Peristiwa Jembatan Sigama, Perjuangan dan Monumen yang Terlupakan

Oleh: Tohong Pangondian Harahap. Jembatan Bosi (Besi-red) yang terletak di sepanjang jalur lintas Gunung Tua-Padangsidimpuan, tepatnya berjarak beberapa meter dari kompleks MAN Sigama dan Kawasan Simpang Baru, Desa Sigama , Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) merupakan salah satu tempat bersejarah. 

Di kawasan penuh sejarah ini menyisakan kisah yang menarik untuk ditelusuri. Berjasa, karena telah turut serta menjadi bagian dari perjalanan sejarah para laskar dan perlawanan perjuangan masyarakat sigama dalam pertempuran agresi militer tahun 1949 yang terjadi di Desa Sigama yang terjadi dua kali serangan. Para pejuang melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda hanya bermodalkan bambu runcing dan peninggalan senjata jepang.

Untuk mengenang kisah dan sejarah ini telah dibangun tugu dan monumen perjuangan jembatan sigama yang terletak di atas bukit sekitar 300 meter dari jalur lintas sumatera itu. Prasasti tersebut dibangun tim khusus perencanaan dan pembangunan tetengger propinsi Sumatera Utara, sedangkan tugu dibangun Pemda Tapanuli Selatan.

Namun sayang, tak banyak warga Gunung Tua dan sekitarnya khususnya dan umumnya masyarakat Padang Lawas Utara yang tahu bahwa jembatan yang berada di atas sungai aek sigama ini termasuk kawasan dan jembatan bernilai sejarah.

Ironisnya, bangunan yang dinilai sejarah yang tak terurus ini tetap berdiri kokoh seiring perkembangan zaman. Siapa pun yang datang, akan merasakan betapa gigih semangat para pejuang pertahankan negeri tercinta. Meski di beberapa sudut bangunan bermunculan semak sehingga lebih menyita perhatian warga dan para pengendara. Apalagi kondisi jembatan bersejarah nampak kusam dan tak terurus lagi sehingga tidak ada lagi kesan bahwa ditempat tersebut pernah terjadi sebuah sejarah berjuang mengusir penjajah.

Para pahlawan yang diabadikan dalam tugu maupun prasasti itu adalah pahlawan dari berbagai daerah yang gugur dalam pertempuran jembatan sigama itu. Monumen dan prasasti dibangun untuk mengenang perlawanan perjuangan masyarakat sigama dalam pertempuran agresi militer tahun 1949 yang terjadi di Desa Sigama yang terjadi dua kali serangan. 

Para pejuang melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda hanya bermodalkan bambu runcing dan peninggalan senjata jepang.

Tokoh yang diabadikan namanya gugur dalam agresi Belanda di Sigama antara lain, Sayur Siregar dari Hajoran, Leman Lubis dari Sungai Durian dan Jabarat Harahap dari Napahalas. Setelah ketiga pejuang tersebut gugur di medan perang pada pertempuran pertama, kemudian para pejuang Sigama melakukan perlawanan dan melakukan penghambatan Kolonial Belanda.

Dengan berakhirnya pertempuran pertama disusul pertempuran di jembatan Sigama yang dikenal peristiwa jembatan Bosi untuk kedua kalinya. para pejuang yang gugur dalam peristiwa ini antara lain, Toha Daulay dari Siunggam, Bahrum Daulay dari Siunggam, Jabarat Dalimunte dari Sosopan.

Berikut Informasi yang dirangkum wartawan dari berbagai sumber terkait peristiwa yang terjadi di Jembatan Sigama. Serangan Pertama Belanda di Sigama Pasukan Belanda yang berposko di Padangsidimpuan kala itu, sedang melakukan patroli ke wilayah Sigama. Ketika ditengah perjalanan persisnya di daerah aek godang, salah seorang warga saat itu memberitahukan akan kedatangan pasukan Belanda ke wilayah sigama, agar berhati-hati dan waspada.

Setelah mendengar akan kedatangan pasukan Belanda, ada beberapa warga ditugaskan untuk melakukan pengintaian di Siparau. Siparau merupakan bukit yang paling tinggi di wilayah Siunggam. Berikut nama warga yang diutus untuk mengintai perjalanan pasukan Belanda ke wilayah Siunggam masing-masing Karo-karo berasal dari tanah Karo bertugas sebagai Komandan, Ginting berasal dari tanah karo, Dolok Siregar berasal dari desa Aek Bayur bertugas sebagai komanda regu dari Sigama, Kosim Harahap berasal dari desa Sigama dan termasuk pejuang paling muda kala itu, lalu Darim Siregar berasal dari Desa Sibatang Kayu, Suip Siregar berasal dari Desa Aek Bayur, Surip berasal dari desa Sosopan dan Bahrum Daulay berasal dari Desa Sibatang kayu.

Mendengar suara rombongan sudah dekat, para pejuang sigama berpindah tempat ke tano ponggol dan bersembunyi di bukit-bukit yang tinggi di areal tersebut. Para pejuang Sigama berusaha menghalangi Belanda masuk ke Sigama. Sesampainya pasukan Belanda ke Tano Ponggol, terjadi baku tembak di sekitar 100 meter dari bukit tersebut. Hal ini menyebabkan empat pasukan Belanda tewas ditempat, mayat mereka giring pulang.

Setelah kejadian tersebut para pejuang Sigama menyelamatkan diri ke tor-tor sipipisan untuk bersembunyi dan dalam peristiwa tewasnya pasukan Belanda disaksikan langsung para warga, seperti anak-anak, kaum ibu, bahkan lansia.

Selang beberapa menit kemudian, pasukan Belanda kembali melanjutkan patrolinya ke arah Sigama. Pejuang Sigama kembali menyusun rencana untuk memberikan perlawanan kepada Belanda. Pertempuran pun terjadi di dekat Simpang Baru, baku tembak untuk yang kedua kalinya, dua pejuang Sigama gugur dalam peristiwa tersebut yakni Surip Harahap dan Bahrum Daulay karena tertembak oleh Pasukan Belanda dan jenazahnya dimakamkan di desa kelahiran masing-masing. 

Hampir berbanding sama dengan pejuang Sigama, tiga orang pasukan Belanda juga ikut tewas dalam peristiwa dan mayatnya digiring dan dibawa pasukan Belanda.

Serangan Kedua Belanda

Berselang waktu yang cukup singkat, Belanda kembali melancarkan misinya ke Sigama, namun kedatangan Belanda diketahui penduduk sigama, maka dari itu para pejuang sigama kembali menyusun rencana perang, dalam perang kali ini, dipimpin oleh Haeran Siagian dan dibantu Darim Siregar. Kedua pejuang ini merupakan tentara Heiho, yang paling mengetahui tentang strategi-strategi dalam perang saat itu di desa Sigama. Karena sebelumnya mereka berdua ikut berperang melawan pasukan Jepang.

Sebelum Belanda tiba, pejuang Sigama merusak jembatan Sigama. Hal ini bertujuan untuk memperlambat jalannya truk Belanda. Setibanya Belanda di Jembatan Sigama, rencana yang disusun pejuang Sigama berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pada saat itu truk yang ditumpangi pasukan Belanda melewati jembatan Sigama, haeran yang bersembunyi di bawah jembatan melemparkan granat kecil ke dalam truk Belanda tersebut, sehingga menewaskan empat orang pasukan Belanda. 

Namun Belanda tidak melakukan perlawanan, akan tetapi hanya melambungkan/melepaskan suara senjata ke arah atas. Setelah kejadian tersebut, pasukan Belanda kembali ke posko mereka yang mereka dirikan di Aek Godang dengan mencari jalan pintas melewati desa tangga-tangga hambeng.

Lebih kurang satu tahun, Belanda masih sering patroli ke desa Sigama, namun pertumpahan darah sudah tidak pernah terjadi lagi.Setelah diadakannya perundingan-perundingan yang menegaskan kepada Belanda untuk menghentikan serangannya terhadap Indonesia dan disetujui oleh pihak Belanda, maka Belanda ke kembali ke negeri mereka dan berakhirlah serangan Belanda di Sigama.

Sungguh sayang, tugu berdiri kokoh sebagai peringatan melawan penjajah, meskipun tidak begitu besar, tapi monumen dan tugu itu sudah menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia khususnya Desa Sigama. Kondisinya sekarang terbengkalai seperti tanpa sejarah. Tugu dan jembatan itu sekarang seperti tak punya arti, padahal itu sebagai pengingat perjuangan melawan penjajah sampai darah penghabisan. Kawasan bersejarah ini terabaikan lantaran tidak mendapatkan perhatian serius dari Pemda maupun instansi terkait 

Harapan kita semua, generasi muda dan masyarakat Indonesia mari kita ingat sejarah dan lestarikan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan.

()

Baca Juga

Rekomendasi