Bersahabat Sampai Akhirat

Oleh: Gigih Suroso. Rasululullah Saw bersabda : seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan menghinakannya. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi keperluannya. Barang siapa yang melapangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat nanti. Dan barang siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat (HR.Ibnu Umar).

Dalam buku rigkasan Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menuliskan bahwa saling mencintai karena Allah dan menganggap saudara karena agamanya adalah sebaik-baik hubungan persaudaraan.

Hadits tersebut di atas menjelaskan kepada kita seorang muslim, untuk senantiasa menjalin hubungan yang baik dengan muslim yang lain, sebab mereka adalah saudara kita satu keyakinan, satu panutan dan satu aqidah. Makna saudara tidak pendek sampai hanya kepada mereka yang memiliki hubungan darah, lebih luas mereka yang beragama Islam adalah juga saudara kita. Begitupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, tentunya kita memiliki orang-orang terdekat yang sering kita sebut sahabat, seseorang yang menemani keseharian kita dan memiliki kecocokan dengan kita, tidak heran jika ada pepatah yang mengatakan “Jika ingin melihat seseorang, lihatlah siapa sahabatnya”.

Rasulullah, beliau memiliki seorang sahabat yang sangat mencintainya, mengikuti setiap perjalanan dakwah Rasulullah, bahkan rela mengorbankan seluruh harta dan jiwa untuk membantu Rasulullah. Itulah sebabnya persahabatan sebenarnya warisan Rasulullah yang telah ada sejak Islam muncul ditengah kekritisan akhlak manusia. Persahabatan adalah warisan Rasulullah, sebab beliau telah memberikan banyak contoh persahabatan yang hakiki, persahabatan yang tidak berhenti di dunia, namun akan bermuara sampai ke surga.

Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah, seperti apa sosok yang kita jadikan sahabat? Dewasa ini, pergaulan menjadi faktor yang dominan mempengaruhi kepribadian dan cara berpikir seseorang. Maka perlu memang sifat selektif dalam memilih teman, sebab pengaruh teman lebih cepat menular, seperti yang digambarkan Rasulullah: “ Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 danMuslim 2628)

Ada seseorang yang memilih teman dikarenakan fisiknya yang tampan atau cantik, memandang status sosial kaya atau miskin sebagai ukuran untuk berteman, dan mirisnya, mereka yang menjadikan teman sebagai media untuk mendapatkan tujuan yang berkaitan dengan kepentingan duniawi. Tidak dapat dinafikan memang, dalam berteman satu sama lain saling membutuhkan, saling menguatkan dan menutupi aib masing-masing, bukan saling merugikan setelah mendapatkan keuntungan, bak pepatah habis manis sepah dibuang.

Lalu, apakah yang menjadi ukuran kita dalam memilih teman? Al-Qamah telah menyebutkan dalam salah satu wasiatnya kepada anaknya saat ia akan wafat, “Wahai anakku jika engkau ingin mencari teman, maka pilihlah teman yang saat engkau membantunya ia menjagamu, saat engkau menemaninya ia menghiasimu ( dengan hal-hal baik) dan saat engkau duduk mengharapkan bantuan ia membantumu, bertemanlah fengan orang yang saat engkau menjulurkan tanganmu kepadanya dengan kebaikan ia membalasnya, saat ia melihat kebaikan pada dirimu ia mengikutinya dan saat ia melihat dirimu berbuat keburukan ia mencegahnya, bertemanlah dengan orang yang saat engkau meminta kepadanya ia memberimu. Saat engkau diam ia menyapamu dan saat engkau mengalami musibah ia membantumu. Bertemanlah dengan orang yang saat engkau mengatakan sesuatu ia membenarkanya, saat engkau berusaha melakukan sesuatu ia memberi arahan dan saat terjadi perselisihan di antara kalian, ia mengutamakanmu.”

Dalam hal ini ada 5 kewajiban menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin yang harus ditunaikannya seseorang kepada saudara yang menjadi sahabatnya. Kewajiban pertama dalam masalah harta. Paling minim, sikapmu kepada kawanmu adalah sikapmu kepada pembantumu dimana urusanya menjadi urusanmu.

Kewajiban kedua adalah pembantunya dalam memenuhi segala kebutuhan dirinya sebelum ia memintanya. Kewajiban ketiga adalah dalam lisan, yaitu tidak mengatakan sesuatu yang dibencinya. Anas rodiallahu`anhu mengatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah mengatakan kepada seseorang sesuatu yang dibenci orang tersebut. Kewajiban keempat adalah menyampaikan pujian dengan sesuatu yang disukainya tanpa berlebih-lebihan dan tanpa menampakan aibnya saat engkau memberitahukan kepadanya sehingga ia merasa senang kepada dirinya. Kewajiban kelima adalah hal kesetiaan dan keikhlasan. Yaitu dengan cara tetap mencintai saudaranya sampai mati dan mencintai anak-anak serta kawan-kawannya setelah kematiannya.

Bersahabatlah sampai akhirat, persahabatan yang Allah ridhoi, dimana saling menyayangi dan mencinta karena Allah, menjadikanya sahabat karena iman dan taqwanya, karena ilmu dan pengetahuannya. Agar dapat membawa keberuntungan sampai akhirat dan tidak hanya di dunia dapat bertemu, kelak di dunia akan bertemu kembali sebagaia sahabat sejati. Demikian pun kita, sebagai seseorang hendaklah menjadi sosok yang pantas dijadikan sahabat oleh orang lain.

Penulis: Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN SU dan Kru LPM Dinamika IAIN SU

()

Baca Juga

Rekomendasi