NAMANYA Amadou Issa, merantau ke Tiongkok pada tahun 2004. Ia selalu ada di Lounge Coffee, tempat nongkrong populer bagi kalangan laki-laki Afrika yang suka merokok, sambil mendengar alunan musik dari CD seperti alunan suara penyanyi terkenal Celine Dion, menjadi suara latar obrolan.
Di tengah-tengah kepulan asap nikotin, pria berusia 34 tahun dari Niger, negara yang dinilai oleh PBB sebagai salah satu negara paling terbelakang di dunia, mengatakan sewaktu ia tiba di Bandara Internasional Baiyun dengan hanya mengantongi uang sebanyak US $ 300 (Rp3.300.000,-). Kedantangannya hanya sekadar ingin "untuk bertahan hidup".
Tetapi sekarang ini sudah jauh berubah, ia telah memiliki kekayaan berupa sebauh flat seharga lima juta yuan (HK $ 6.300.000) di Zhujiang New Town, distrik paling smart di Guangzhou. Ia kini mengendarai mobil seharga US $ 64.000 (Rp700 juta lebih) dan sudah pula lancar berbahasa Mandarin (Putonghua).
Kekayaan itu Issa dapatkan dari hasil usahanya yang sampai kini berkecimpung mengapalkan 50 sampai 200 kontainer ke negaranya per tahun. Kontainer itudipenuhi bahan bangunan, rata-rata bernilai US $ 2.000 (Rp22 juta lebih) pada setiap kontainer.
Tidak hanya Issa, seorang rekannya bernama Yusuf Sampto, ia berkecimpung di dunia dagang di Afrika Barat, tepatnya di Burkina Faso. Ia mengelola tiga toko di Burkina Faso. Dia memanfaatkan peluang menjadi pengumpul kursi, tas dan berbagai jenis barang lainnya untuk mengisi kontainer yang akan berlayar kembali ke Tiongkok setelah barang Issa habis terjual.
Barang-barang dari Nigeria pun dibelikan lagi barang untuk dibawa ke Tiongkok. Sementara uang keuntungan tidak dibelanjakan, yang jumlahnya mencapai "jutaan" dolar AS tetapi ditaruh dalam tas dan dilaporkan ke pihak pabean.
Pasalnya, mereka tidak percaya kepada bank di Afrika dan lagi pula sebagai imigran mereka tidak mungkin membuka rekening giro di daratan Tiongkok.
Sama halnya sebagian besar pedagang sukses Guangzhou, Issa juga memiliki istri orang Tiongkok.
"Isteri Issa dulu bekerja di apotek, kepadanyalah saya sering membeli obat, dan kamipun berteman," katanya.
"Kami kawin secara Tiongkok dan Muslim. Namanya Xie Miemie tapi aku berganti namanya menjadi Zena."
Zena berasal dari Pulau Hainan dan Issa adalah orang Afrika pertama dalam keluarganya.
"Awalnya, mereka tidak percaya kepada saya, tetapi sekarang, saat saya tidak ada, mereka selalu menanyai istri saya, 'Di mana suami kau itu?'" ujar Issa terkekeh-kekeh.
Pria Sinegal
Begitulah Issa tapi lain pula cerita tentang seorang pria kulit hitam bernama Youssou Ousagna asal Sinegal. Ia juga kawin dengan wanita Tiongkok. Ia juga bisa bergaul dengan baik dengan keluarga dan mertuanya. Dia adalah mantan pesepakbola yang pindah dari Senegal ke provinsi Sichuan pada tahun 2005. Ia telah dibina oleh Chengdu Tiancheng FC.
Pada tahun 2007, karena mengalami cedera, berakhir pulalah karirnya bermain sepakbola. Ousagna pindah ke Guangzhou. Di kota inilah ia bertemu dengan istrinya yang kelahiran Hangzhou yang bekerja di apotek tempat ia selalu membeli obat apabila ada pemain yang cedera saat pertandingan sepak bola . "Awalnya, mereka keluarga isteri saya tidak percaya terhadap saya, tetapi sekarang, saat saya tidak ada, mereka menanyai istri saya, 'Di mana suami impormu itu?'"
Kedua rangtuanya adalah dokter, adik perempuannya dokter bedah dan abangnya seorang polisi di Guangzhou. Ini keluarga kelas menengah yang menerima baik seorang menantu muslim.
"Sebagian besar masalah kawin campur di Tiongkok adalah komunikasi," kata Ousagna.
"Saya sudah bisa berbicara bahasa Mandarin, jadi kami mengerti satu sama lain. Tidak ada masalah."
“Di luar Little Africa, bagaimanapun, rasisme tetap kental,” kata Gordon Mathews, seorang profesor antropologi di Chinese University of Hong Kong yang meneliti tingkat globalisasi di Guangzhou.
"Saya tahu tiga atau empat pasangan terlibat pacaran mengarah pada pernikahan, tetapi tak lama setelah keluarga Tiongkok bertemu dengan pacar Afrika, mereka harus mengakhirinya," katanya. "Menikah dengan orang kulit hitam masih dianggap tak bagus di Tiongkok"
Contohnya peristiwa tahun 2009 lalu. Prasangka rasial di daratan Tiongkok sempat menjadi berita utama di negara itu. Pasalnya, ketika penyanyi Afro-Tiongkok, Lou Jing, 20 tahun, tampil dalam show televisi imitasi American Idol. Gara-gara pemunculan itulah lalu memicu kontroversi dan menggambarkan penghinaan rasial di media online.
"Bagaimana bisa seorang kontestan ras campuran menjadi idola di Tiongkok?" begitu antara lain tertulis dalam blogger internet.
Prasangka orang Tiongkok terhadap Afrika biasanya didasarkan pada tiga aspek: nilai-nilai estetika tradisional, ketidaktahuan budaya Afrika dan masyarakatnya, dan hambatan bahasa. Selain itu, sampai tahun 1970-an, orang asing tidak diizinkan untuk tinggal di daratan Tiongkok, apalagi sampai kawin dengan orang Tiongkok.
Apabila anak lahir, orang tua harus mendaftarkan etnis anaknya kepada pemerintah: dari 56 kotak isian pilihan yang dapat mereka centang, "ras campuran" tidak termasuk pilihan dalam brosur.
Begitupun, masih ada faktor lain selain rasisme yang menyebabkan orang Tiongkok menolak perkawinan campuran.
Linessa Lin Dan, seorang mahasiswa peraih gelar PhD di Chinese University of Hong Kong meneliti hubungan Afro-Tiongkok di Guangzhou, mengatakan banyak orang Afrika yang ternyata sudah memiliki istri di negara asal mereka dan memang pria Muslim diizinkan oleh agama mereka beristeri lebih dari satu wanita.
Selain itu, Lin telah mendengar cerita yang berkembang adaseorang suami kembali ke Nigeria untuk bisnis, meninggalkan nomor ponsel yang tidak terhubung dan menghilang.
"Istri Tiongkok tinggallah dengan anak-anak mereka, dan merasa malu karena menikah dengan gui hei (hantu hitam)," kata Lin. (scmp/ar)