BEKAS luka sepanjang tujuh inci tampak memanjang berbentuk diagonal pada bagian kiri tubuh pria yang kurus tersebut. Luka itu bekas operasi yang semula dia harapkan dapat membebaskan keluarganya dari utang namun sebaliknya malah membuatnya jadi sangat malu.
Chhay, 18, menjual ginjalnya seharga 3.000 dolar dalam sebuah perjanjian gelap yang membawanya dari gubuk deritanya di daerah pinggiran ibukota Kamboja Phnom Penh ke sebuah rumah sakit mewah di pusat wisata medis di negara tetangga Thailand.
Perjalanannya yang luput dari perhatian pihak berwenang dua tahun lalu itu merangsang munculnya kasus-kasus pertama penjualan organ tubuh dan penangkapan dua terduga agen.
Masalah itu juga memicu kekhawatiran bahwa korban-korban lainnya tersembunyi di bawah radar.
Di gubuk yang dia huni bersama sembilan sanak keluarganya, Chhay menuturkan seorang wanita tetangga membujuk dirinya dan dua saudara laki-laki-- semuanya berasal dari minoritas Muslim Champa yang terpinggirkan -- untuk menjual ginjal mereka kepada warga Kamboja kaya yang terpaksa cuci darah.
“Dia bilang kamu miskin, kamu tidak punya uang, jika kamu menjual ginjal maka akan bisa membayar utang-utangmu,” tutur remaja tadi kepada AFP menirukan ucapan tetangganya.
Cerita-cerita serupa sudah tidak asing lagi sejak lama di daerah kumuh India dan Nepal, dua hotspots favorit bagi para pedagang organ tubuh gelap. Sekira 10.000 atau 10 persen dari organ tubuh yang dicangkok di seantero dunia setiap tahunnya diperjualbelikan, menurut estimasi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO).
Namun setelah mengetahui seorang agen meraup pemasukan sampai 10.000 dolar untuk satu ginjal yang mereka korbankan, para donor membuat pengaduan kepada polisi yang selanjutnya mengungkap rute baru perdagangan organ tubuh pada Juni silam.
“Perdagangan ginjal tak beda dari kejahatan lain... Jika korban tidak angkat bicara, kami jelas tidak akan pernah tahu,” papar Wakil Kepala Polisi Phnom Penh Prum Sonthor.
Pada Juli lalu, pasukan Sonthor menetapkan Yem Azisah, 29 -- diyakini sebagai sepupu dua donor yang abang-adik -- dan ayah tirinya, dikenal bernama Phalla, 40, dengan tuduhan memperdagangkan manusia.
Kedua orang kini mendekam dalam tahanan dan menanti persidangan.
Kasus Pertama
Perdagangan manusia merupakan problema yang meluas di negara miskin Kamboja dan pihak kepolisian rutin menyelidiki kasus-kasus terkait perdagangan seks, perkawinan paksaan atau perbudakan -- tapi ini merupakan kasus pertama yang berhubungan dengan perdagangan organ tubuh.
“Ini adalah uang cepat yang mendatangkan banyak pendapatan,karena itu kami jadi khawatir,” ujar Prum, yang menambahkan ada sedikitnya dua donor Kamboja lainnya yang dibawa ke Thailand tapi belum membuat pengaduan.
Keterlibatan para donor, apakah akibat tekanan kemiskinan atau dipaksa para agen jahat, menyebabkan kejahatan terselubung itu sulit dibongkar.
Pada Agustus lalu, berbagai laporan media menyebutkan dugaan kasus-kasus perdagangan organ baru di sebuah rumah sakit militer di Phnom Penh.
Prum, yang menyelidiki kasus itu, menjelaskan rumah sakit tersebut adalah ajang pelatihan antara dokter-dokter Tiongkok dan Kamboja yang menggunakan para donor dan pasien relawan Vietnam.
Namun dia tidak dapat mengesampingkan apakah uang ada berpindah tangan.
Sesalkan
Perdagangan organ tubuh itu merugikan korban Chhay karena dia tidak dapat beraktivitas yang menuntut tenaga. Dua tahun setelah operasi yang menyebabkan dirinya merasa lemah, malu dan masih terlibat utang, Chhay cuma bisa menonton saat remaja-remaja seusianya main bola.
“Saya ingin memberitahu lainnya agar tidak menjual ginjal mereka seperti saya... Saya menyesali perbuatan itu. Saya tidak dapat bekerja keras lagi, bahkan saat berjalan pun saya mudah letih,” ungkap Chhay. Pada Juli lalu, dia mulai bekerja di sebuah pabrik pakaian jadi.
Riset kecil telah dilakukan untuk mengetahui dampak cangkok terhadap donor bayaran seperti Chhay tapi WHO telah mengaitkan kaitan dengan depresi dan dugaan memburuknya kondisi kesehatan. Itu mencerminkan kurangnya perawatan susulan setelah operasi pengambilan ginjal.
Chhay cuma ingat sedikit detail transaksi yang masih menghantuinya, seraya mengaku dia tak tentang kota Thailand tempat dia dibawa atau wanita yang membeli ginjalnya.
Di Thailand otoritas kesehatan mencoba menyibak lebih luas perdagangan terselubung tersebut, dengan beberapa rumah sakit di Bangkok kini diselidiki.
Fokus penyelidikan itu ditujukan pada dokumen-dokumen yang dipalsukan para pedagang organ untuk membuktikan para donor dan penerima punya hubungan kekeluargaan -- sebuah persyaratan di banyak negara yang melarang penjualan organ tubuh.
“Kami telah meminta para pengelola rumah sakit agar lebih hati-hati” ketika meneliti dokumen-dokumen, ujar Ketua Dewan Medis Thailand Somsak Lolekha kepada AFP, sembari menambahkan organisasinya kini meninjau regulasi pencangkokan organ tubuh.
Puncak
Faktor pendorong permintaan akan organ tubuh di pasar gelap itu adalah lonjakan tinggi jumlah pasien yang menantikan pencangkokan organ tubuh, khususnya ginjal.
Di Thailand saja terdapat 4.321 orang yang tercantum dalam daftar tunggu organ hingga Agustus lalu dengan jumlah organ dari para pendonor justru turun dan cuma separuh dari 581 ginjal yang dicangkokkan pada tahun lalu, menurut Thai Red Cross Organ Donation Centre (ODC - Pusat Donasi Organ Palang Merah Thailand).
Di seluruh dunia makin meningkatnya permintaan akan organ dari para donor hidup telah menyebabkan para pasien yang sangat membutuhkan transplantasi terpaksa mencari relawan di antara keluarga mereka, atau, dalam beberapa kasus, menempuh jalan yang tidak legal.
Dipicu kekhawatiran besar terkait perdagangan organ tubuh itu, ODC yang mengawasi donasi organ, meluncurkan sebuah proyek pilot pada April lalu yang mewajibkan pihak rumah sakit memberikan laporan soal rincian para pendonor yang masih hidup.
“Sebelumnya mereka bisa datang ke Thailand tanpa sepengetahuan kami... Kami khawatir ada rumah sakit tidak mengikuti peraturan, karena itu kami meminta daftar nama donor yang masih hidup,” ujar Direktur ODC Visist Dhitavat.
Walau regulasi kini diperketat, kalangan pakar khawatir booming industri wisata medis di Thailand, yang terkenal dengan perawatan kualitas tinggi tapi berbiaya rendah, bisa saja memicu kemunculan kian banyak jaringan kriminal yang memanfaatkan orang-orang yang rentan.
“Itu boleh jadi merupakan puncak gunung es,” ujar Jeremy Douglas, perwakilan Kantor PBB urusan Narkoba dan Kejahatan untuk wilayah Asia Tenggara dan Pasifik, menanggapi penangkapan dua warga Kamboja belum lama ini.
“Bisa jadi terdapat banyak (kasus) lainnya yang memang masih belum diungkap dan dibawa ke pengadilan.” (afp/bh)