Asaku dalam Tarian Pena

Oleh: Ria Sitorus

Kekuatan kata yang memimpin!

Begitulah yang kuyakini dalam perjalanan hidupku. Sejak kecil, aku bermimpi kelak akan menjadi seorang penulis besar. Begitulah, dari hari ke hari impian itu terus tumbuh. Sejak mengenal dunia pendidikan, aku begitu tertarik jika mendapat tugas mengarang dari guru Bahasa Indonesia. Ada kepuasan tersendiri ketika mengarang, karena hanya dengan menulis, aku bisa menuangkan imajinasi yang kerap berlompatan di kepalaku.

Saat masih kelas 4 SD, aku pernah mendapat nilai mengarang terbaik dari 42 murid di kelasku. Padahal aku hanya menulis pengalaman pribadi dengan judul “Marmahan Horbo Uju Metmet”, namun dalam cerpen itu aku memosisikan diri sebagai tokoh yang telah dewasa dan kembali mengenang masa kecilnya, meski sebenarnya saat aku menulis karangan itu, aku masih berusia 10 tahun. Riang hatiku tak terkira, meski tak percaya mengapa aku bisa mendapat nilai terbaik saat itu. Aku hampir melompat girang di depan kelas ketika melihat paraf guru plus nilai bagus tertera indah di catatanku.

Dan sejak itulah, aku terus mengasah jemariku untuk menyuarakan isi hati lewat mata pena. Terciptalah banyak puisi di setiap diari-ku, di catatan Bahasa Indonesia, di catatan PMP, di catatan Sejarah, catatan Ekonomi, Elektronika, Fisika, Biologi, Kimia. Tak peduli catatan apa pun itu, ketika sesuatu muncul di kepalaku dan menuntut untuk segera wujud dalam lukisan mata penaku, maka jadilah dia sebuah tulisan. Lebih sering berwujud puisi.

Setiap jengkal perjalanan hidup yang kulalui, kutorehkan di dalam goresan penaku, di dalam bahasa puisi. Mungkin itu pula sebabnya, teman-temanku berpendapat ketika itu, aku cenderung pendiam. Aku memang tak begitu suka mengumbar omong-kosong, apalagi ngerumpi. Sangat tidak suka! Aku merasa lebih baik memasuki alam imajinasiku sendiri. Bebas dan merdeka di dalam dunia imajinasi yang kucipta sendiri.

Dari SD, SMP, hingga SMA kebiasaan itu terus tumbuh tanpa henti. Di rumah, setelah pulang dari sawah, aku mengisi waktu luang dengan membaca cerpen, puisi, novel atau majalah sastra dan segala sesuatu yang berbau muatan budaya dan kesenian. Kebetulan waktu aku SMA, abang sulungku langganan majalah sastra Horison. Sering juga aku menyelipkan buku cerita di dalam ‘saong-saong’ (kain sarung yang dililit sebagai penutup kepala saat bekerja di sawah-pen) saat hendak menggembalakan kerbau ke sawah, sebab jika ketahuan Omak pasti akan kena marah. Aku suka curi-curi waktu untuk membaca, terkadang sembunyi di dalam ‘undung-undung’ (pondok persinggahan di tengah sawah/ladang-pen), atau saat duduk di pematang sawah. Aku semakin mencintai sastra. Mimpi untuk menjadi penulis pun tetap kupupuk dalam hati, pikiran dan jiwaku.

Ada semacam kebahagiaan yang tak mampu kulukiskan keindahannya saat sedang membaca sebuah karya sastra, begitu pun dengan menulis.

Maka sejak kelas I SMA aku sudah bulatkan tekad untuk memilih jurusan IPS agar kelak bisa memilih jurusan Sastra di perguruan tinggi nanti. Itulah anganku. Namun sayang seribu kali sayang, angan tinggal angan. Abang sulungku yang juga guru IPA di SMA tempatku sekolah, menginginkanku agar mendalami ilmu IPA, sama sepertinya. Dia ingin menempaku seperti yang dia inginkan. Dia membebankan cita-citanya yang dulu tidak tergapai olehnya kepadaku. Sebab dulu, dia bercita-cita menjadi dokter, namun kemiskinan dan keterpurukan ekonomi keluarga kami saat itu membuat cita-citanya menjadi tak mungkin. Seperti kata pepatah “Bagai pungguk merindukan bulan.”

***

Pengalaman paling pahit yang sampai detik ini abadi dalam ingatanku.

Menjelang kenaikan kelas III SMA, guru wali kelas meminta kami untuk menuliskan pilihan jurusan masing-masing. Dan aku memilih jurusan IPS, tanpa ada rasa enggan dan tanpa meminta persetujuan dari Bang Marsito, abang sulungku, karena kupikir aku bebas memilih sesuai nurani dan keinginanku. Itu pilihanku, kelak menjadi jalan hidupku jua, pikirku.

Usai liburan semester yang lumayan panjang, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Masuk sekolah di kelas yang baru, kelas III IPS-1, pikirku. Aku bahagia sekali. Aku ingin sungguh-sungguh mendalami ilmu-ilmu sosial, batinku sepanjang jalan.

Pagi sekali aku tiba di sekolah. Dari gerbang, aku setengah berlari menuju kelas baruku, kelas III IPS-1. Maklumlah, ini hari yang baru, pemilihan bangku sekaligus pemilihan teman sebangku.

Tep! ”Aku di sini!” kuletakkan tasku di sebuah meja, tepat di depan meja guru, baris kedua dari pintu sebelah kanan. Aku lebih suka posisi yang demikian sejak dulu. Lebih konsentrasi menangkap pelajaran. Wajahku diliputi kebahagiaan sebab aku bebas pada pilihan yang ditetapkan oleh nuraniku. Ada kepuasan tersendiri.

Lonceng berbunyi. Instruksi agar seluruh siswa berbaris di lapangan sekolah. Hari itu Senin, pelaksanaan upacara penaikan sang Saka Merah Putih, sekaligus pengarahan dari kepala sekolah. Setelah itu, seluruh barisan bubar, siswa dipersilakan memasuki kelas masing-masing dengan tertib.

Ketika masuk kelas, aku terkejut, kaget bukan kepalang. Ada Ibu Siti Aminah, wali kelasku semasa kelas II dan Drs Mt Sitorus, yang kalau di rumah aku memanggilnya dengan sebutan Bang Marsito, abang sulungku.

“Kamu salah mengambil Jurusan. Seharusnya kamu di IPA-1.”

Aku gugup mendengar penjelasan singkat Ibu Siti.

“Ya, dari semua nilai rapormu juga menunjukkan, kamu sepantasnya duduk di IPA-1, bukan di sini. Ayo… ikut saya ke kantor!” nada suara yang begitu lembut, tapi aku tahu sekali ketegasan yang tersimpan di dalam getarannya.

Bang Marsito keluar­-aku ikut, menurut karena takut. “Sekalian aja bawa tasnya…” perintah Bang Marsito lagi.

Terpaksa aku menurut. Dadaku bergemuruh. Seolah ada sesuatu yang hendak pecah di dalamnya. Tapi entah apa dan kenapa. Mataku memerah menahan sesuatu yang seolah ingin menumpas dari dalam. Tangis itu tertahan, sesak di dada. Aku berjalan di belakang Bang Marsito.

***

Kelas III IPA-1. Dengan paksa dan pasrah aku duduk di kelas itu. Atas perintah Bang Marsito. Mau tak mau, aku harus berusaha keras belajar Biologi, Matematika, Fisika, Kimia. Jujur saja, pelajaran-pelajaran itu tak begitu kusenangi. Tapi aku tak lantas putus asa karena ditempatkan di kelas III IPA-1. Kelak pasti akan ada jalan untukku, kuyakinkan diri.

Tahun 2005 aku lulus dari SMA Negeri 1–Porsea, dengan prestasi dan nilai gemilang. Dengan penuh pengharapan, Bang Marsito memberangkatkan aku ke Kota Medan untuk mengikuti bimbingan belajar di sebuah tempat kursus terbaik agar persiapan SPBM 2005 lebih matang. Tapi lagi-lagi Bang Marsito mengintervensi aku agar tetap mengikuti jurusan IPA di bimbel. Disarankan atau lebih tepatnya diwajibkan untuk memilih dua jurusan di universitas negeri: 1) Jurusan Teknik Kimia – USU, dan 2) Jurusan Pendidikan Biologi – Unimed. Itu adalah bidang yang digeluti Bang Marsito dalam dunia pendidikan. Dia mengajarkan bidang studi itu di sekolah. Dan impiannya, kelak adik bungsunya ini akan menjadi seorang ahli kimia atau paling tidak jadi guru Biologi. Tapi itu adalah impiannya, bukan impianku. Bahkan sangat jauh dari impianku!

Menyadari itu, aku sangat tertekan. Aku merasa dikekang. Ingin berontak tapi tak kuasa. Puncaknya, pada hari H ujian SPMB 2005, dengan santai aku memasuki ruang ujian. Dan dengan santai pula, aku mengisi kertas ujian yang sudah tersedia di mejaku. Ketika itu, soal yang kujawab hanyalah soal-soal Bahasa Indonesia dan segala yang berhubungan dengan pelajaran umum. Aku sama sekali tak ingin mengisi soal-soal yang berbau IPA. Bukan tak mengerti apa-apa soal pelajaran IPA, tapi­-dengan sangat lembut, aku ingin menunjukkan sebuah pemberontakan. Pemberontakan jiwaku yang telah dikucilkan oleh Bang Marsito yang selama ini menuntutku menjadi seperti yang dia inginkan. Bang Marsito yang mungkin telah melupakan bahwa sesungguhnya aku juga punya impian yang indah, aku juga punya jiwa. Aku membiarkan jiwaku menari dalam nyanyian puisi, dalam irama tak bernada. Ya, aku melakukan sebuah pemberontakan yang sangat halus dan lembut, serupa puisi.

Di dalam ruang ujian itu, yang bergema di dinding hatiku hanyalah puisi. Puisi dari seorang penyair dunia, Kahlil Gibran, “The Children” yang pernah kubaca semasa SMP dalam persi bahasa Indonesia. Puisi itu terus bergema menelusur ke kedalaman jiwaku. Kupejam mata, kuserahkan jiwa sepenuhnya mendengarkan puisi itu, semakin jelas terdengar kata-kata dalam setiap baitnya, bergema dari dinding-dinding ruang ujian tempat aku duduk kala itu. Bulu kudukku merinding membayangkan betapa bodohnya aku yang seolah tak punya cita dan impian sendiri. Tanpa sadar, aku meneteskan airmata. Prihatin terhadap diriku sendiri.

***

Sebelum pengumuman hasil ujian SPMB 2005 terbit di koran, diam-diam aku berangkat ke Pulau Batam. Aku sudah tahu bahwa aku tak akan mungkin lulus. Dan jujur, aku tak ingin lulus di jurusan yang bukan pilihanku. Dari Pelabuhan Belawan menuju Pelabuhan Sekupang, Pulau Batam. Di pulau kecil itulah aku menggali pengalaman hidup, membenahi hati yang sedang tak karuan. Namun, di sana aku merasa lebih tertekan dan semakin frustrasi. Hidup di Pulau Batam ternyata tak lebih mudah dibandingkan di Kota Medan. Ada kalanya aku menyesal. Tapi tidak! Aku harus tetap menjalani kehidupan dengan tabah dan penuh rasa syukur. Semua ini ada hikmah yang tersembunyi, aku titahkan pada hati.

Dua tahun kujalani hidup sebagai buruh di sebuah perusahaan elektronik. Di saat itulah aku merasakan betapa haus akan dunia pendidikan. Haus meneguk ilmu yang lebih luas. Menjadi buruh di perusahaan besar ternyata semakin membuat jiwaku terpenjara. Kosong. Seolah terperosok ke dalam lembah curam nan gelap-gulita. Meski aku tetap berusaha mengajarkan pada hati dan jiwa, agar selalu tabah menjalani segala cobaan, tapi tetap saja tak kuasa. Maka dengan puisi, kulantunkan segala tangis, perih pedihku kepada Sang Khalik langit dan bumi, Sang Penguasa Kehidupan. Dalam diamku, di dalam bahasa kalbu, bersama puisi, aku menjerit setiap malam, meski aku tak dapat melihat indahnya sinar rembulan. Sebab aku lebih sering bekerja di malam hari. Dari pukul 18.00 hingga 07.00 Wib aku terperangkap dalam gedung raksasa bersama benda-benda elektronik itu.

***

 Awal 2007, sebuah berita duka memanggilku pulang ke kampung halaman. Duka yang tiba-tiba menyergap, membuatku merasa letih lelah, seluruh jiwa raga. Saat itu, kuputuskan resign dari perusahaan. Dan kutinggalkan Pulau Batam, juga meninggalkan Mas Yuli, kekasih yang teramat kucintai. Tapi dengan pasrah aku harus segera pulang ke tanah kelahiran. “Aku ingin rebah dalam pelukan alam, desa kelahiranku yang damai dan permai,” kukatakan padanya.

“Jadi, kau tidak datang lagi?” tanyanya terakhir kali menatap mataku dengan tangis tersembunyi saat mengantarku di Pelabuhan Sekupang.

Aku tidak bilang “iya”. Juga tidak bilang “tidak”.

“Biarlah takdir yang membawaku kembali ke sini, jika memang kita ditakdirkan untuk bersama,” kataku terakhir kalinya.

***

Beberapa bulan di tanah Toba, aku mengisi hari-hari dengan menulis. Sebab itulah cita-citaku, meski belum ada gambaran ke media mana harus menerbitkan karya-karyaku. Saat itu aku hanya ingin terus menulis, meluapkan segala beban yang menghimpit jiwa. Menulis dan terus menulis. Itulah yang kulakukan di rumah orangtuaku, di sebuah dusun kecil, huta Naroemontak, beberapa kilometer dari Kota Kecamatan Porsea. Hingga suatu ketika, Bang Marsito tanpa sengaja menemukan catatanku. Dari situlah dia tahu semua perjalanan hidupku, semua keinginanku, dan hasrat yang masih begitu kuat untuk kuliah di jurusan Sastra.

Akhirnya Bang Marsito tahu pemberontakan jiwaku lewat semua goresan penaku, dalam nyanyian puisi yang sunyi. Lalu entah karena apa, atau mungkin karena telah merasa berdosa pada masa lalu, tiba-tiba Bang Marsito menyarankan agar aku kuliah lagi. Dan dalam percakapan kami selanjutnya, dia menyetujuiku mengambil jurusan Sastra Indonesia. Tak percaya, bahagia dan penuh haru, aku melantunkan syukur kepada Sang Khalik Langit dan Bumi, Dia­Yang Maha Kuasa. “Hidup memang penuh teka-teki dan misteri,” bisikku pada diri sendiri, yang diliputi kebahagiaan.

Jiwaku seperti memperoleh kekuatan baru. Aku berjanji dalam hati, manata lembaran hidup yang lebih baik. Menggapai cita menjadi penulis. Penuh semangat aku mengikuti ujian SPMB 2007. Namun, lagi-lagi aku diuji dalam teka-teki kehidupan. Aku lulus di pilihan ketiga, jurusan Pendidikan Geografi di Unimed. Sedangkan jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia, aku tempatkan di pilihan pertama. Tidak lulus. Malang nian nasibku. Ah! Aku menangis. Untuk kesekian kalinya, aku merasa hancur dan harus mengubur cita-citaku untuk menjadi penulis. Aku bahkan hampir marah kepada takdir. “Mengapa seolah mempermainkanku?”

Tapi tak disangka, Tuhan ternyata begitu cerdik dalam segala teka-teki-Nya. Pertama, aku dipertemukan dengan seorang kakak ipar dari teman satu kos-ku. Relita namanya, alumnus Fakultas Bahasa dan Seni (FBS)-Unimed. Dia juga seorang penulis. Kepadanya, lalu aku bercerita segala keluh kesah dan cita-citaku.

“Syukurilah kamu lulus di jurusan Pendidikan Geografi. Barangkali ada rencana lain Tuhan terhadap hidupmu. Percayalah, pasti ada hikmahnya. Bukan berarti kamu harus mengubur cita-citamu. Kamu diberi talenta menulis dengan imajinasi yang luar biasa, dan kamu akan punya skill di bidang geografi. Pasti karya-karyamu akan semakin bagus dengan warna geografi…,” tuturnya.

Aku pun mulai belajar mencintai apa yang diberikan-Nya dalam hidupku, termasuk jurusan Pendidikan Geografi. Dan aku terus mengasah mata penaku untuk menulis. Aku mulai menyentuh ilmu geografi dalam setiap bahasa puisiku. Menuliskan pergerakan lempeng, misteri letusan gunung api, tentang hujan, angin dan bahkan rembulan. Bukankah semua itu kupelajari di geografi? Aku tersenyum sendiri. Benar saja, Tuhan merencanakan sebuah teka-teki yang lain di hidupku.

***

Tahun 2009 aku mulai langganan koran Kompas atas kebutuhan referensi kuliah. Setiap Minggu, ada edisi Rubrik Sastra dan Budaya. Di akhir 2009 aku temukan nama seorang penulis lokal yang menggunakan marga klan Batak. Jujur, aku tak begitu kenal nama itu. Namun marga yang tertera di belakang namanya, membakar semangatku. “Oh, ternyata ada juga orang Batak yang bisa menjadi penulis besar,” gumamku. “Tentu aku juga bisa,” seperti ada suara yang bicara di dalam diriku.

Kontan aku mencarinya melalui akun Facebook, dan langsung dapat. Aku add. Kami pun komunikasi. Beliau menyarankanku untuk bergabung dengan sebuah komunitas sastra yang rutin melakukan diskusi di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. “Ya, Tuhan-ku, sejak dulu aku sangat ingin bergabung ke Taman Budaya.” Lagi-lagi sebuah misteri. Kupikir Tuhan sedang tersenyum melihat aku yang terheran-heran dengan semua teka-teki yang disuguhkan-Nya.

Aku pun bergabung dengan komunitas sastra itu. Di sanalah kemampuan menulisku terus diasah. Diskusi dengan teman-teman di komunitas sangat bermanfaat, memberi dorongan, semangat dan motivasi untuk terus menulis. Meski pada awalnya aku tidak PD mengirimkan karya-karyaku ke media. Masih ada perasaan rendah diri ketika itu.

Hingga suatu saat, Mariz, seorang teman mengirim sms agar aku membeli sebuah koran lokal di kota kami. Saat kubuka rubrik sastra, aku kaget dan tak percaya. Hampir saja aku berteriak histeris di tempat penjual koran itu. Betapa tidak! Aku tak pernah membayangkan. Tiba-tiba beberapa judul puisiku terbit di koran itu. Terakhir aku tahu, ternyata Mariz telah mengelabui aku dengan meminjam laptopku semalaman sebelumnya. Diam-diam dia mengirim karya-karyaku ke media lokal, dengan membuat alamat email tersendiri atas namaku.

Sejak itulah aku mulai mengirim karya-karyaku ke media-media lokal di Medan. Meski ada beberpa karya yang ditolak dan tak dimuat, aku berusaha dan terus belajar lebih baik. Syukurlah, kini aku bisa membuktikan kepada Bang Marsito impianku untuk menjadi penulis. Kerap karya-karyaku, baik berupa puisi, cerpen, opini, dan artikel budaya, artikel lingkungan, pariwisata, feature, dan berbagai tulisan lainnya, hadir mengisi halaman rubrik sastra dan budaya, meski masih di media-media lokal di Kota Medan. Bagiku ini masih tangga awal untuk aku melangkah lebih baik lagi ke tangga berikutnya.

Dan syukurlah, betapa misteri hidup yang indah ini, berkat usaha dan kerja kerasku untuk terus mengirim karya (terutama yang bermuatan lokal), akhirnya sebuah media cetak lokal mengundangku menjadi redaktur tamu untuk mengasuh sebuah rubrik sastra dan budaya di harian tersebut.

“Ya, semua bermula dari nol, lalu tumbuh dan berkembang.”

* Juli 2013

()

Baca Juga

Rekomendasi