Penghapusan dan Pengurangan Pelajaran Bahasa Inggris Langkah Mundur

Oleh: Dr. Himpun Panggabean. Penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris di SD dan pengurangan waktu belajar bahasa tersebut di SMA pada kurikulum tahun 2013 yang mulai diimplementasikan tahun 2014 merupakan langkah mundur.

Kebijakan tersebut tidak dilandasi oleh kajian mengenai perolehan bahasa kedua (second language acquisition) dan dipicu oleh konsep yang salah mengenai natura bahasa Inggris serta proses belajar dan mengajar bahasa Inggris yang salah.

Ada pandangan di kalangan perancang kurikulum dan masyarakat Indonesia bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang paling sulit sehingga harus dipelajari dengan pendekatan yang sama dengan pendekatan mata pelajaran lain yang ditandai dengan rumus, kerumitan, dan kognisi yang tinggi.

Atas dasar itu, pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD dianggap terlalu sulit dan membebani siswa serta mengurangi kemampuan siswa dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di tingkat SMA.

Natura Bahasa Inggris

Menurut teori linguistik, setiap orang normal mempunyai kemampuan menguasai bahasa apa saja dan tidak ada bahasa yang lebih sulit dari bahasa lain. Atas dasar itu, semua orang, termasuk orang Indonesia mempunyai kemampuan menguasai semua bahasa, termasuk bahasa Inggris. 

Bahasa Inggris dianggap sangat sulit disebabkan oleh persepsi yang salah tentang bahasa Inggris serta bagaimana bahasa tersebut dipelajari dan diajarkan. Belajar bahasa Inggris, kalau dilakukan secara wajar, bukanlah beban dan tidak berbeda dari belajar bahasa Batak, bahasa Sunda, dan bahasa Indonesia, misalnya. 

Masalahnya adalah pada tahap awal, bahasa Inggris tidak dipelajari sebagaimana bahasa ibu dipelajari oleh penutur asli secara menyenangkan dan terus-menerus. Pada tahap awal, pemelajar bahasa ingin menyampaikan pikirannya melalui komunikasi, bukan mempelajari bahasa yang gramatikal.

Khusus mengenai pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, pemelajar seharusnya diajar bahasa yang alami bukan diajar mengenai rumus-rumus tata bahasa. Di SD, misalnya, tujuan pengajaran bahasa Inggris adalah menciptakan atmosfir kondusif agar para siswa menggunakan bahasa Inggris.

Untuk tujuan ini, bahasa Inggris harus diajarkan dalam kondisi yang menyenangkan seperti halnya belajar bernyanyi dan bermain-main sehingga pelajaran tersebut tidak menjadi beban atau sulit seperti pelajaran-pelajaran lainnya.

Usia sepuluh sampai empat belas tahun adalah masa kritis (critical period) yang merupakan waktu terbaik untuk mempelajari bahasa kedua karena pada saat itu syaraf-syaraf otak masih fleksibel. Pada usia pubertas otak mulai kehilangan fleksibilitasnya serta otak kanan dan otak kiri akan bekerja lebih independen sehingga perolehan bahasa kedua akan semakin sulit.

Berdasarkan hal itu, penghapusan pelajaran bahasa Inggris di SD merupakan kebijakan yang sangat keliru. Tujuan pengajaran bahasa Inggris di SD bukanlah untuk menguasai rumus-rumus gramatika atau mencapai ketangkasan seperti dalam pelajaran-pelajaran lainnya. Jika siswa termotivasi sehingga gemar menggunakan bahasa Inggris, tujuan pengajaran sudah tercapai. 

Siswa SD tidak perlu diprotes kalau dia mengatakan I am know*, dan He breakfast*, misalnya. Ada kecenderungan guru di Indonesia memaksakan penggunaan tata bahasa, pengucapan, dan intonasi yang menurutnya benar meskipun dia sendiri tidak tahu yang benar. 

Perlu diingat, ketika tujuan pengajaran adalah mencapai kemampuan berkomunikasi mengenai hal-hal yang umum, siswa harus diarahkan untuk menggunakan bahasa Inggris secara natural seperti halnya menggunakan bahasa ibunya. Tujuan itu berbeda dari tujuan pengajaran untuk tujuan-tujuan khusus (English for Specific Purposes) seperti dalam pengajaran untuk penulisan naskah-naskah resmi, pidato, buku, jurnal ilmiah, dan penyiaran yang mutlak menuntut penguasaan gramatika.

Bahasa Inggris vs Bahasa Indonesia

Tentang waktu yang terlalu banyak untuk mempelajari bahasa Inggris menghambat siswa untuk memperoleh kemahiran dalam Bahasa Indonesia, perlu ditegaskan bahwa penguasaan bahasa kedua sama sekali tidak melemahkan penguasaan bahasa pertama, sebaliknya justru menguatkan usaha penguasaan bahasa pertama.

Ketika seseorang mempelajari atau menguasai bahasa Inggris, dia akan mempunyai ketrampilan berbahasa Indonesia yang sangat baik, khususnya dalam bahasa tulisan. Hal itu terjadi karena dia membandingkan dua bahasa. 

Dengan adanya perbandingan, seseorang yang mahir berbahasa Inggris sangat mudah memperbaiki kesalahan wacana bahasa Indonesia. Tidak mengherankan apabila pakar-pakar bahasa Indonesia terkemuka adalah doktor-doktor berlatarbelakang keilmuan bahasa Inggris.

Berdasarkan hal tersebut, pengurangan waktu belajar bahasa Inggris di SMA adalah kebijakan yang sangat keliru. Yang perlu dilakukan bukanlah pengurangan waktu belajar tetapi mengubah konsep linguistik sehingga proses belajar dan mengajar dilakukan secara proporsional yakni antara bahasa sebagai alat komunikasi dan bahasa sebagai ilmu pengetahuan.

Akibat tidak adanya keseimbangan antara kedua variabel tersebut, dengan memberikan konsentrasi berlebihan kepada variabel pengetahuan, pengajaran bahasa Inggris di SMA sangat membosankan dan menjadi beban. 

Materi pelajaran bahasa Inggris, khususnya bidang tata bahasa di SMA sangat sulit sepertinya sengaja dirancang menjadi sangat kompleks sehingga variabel komunikasi dilupakan.

Pada hal materi pelajaran Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi jauh lebih sederhana dari materi tersebut. 

Hal ini menunjukkan bahwa waktu dan pikiran yang dihabiskan untuk belajar bahasa Inggris dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi di SMA tidak berkontribusi signifikan pada proses belajar bahasa Inggris di Perguruan Tinggi.

Kebijakan Tentang Bahasa Inggris

Karena kebijakan mengenai bahasa Inggris tersebut dipandang keliru, para perancang kurikulum Indonesia harus mengembalikan posisi bahasa Inggris pada posisi seperti sebelumnya bahkan perlu memperkenalkan pelajaran bahasa Inggris pada tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) karena semakin dini suatu bahasa dipelajari semakin mudah dan semakin natural bahasa itu dapat dipelajari.

Pada saat bahasa Inggris semakin urgen dalam posisinya sebagai bahasa global, pemerintah harus mengambil kebijakan yang tepat mengenai posisi bahasa tersebut di Indonesia serta mengenai kurikulum dan metode belajar/mengajar yang tepat.

Dirasakan sangat mendesak untuk menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua alih-alih bahasa asing. Artinya bahasa Inggris perlu dijadikan sebagai bahasa kedua dalam pemerintahan, politik, dan pendidikan. Hal ini akan mendorong masyarakat Indonesia belajar bahasa Inggris di luar kelas sekolah.

Proses belajar seperti itu akan memungkinkan masyarakat Indonesia mampu berbahasa Inggris seperti masyarakat Malaysia dan Singapura yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. (Ide pokok artikel ini akan disampaikan penulis dalam Confrence of Asian EFL di Filipina, November). ***

Penulis adalah Dekan Fakultas Sastra Universitas Methodist Indonesia.

()

Baca Juga

Rekomendasi