumah kokoh dan indah itu tidak ada yang mengetahui. Kalau tidak diberitahukan, rumah itu adalah rumah seorang pelopor cerpen Indonesia pada masa Balai Pustaka. Sebab tidak ada tanda-tanda, petunjuk khusus menyebutkan itu rumh M. Kasim.
Bagi yang melintasinya sudah pasti mengatakan itu sebuah rumah tua yang masih kuat, kokoh dan indah karena penghuninya merawat rumah itu dengan baik. Kini di sekitar rumah itu, sudah berdiri rumah moderen zaman kini.
Kepedulian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mandailing Natal sebaiknya melestarikan rumah yang masih kokoh itu. Agar rumah tetap berdiri dan memberikan petunjuk, informasi kepada masyarakat. Rumah tua itu adalah rumah seorang sastrawan, pelopor cerita pendek Indonesia era Balai Pustaka sebagai warisan budaya.
Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan dan relawan Badan Warisan Sumatera (BWS) Medan