Oleh: Sartika Sari. Pembicaraan mengenai sastra dan inertia bermula dari kesenangan saya melihat banyaknya penulis-penulis muda. Mahasiswa dan siswa yang intens mempublikasikan puisi di sejumlah media sosial. Lambat laun, fenomena tersebut justru mengantar keresahan.
Terang saja, saya tidak berhak membatasi dan menghakimi pilihan orang. Siapa pun memang bebas menulis dan mempublikasikan dimana saja. Dalam suasana ini, yang menimbulkan keresahan saya adalah keterlanjuran. Sebaiknya saya sebut, ini sebagai sebuah kebiasaan sejumlah rekan-rekan muda. Sebenarnya mereka memiliki ruang dan tanggung jawab untuk serius berkarya dan menulis serta bergiat sastra. Justru memilih ke jalur mapan, aman, hingga pada akhirnya melempem.
Fenomena itu sangat erat kaitannya dengan in(t)ertia yang dipertanyakan oleh Riduan Situmorang di harian Analisa pada 14 September 2014. Riduan memulai pembicaraan dengan ketertarikan yang (rada) itu sebagai sebuah motif yang dipompa terus bersamaan dengan kebingungan. Lantaran tidak menemukan arti in(t)ertia dan inertia di sejumlah KBBI, menurutnya penerang ketika tidak menemukan makna suatu kata.
Saya mulai satu per satu. Dalam esai yang terbit pada 10 Agustus 2014, inertia muncul dengan bentuk tubuh baru yaitu in(t)ertia sebagai judul yang sangat berbeda dengan kata pertama di badan esai.
Di antara kedua bentuk itu, yang benar dan memang saya tuliskan juga sebagai judul adalah inertia, bukan intertia. Mafhumlah jika Riduan tidak menemukan makna intertia di KBBI cetak dan online yang sudah dicari.
Lantas, apa itu inertia? Sebuah esai, Milik Kita: Sastra Sepintas Lalu dalam buku Solilokui sangat memikat. Di dalam esai tersebut, Budi Darma dengan penuh kekecewaan mengungkapkan fakta ikhwal kesusastraan Indonesia. Salah satunya (dalam sebuah paragraf) dia menyebut-nyebut keadaan tersebut sebagai dampak dari banyaknya penulis yang mengidap inertia. Pancingan ini, akhirnya mengundang penasaran saya untuk meneruskan pencarian kebenaran dan kefaktualan fenomena itu. Maka, Sastra dan Inertia adalah hasil penelusuran saya.
Untuk mempertajam pandang dan pemikiran, tentu saja langkah awal yang harus saya tempuh adalah mencari dengan getol apa sebenarnya inertia itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia bahkan tidak memuat kata itu.
Di KBBI versi online, inertia yang saya temukan justru berkaitan dengan keilmuan dan fenomena fisika. Inilah inertia dalam KBBI online itu, (1) disposisi menjadi tidak aktif atau lembam.
Dia harus mengatasi inersia dan kembali bekerja, (2) (fisika) kecenderungan tubuh untuk istirahat atau gerak seragam kecuali ditindaklanjuti oleh kekuatan eksternal (3) properti itu materi oleh yang cenderung istirahat.
Ketika bergerak terus bergerak dan dalam garis lurus yang sama atau arah, kecuali bertindak oleh beberapa kekuatan eksternal; - Kadang-kadang disebut vis inertia.
Saya belum merasa kuat dengan defenisi yang diberi KBBI online. Pencarian belum berakhir. Masih banyak sumber yang bisa dijadikan pencarian untuk kebingungan saya.
Karena tentu saja KBBI bukan satu-satunya penerang ketika tidak menemukan makna kata. Setiap keilmuan memiliki sejumlah kata atau istilah khusus yang memang tidak termaktub dalam KBBI. Misalnya dalam dunia psikologi, musik dan kesehatan.
Saya bertambat pada google. Saya yakin, Budi Darma menuliskan kata itu karena memang memiliki misteri makna yang jelas, bukan sembarangan. Benar saja, saya menemukan makna inertia dalam beberapa sumber tulisan yang terbaca di google.
John Kotter (dalam http://kupang.tribunnews.com pada 4 Juli 2011), seorang pakar dari Harvard Business School menyatakan, seorang intelektual yang terkena penyakit (personal inertia) selalu menganggap diri mapan, tak terganggu.
Karena itu, ketika misalnya tiba-tiba diganggu, apalagi oleh seorang yang terbilang masih “belajar ilmu”, dia bisa berang, bahkan seperti tinta yang belepotan di atas kertas, bicara atau menulis tak kenal ujung pangkalnya. Kebanggaan, kemapanan dan kemasyhuran bisa membuat seorang (yang disebut) intelektual menjadi “lembam” (inert). Mereka terlanjur hanyut dalam zona kenyamanan (comfort zone). Mereka terlanjur terjebak dalam complacency trap (kalau tidak dikatakan narsisme).
Pengertian yang dipaparkan oleh John Kotter, merampungkan jawaban untuk rasa penasaran saya.
Ditambah lagi dengan simpulan dalam buku Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia yang ditulis oleh Mohammad Amien Rais, inertia adalah salah satu penyebab kemunduran, ibarat musuh di tubuh Indonesia sendiri. Keduanya merujuk pada karakteristik yang serupa.
Inertia adalah sebuah penyakit atau gangguan psikologis, bukan sekadar diksi untuk menggagahkan sebuah tulisan sastra. Ciri-ciri yang dipaparkan oleh pakar dari Harvard Business School itu jika diamati memiliki kesamaan dengan yang saya temukan di KBBI versi online. Poin pertama yang menyebutkan, inertia adalah disposisi menjadi tidak aktif atau lembam.
Keduanya mengarah pada keadaan yang lembam. Tentu John Kotter lebih dalam memaparkan mengapa kondisi yang demikian itu bisa terjadi dan sangat bertolak belakang dengan yang dikatakan Riduan bahwa inertia adalah mereka yang mempunyai cita-cita tinggi, tetapi kemauan tidak ada, misalkan seorang entertain.
Penulis dan Inertia
Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, tetapi dipertemukan dalam dunia maya.
Begitu pun dengan karya sastra. Kemudian mereka turut ambil bagian dan mengukir jejak lewat tulisan-lalu sering dinamai karya sastra. Melalui tulisan, umumnya puisi, para pengguna media sosial berlomba-lomba mengungkapkan keakuannya.
Berbagai hal yang menyangkut kepribadian pun kerap jadi trend topic. Kebiasaan itu lambat laun membentuk sebuah paradigma berpikir dan identitas baru perihal sastra dan karyanya.
Pernyataan itu yang dipertanyakan juga oleh Riduan, padahal itu belum tuntas. Sangat baik jika berkenan membaca pernyataan selanjutnya yang menjelaskan bahwa fenomena yang demikian itu tentu sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup kesusastraan kita.
Diam-diam, yang seperti itulah yang berpotensi memperbanyak jumlah pengidap inertia. Sepanjang perjalanan menulis, mengusung semangat menebar eksistensi semata, menulis sepintas lalu, dan mundur sebelum serius. Sedang kualitas karya urung dari perhatian dan fokus utama.
Realita seperti itu yang menurut saya melatarbelakangi virus inertia semakin banyak menjangkit para penulis. Terutama soal konsistensi, konsentrasi dan ketekunan.
Kemudahan akses publikasi dan ruang untuk mendapat apresiasi dalam bentuk apa pun dari orang lain. Baik secara tidak langsung menjadikan para penulis melupakan kepentingan untuk memperbaiki kualitas karya (salah satunya belajar dari penulis yang berpengalaman).
Alhasil, dengan tulisan apa pun yang telah dihasilkan, akan merasa mapan dan tidak perlu belajar atau memperdalam keilmuan apa pun lagi.
Akhirnya, dengan kemapanan itu, takkan ada lagi peningkatan atau pencapaian baru karena malas dan tidak disiplin. Penulis yang mengidap inertia takkan muncul sebagai penulis yang berdaya saing di dunia kesusastraan. Seperti yang diungkapkan Budi Darma, mereka mati sebelum menjadi penulis yang benar-benar penulis.
Mengenai inertia, saya yakin masih banyak fakta-fakta lain yang menyebabkan penyakit ini merebak. Penelusuran saya tidak sampai di sini.
Penulis penyuka sastra, alumni program studi Sastra Indonesa Universitas Negeri Medan