Oleh: Edrida Pulungan, S.E, S.Pd, M.HI
Setiap aksara akan mengirimkan maknanya. Terlahir dari rangkaian kata dari jiwa yang damai dan alam pikiran yang terbuka. Maka ayunkan pena dari hatimu. Luaskan makna dikedalaman samudera. Biarkan ia mengembara jauh.
Tuliskan setiap bingkai kehidupan dengan utuh. Tulisanmu adalah saksi kemaslahatan untuk insan dan generasi dimasa depan.
Kelak akan melebihi batas usiamu. Aksaramu akan menjadi sejarah keabadian.
iarkan tulisanmu menemukan takdirnya sendiri. Menerobos dinding-dinding sunyi menjadi riuh. Meruntuhkan keraguan menjadi semangat keyakinan.
Melintasi ruang dan waktu. Karena aksaramu adalah panah-panah waktu yang merindu, sebagai mahakarya hidupmu
(Edrida, Ubud Writers and Readers Festival, Oktober 2014)
Aura nasionalisme masih terasa di bulan Oktober dalam suasana peringatan bulan bahasa dan peringatan hari Sumpah Pemuda yang terkenang sebagai tonggak sejarah bangsa. Bahasa Indonesia menyatukan setiap suku-suku yang terbentang di nusantara yang awalnya terbelah menjadi satu. Keajaiban aksara dan bahasa yang satu yakni Bahasa Indonesia mengikat hati anak bangsa menjadi simpul Indonesia. Euforia rasa cinta itu belum pergi. Baru kemarin Indonesia melaksanakan pesta demokrasi dalam semangat merah putih dalam suasana pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden terpilih yang akan memimpin negeri. Tentu harapan baru hadir dalam satu impian besar masyarakat Indonesia yakni menjadi negara yang cerdas, maju, sejahtera dan mandiri di masa depan serta sejajar dengan negara maju lainnya.
Impian saya untuk Indonesia sebagai negara yang cerdas dan berbudaya adalah menyaksikan anak-anak Indonesia bisa bersekolah, dan memiliki budaya membaca dan menulis agar mereka menjadi generasi penerus yang memiliki pengetahuan, wawasan, kreatifitas dan imajinasi yang luas untuk membangun Indonesia nantinya. Karena belajar dari negara maju seperti Jepang yang negaranya pernah hancur akibat bom di Kota Hiroshima kala itu bangkit dengan memulai membangun bangsanya dengan mencari para guru-guru yang masih hidup untuk mengajak anak-anak Jepang bersekolah dan memiliki impian untuk menjadi negara maju dan bangkit lagi, dan ternyata mereka berhasil pesat sekarang dalam tingkat ekononomi yang tinggi dan teknologi yang luar biasa. Disamping itu mereka tetap memelihara budayanya dan gencar mempromosikan ke seluruh dunia baik dalam bentuk komik, film, fashion dan produk unggulannya. Hal yang sama diikuti negara India dan Korea.
Sebagai salah satu puteri Indonesia yang berasal dari daerah dan pernah menjdi delegasi Pemuda Sumatera Utara untuk Australia, saya merasakaan kebanggaan pada Indonesia. Right or wrong is my country. Meskipun Indonesia masih sering mendapat label buruk seperti negara korupsi, negara teroris, negara pengekspor TKI dan sebagainya. Indonesiaakan menjadi negara besar. Apalagi Indonesia satu-satunya negara ASEAN yang masuk dalam negara G20 dengan peringkat ke 16. Tapi tentu saja impian tak hanya dalam angan setiap generasi muda Indonesia harus bisa berkontribusi untuk Indonesia meskipun dalam kontribusi sekecil apapun.
Kita harus mempromosikan literasi dengan menggiatkan budaya membaca dan menulis mengingat Laporan terbaru United Nation Development Program (UNDP) tahun 2013 menyatakan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki peringkat 121 dari 187 negara dengan skor 0,629. Artinya diantara negara ASEAN, IPM Indonesia masih dibawah Malaysia yang menempati peringkat 64 dengan skor 0,769, Singapura 18 (0,895), Thailand 103 (0,690), atau Brunei Darussalam di posisi 30 (0,855).Untuk itu pemerintah, masyarakat dan swasta harus bekerjasama meningkatkan kualitas SDM bangsa dengan melakukan berbagai inisiatif, gerakan sosial untuk mewujudkan bangsa yang cerdas sehingga bisa berdaya saing di lingkungan global.
Menggemarkan Budaya Menulis dan Membaca
Budaya membaca atau budaya baca-tulis atau tradisi literasi sudah ada sekitar abad ke-8 dengan datangnya kebudayaan Hindu, Budha, kemudian Islam, serta pada pertengahan abad ke-19 saat pemerintah kolonial Belanda mendirikan sekolah. Tetapi pada awal abad 20-an, teknologi informasi menerjang masuk. Radio, televisi, internet dan system audio visual lainnya jauh lebih menarik dibandingkan dengan buku tulisan dalam buku. Ditambah pula oleh belum diterimanya konsep pendidikan di dalam masyarakat. Perkembangan peradaban umumnya melalui 3 tahapan kebudayaan, yaitu, budaya lisan, budaya baca-tulis dan audio-visual. Di Indonesia, tahapan kedua belum terjalani, tetapi langsung melompat ke budaya ketiga, sehingga perkembangan budayanya menjadi tidak sempurna.
Bahkan Pengamat sosial menyatakan bahwa pelajar yang memiliki uang lebih, atau bahkan memperoleh beasiswa, lebih senang membeli telepon selular daripada buku untuk meningkatkan prestasi sekolahnya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan sekolah, sistem pengajaran yang diterapkan belum pernah, bisa menjadikan kegiatan baca-tulis sebagai kebiasaan atau tradisi dalam kehidupan (Laksmi, MA :2004).
Budaya menulis akan merangsang motorik dan otak untuk mempertajam ingatan bahkan menjadi terapi kesehatan jiwa. Begitu banyak manfaat dari kegiatan menulis dan membaca. Kegiatan membaca akan memperkaya tulisan kita menjadi dalam dan memiliki pesan yang kuat. Sungguh menarik bukan jika tulisan kita menajdi inspirasi untuk orang lain, masyarakat bahkan bangsa. Tulisan-tulisan bersejarah itu pernah dituliskan oleh para pendiri bangsa yang rajin menulis dan membaca seperti Soerkarno, Hatta dan para sastrawan seperti Chairil Anwar, Mukhtar Lubis, NH Dini, dan pejuang emansipasi wanita, RA Kartini yang gigih mengirimkan buah pikirannya dalam tulisan dan mengirimkan surat-suratnya pada sahabat-sahabatnya di Eropa. Historis dan menginspirasi. Sehingga sebagai generasi penerus kita harus berjuang mengisi kemerdekaan dengan ragam karya. Sehingga budaya kita semakin kuat dengan banyaknya buku-buku yang terbit setiap tahunnya. Diplomasi budaya bagian dari kekuatan bangsa.
Kita harus jadikan budaya membaca dan menulis sebagai bagian dari gaya hidup sehingga merangsang kreatifitas dan bisa jadi solusi maraknya tawuran antar pelajar yang lebih didominasi otot daripada otak karena tidak terbiasa dengan kegiatan positif. Energi anak bangsa menjadi terkuras. Salah satu solusinya memanfaatkan waktu dengan membaca dan menulis kapan saja sehingga akan memunculkan ide-ide segar. Ide-ide segar yang muncul harus cepat-cepat dituliskan. Tulisan adalah dokumentasi terhadap ide-ide segar dan inspirasi yang mengalir agar tadi tidak hilang. Karena dengan menulis maka seseorang akan mengabadikan pristiwa, gagasan, ide sebagai hasil imajinasi, pengalaman, pengetahuan yang dibungkus dalam kreativitas.
Meskipun pendidikan di Indonesia masih kurang menggali budaya membaca dan menulis padahal dengan menulis akan menciptakan semangat berbagi mengenai berbagai hal dalam kehidupan ini. Bahkan dengan menulis kita juga peka terhadap kondisi sosial yang ada di sekitar kita dan menuliskannya sehingga bisa menggugah masyarakat untuk peduli. Sebagai contoh kita banyak melihat anak-anak yang kurang beruntung dan putus sekolah karena kemiskinan orangtuanya. Salah satu yang pernah terpublikasikan media adalah Aisyah Pulungan seorang anak jalanan yang berasal dari kota Medan dan harus putus sekolah dan merawat ayahnya di becak. Kondisi sosial tersebut bisa dijadikan menjadi ide dan bahan tulisan dan dibukukan.
Saya pernah berinisiatif dan mengajak rekan penulis membuat buku tentang Aisyah Pulungan yang berisikan puisi dan cerita pendek. Diakhirnya berhasil dan penjualan bukunya bisa disumbangkan untuk keperluan Aisyah dan bekerjasama dengan Lentera Pustaka Indonesia dengan kontribusi tulisan dari para penulis dan blogger yang tersebar dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga luar Negeri seperti Jerman dan Jepang. Salah satu tulisan dalam buku tersebut juga menginspirasi dan salah satu dengan judul “rumah untuk Aisyah” yang akhirnya terwujud dari bantuan seorang dermawan properti, Sungguh tulisan di buku bisa menjadi doa dan bisa menggugah hati setiap orang.
Indonesia memang negara yang besar dan perlu jiwa besar membangun bangsa ini. Bisa dimulai dari tulisan-tulisan inspiratif yang membangun dalam ragam sastra dan budaya khususnya Sumatera Utara yang dikenal dengan pluralisme dan ragam budayanya yang harus digali, dipelihara dan dilestarikan dengan utuh.
Kontribusi sederhana saya dengan menyempatkan diri menuliskan surat kepada calon presiden waktu itu yakni Bapak Jokowi yang kini sudah terpilih. Surat tersebut menjadi satu pemenang diantara 150 pemenang surat Jokowi yang terpilih dari sekitar 4000 surat dengan Juri Prof. Komaruddin Hidayat, Rosianna Sillahi dan Jurnalis senior. Karena menurut saya kegiatan literasi dalam baca tulis harus digiatkan sebagai bagian dari inspirasi dan aspirasi. Semoga sepotong aksara dari rangkaian kata sederhana dan beberapa bait puisi dalam surat tersebut bisa memberikan inspirasi bagi pemimpin bangsa membawa Indonesia dalam masa depan yang dicita-citakan sesuai dengan amanah konstitusi yang bisa dilihat dalam http://www.suratuntukjokowi.com/
Surat yang saya kirimkan terinspirasi dalam Indonesian Changemaker pada bulan Pebruari 2012 di Bandung yang mengundang 100 pemuda yang berkontribusi untuk daerah sesuai dengan bidangnya masing-masing seperti sosial, pendidikan, entreprenurship, kepemimpinan dan sebagainya. Diantara para pembicara saat itu adalah Bapak Anies Baswedan, Bapak Joko Widodo, Bapak Ridwan Kamil, Bapak Dahlan Iskan. Semua pembicara yang hadir kala itu kini sudah menjadi Walikota, Menteri dan bahkan Presiden. Tentu semua ini terwujud karena prestasi dan perjalanan panjang sebuah kontribusi untuk komunitas, masyarakat dan bangsa.
Semoga kelak Indonesia memang menemukan mimpinya pada setiap jiwa anak bangsa dalam “Indonesian’s dream” yakni menemukan “rumah” yang harus kita benahi bersama agar menjadi rumah bagi seluruh cita-cita dan impian kita untuk Indonesia yang lebih baik, mandiri, sejahtera dan unggul yang dimulai dari sepotong aksara. Salam inspirasi anak bangsa. ***
Penulis adalah Staf kajian Kebijakan dan Hukum Setjen DPD RI. Pendiri Lentera Pustaka Indonesia. Penulis 15 buku dan masih menjadi Mahasiswa S2 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Indonesia.