Islam sebagai Kekuatan Baru Eropa

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag. Judul di atas agaknya bukanlah mengada-ada. Perkembangan Islam di Eropa mengalami pening­katan yang signifikan. Pasca tragedi WTC 2001, Islam di Eropa mendapat perhatian tersendiri. Islam dianggap sebagai agama asing, sekaligus menimbulkan rasa penasaran masya­rakat Eropa untuk mengetahuinya. Dalam perjalanan penulis ke bebe­rapa negera Eropa, 6-20 Oktober 2014, penulis menyaksikan betapa Islam dan umatnya hidup secara berdampingan dengan dengan aga­ma-agama lain. Bahkan Islam mewar­nai kehidupan masyarakat Eropa.

Di Jerman, penduduk Muslim tercatat lebih kurang 5 juta jiwa dari sekitar 82 juta jiwa seluruh penduduk negeri tersebut. Islam bahkan menjadi agama kedua terbesar yang dianut warganya. Dari jumlah tersebut, sebagian besar di antaranya adalah warga Turki yang mencari penghi­dupan di Jerman. Menurut Prof. Dr. Arnd Graf, Direktur Interdicipliniary Centre for Southeast Asian Studies (IZO) dan Ketua Department of Southeast Asian Studies, Goethe Universitat di Frankfurt, mereka tinggal di Jerman sejak tahun 1960-an dan sekarang memasuki generasi ketiga. Selebihnya adalah Muslim dari berbagai negara seperti dari Afrika Utara, Indonesia dan warga negara asli Jerman sendiri yang masuk Islam. Di Jerman sendiri, tepatnya di Hessel Universitaat ada kajian teologi bagi penduduk Jerman yang Muslim, terutama asal dari Turki generasi ketiga.

Kalau kita berjalan di berbagai kota di Jerman, kita tidak akan heran menyaksikan banyak wanita warga negara Jerman berlalu lalang yang menggunakan jilbab dengan anggun­nya. Mereka memperlihatkan rasa per­caya diri yang tinggi dengan identitas keislamannya. Meskipun mengenakan jilbab, mereka tidak ketinggalan mode. Para wanita Muslimah Jerman dapat menyesuai­kan diri dengan mode busana yang berkembang tanpa harus kehilangan identitas keislaman mereka.

Belanda juga memperlihatkan perkembangan Islam yang sangat mengesankan. Salah satu pusat kajian keislaman, khususnya tentang kein­do­nesiaan, adalah Universitas Lei­den. Di Rotterdam juga terdapat Uni­versitas Islam Eropa yang berdiri sejak tahun 2000. Rektor pertama universitas ini adalah Prof. Johan Hendrik Meuleman, seorang Belanda asli yang menikah dengan wanita Aljazair. Prof. Meuleman pernah lama tinggal di Indonesia pada awal tahun 1990-an dan mengajar di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahasa Indonesianya sangat lancar dan fasih. Demikian juga bahasa Arabnya. Di sini juga ada Dr. Sofyan Sauri Siregar, seorang Indonesia alumni Madinah yang menjadi pimpinan universitas. Di sini dikaji Islam dalam berbagai aspek, namun tetap mengacu pada lingku­ngan masyarakat Eropa, yang tentu saja tidak sama dengan yang ada pada masyarakat Islam lain. Univer­sitas ini memfokuskan diri pada kajian-kajian keislaman yang mem­bumi langsung bagi umatnya di Eropa, khususnya Belanda.

Di Belanda juga tidak sulit kita jumpai wanita-wanita berjilbab de­ngan aktivitasnya di ruang publik, sebagaimana warga Belanda lainnya. Sebagian besar warga Muslim Belan­da juga berasal dari Afrika Utara.

Sama halnya dengan dua negara di atas, Prancis juga memiliki penduduk Muslim yang signifikan. Bedanya dengan Jerman, sebagian besar warga Muslim Prancis berasal dari Aljazair, Marokko dan Tunisia. Hanya saja Prancis agak lebih kaku dibandingkan Jerman dalam perla­kuan mereka terhadap Muslim. Beberapa kali kita membaca berita tentang pengusiran siswi Muslim Prancis yang memakai jilbab dari sekolah mereka. Memang, menurut Gilles Kepel dalam bukunya Allah in the West, Prancis menempuh kebi­jakan penegasan identitas kepran­cisan dengan “mengabaikan” keraga­man yang ada di dalam masyarakat­nya. Sebagai negara sekuler, mereka menerapkan kebijakan yang cende­rung kurang memperhatikan aspirasi warga Muslim. Meski demikian di Prancis, Islam menjadi agama ter­besar kedua.

Demikianlah sebagian kecil perkembangan Islam di Eropa. Tentu saja di negara-negara lain juga me­ngalami perkembangan di dinami­kanya sendiri.

Mengapa Islam Menarik bagi Eropa

Dari perkembangan demikian, daya tarik Islam bagi masyarakat Eropa terletak pada ajarannya yang universal dan sangat dinamis. Islam mengajarkan penghargaan kepada HAM, toleransi, kebersihan dan hal-hal lain yang sangat sesuai dengan semangat kemanusiaan. Jauh sebe­lum masyarakat Eropa mengenal HAM, Islam sudah sangat tegas mengajarkan hal demikian. Islam mengajarkan penghargaan pada kebebasan beragama (hifzud din), jiwa (hifzhun nafs) akal (hifzhul aql), keturunan (hifzhun nasl) dan kepemi­likan harta (hifzhul mal). Kelima hal ini secara mengesankan diamalkan dan diterapkan oleh masyarakat Muslim di Eropa.

Selain itu, toleransi yang diterap­kan umat Islam sepanjang sejarah juga tidak dapat diabaikan. Meskipun sempat menguasai sebagian Eropa selama 7 abad, umat Islam tidak memperlihatkan sikap eksklusif dan keras terhadap penganut agama lain. Ketika Islam berjaya di Spanyol (711-1492 M), umat Islam mengem­bangkan peradaban yang inklusif dan membu­kakan mata orang Eropa akan peradaban. Ketika Eropa tenggelam dalam abad kegelapan mereka, pera­daban Islam datang menerangi mere­ka. Setelah menguasai Spanyol, umat Islam tetap memperlihatkan sikap toleransi mereka terhadap penduduk setempat. Mereka meng­har­gai agama rakyat Spanyol dan tidak memaksakan agama Islam kepada penduduk negeri yang mereka kuasai tersebut. Meski­pun dalam kontak kehidupan sosial, orang-orang Spa­nyol banyak dipenga­ruhi oleh kebudayaan Arab, mereka tetap berpegang teguh pada agama mereka semula. Dalam literatur-lite­ratur tentang Spanyol ada istilah moza­ra­bes atau musta`rab, yang berarti “orang yang terarabkan”. Istilah ini ditujukan untuk orang-orang Spa­nyol yang dalam kesehariannya berbu­daya Arab, tetapi tetap berpe­gang teguh pada agama asli mereka, tanpa masuk Islam.

Sayangnya, toleransi yang telah diperlihatkan umat Islam tersebut tidak diikuti oleh penguasa-penguasa Spanyol ketika mereka merebut kembali (reqonquesta) tanah Spanyol dari tangan umat Islam. Secara politik, kekuasaan Islam di Spanyol berakhir pada 1492 dengan jatuhnya kota terakhir Granada ke tangan penguasa Kristen Spanyol kembali. Setelah penaklukan tersebut, umat Islam mengalami inkuisisi, memilih antara menukar agama mereka atau terusir dari bumi Spanyol dengan membawa perbekalan seadanya. Sekarang, dalam keadaan yang mino­ritas Islam di Eropa mencoba bangkit kembali untuk menjadi kekuatan.

Dari segi peradaban, Islam di Barat bisa menjadi alternatif bagi peradaban Barat yang kering dari nilai-nilai agama. Peradaban Barat yang diilhami oleh nilai-nilai sekuler sejak abad Renaisans tidak mungkin dapat bertahan, karena bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dan agama. Memang Eropa dan Barat pada umumnya memiliki capaian peradaban yang sangat tinggi, tetapi itu semua kering dan jauh dari agama. Orang Eropa tidak kenal arti kebersi­han. Selama ini kita banggakan mereka sebagai orang yang beradab dan bersih, namun kenyataannya tidak demikian. Di beberapa kota di Eropa seperti Frankfurt, Berlin, Brussel, Amsterdam dan Paris sulit sekali kita temukan kamar mandi (toilet) umum yang memenuhi standar kita. Di stasion kereta api jangan harap ada kamar mandi yang representatif. Kalaupun ada, fasilitas­nya tidak dilengkapi dengan air yang layak. Di WC umum orang cebok, baik dari buang air kecil maupun buang air besar tidak menggunakan air, melainkan tissu. Di sudut-sudut stasion kereta api juga aroma bau kencing gelandangan sangat kuat menusuk hidung.

Selain itu, pola pergaulan dan kehidupan masyarakat Eropa juga sangat bebas. Di tempat-tempat umum tidak jarang kita temukan laki-laki perempuan berpeluk-ciuman tanpa merasa risih dan malu. Perem­puan-perempuan berpakaian minim, sebagaimana dalam cerita film-film Barat juga tidak merasa malu berlalu lalang di tempat-tempat umum. Di Amsterdam bahkan terdapat lokasi pelacuran yang sangat terbuka. Di sini perempuan-perempuan penjaja cinta sudah seperti hewan dan orang dapat bertransaksi seksual dengan bebasnya. Demikian juga tidak jarang ditemukan di lokasi tertentu orang mengkonsumsi maruwiyana (narko­ba) dengan bebasnya.

Pendek kata, masyarakat Eropa kehilangan orientasi kehidupan mereka. Falsafah materialisme dan hedonisme sudah jauh merasuki masyarakat Eropa. Tidak mustahil akan semakin banyak orang-orang Eropa yang menoleh kepada Islam sebagai oase bagi kegersangan jiwa mereka. Tingginya capaian perada­ban Barat ternyata tidak memberi kepuasan rohani bagi orang-orang Eropa. Mereka mengalami keham­paan spiritual, karena peradaban yang mereka bangun tidak dilandasi oleh cinta dan moralitas. Muhammad Iqbal (1877-1938), penyair-filosof Pakis­tan terkenal, dengan baik sekali meramalkan keruntuhan peradaban Barat dalam puisinya, “Peradabanmu sekarang sedang menuju proses bunuh diri dengan pedangmu sendiri/Sarang yang kalian bangun di atas ranting yang rapuh tidak akan mampu membuatmu bertahan/dan kelak pasti akan runtuh.”

Karena itu, tidak berlebihan Islam akan menjadi kekuatan baru Eropa; bukan kekuatan militer, melainkan kekuatan spiritual dan moral. Sebagai manusia, orang-orang Eropa kelak akan kembali ke fitrah mereka.

Artikel ini ditulis di atas kereta api super cepat Paris-Frankfurt, 18 Oktober 2014.

()

Baca Juga

Rekomendasi