Oleh: Hari Murti, S. Sos. Mengapa kata yang kita gunakan pesantren dan kabupaten? Kalau kita taat asas dalam penyerapan bahasa asing atau daerah ke dalam bahasa Indonesia, bukankah seharusnya pesantrian dan kebupatian? Kalau memang mau memakai pesantren dan kabupaten, seharusnya kalurahen, kacamaten, kamentren, atau kapreseden. Kabupaten sebagai nama dari salahsatu jenjang dalam pemerintahan seharusnya seirama dengan nama dari jenjang pemerintahan lainnya.
Kabupaten atau pesantren adalah kata bentukan yang diserap secara total dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun bahasa Jawa adalah salahsatu bahasa daerah di Indonesia, seharusnya penyerapannya tidak boleh total seperti itu. Dalam bahasa Jawa, tempat atau ruangan para puteri, biasanya puteri kerajaan, disebut kaputren. Demikian juga tempat para santri atau tempat bupati, disebut pesantren dan kabupaten. Untunglah bunyi kata kalurahen dan kacamaten kurang indah terdengar. Kalau indah terdengar, karena kedua kata tersebut juga berasal dari bahasa daerah, akan begitulah nama kecamatan dan kelurahan kita. Tetapi karena gubernur berasal dari bahasa asing, Inggris, penyebutannya tetap pada kata dasar saja, gubernur atau kantor gubernur. Tidak ada kantor gubernur yang menulis nama kantornya menjadi Kegubernuran Sumatera Utara meskipun kata tersebut ada dan baku menurut kamus bahasa Indonesia.
Jadi, muncullah pertanyaan, setelah sekian lama dan masif kita menggunakan pesantren dan kabupaten, adakah kedua kata itu telah melalui penyerapan secara taat asas? Pertanyaan ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut, apa yang menyebabkan kita menyerap kedua kata bahasa Jawa tersebut secara total? Jawaban atas pertanyaan ini banyak. Misal, kita terlalu sibuk mengawasi penyerapan kata dari bahasa asing yang harus taat asas dengan menjadikan penyerapan secara total bahasa daerah sebagai bentuk perlawanan kepada bahasa asing itu. Rupanya, dalam penyerapan kata, suasana pertempuran antara bahasa Indonesia versus bahasa Inggris turut mewarnai perilaku kita dalam menyerap kata. Kalau sebuah kata itu dari bahasa daerah, serasa tak jadi masalah. Malah, kalau kalurahen dan kacamaten bunyinya terdengar indah, akan dipakai juga demi menghidupkan suasana perlawanan pada bahasa asing itu.
Sebab lainnya, mungkin, karena lembaga otoritas bahasa tidak mengingatkan kita tentang nama dari kedua tempat yang sangat penting ini, pesantren dan kabupaten. Mungkin juga, sebagai sebuah lembaga yang benar-benar harus memikirkan aspek komunikativitas di masyarakat, akhirnya lebih memilih diam daripada bergerak memberontak sebagaimana mereka menolak kata belok kiri jalan terus dan yang bawa hp mohon dimatikan. Atau mungkin juga penyerapan secara total ini luput dari perhatian mereka.
Namun, seperti yang dikatakan oleh para narasumber dari Badan Bahasa sewaktu saya mengikuti kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pamong Bahasa di Jakarta baru-baru ini, bahwa bahasa Indonesia adalah tanggung jawab kita semua. Ini saya artikan salahsatunya bahwa Badan Bahasa pun perlu mendapat masukan dari berbagai pihak agar bahasa Indonesia semakin hari semakin baik. Semoga masukan dari saya ini bermanfaat.***
Penulis adalah Pamong Bahasa di Sumatera Utara, angkatan ketiga.