Menafsir Kembali Padamu Jua

Oleh: Ris Pasha. Sajak trademark Amir Hamzah Padamu Jua, ditangan para penafsir selama ini dikatakan sebagai sajak beraliran religius dan tasauf. Bernuansa mistik. Penafsir seperti A.H. Johns, A. Teeuw, Abdul Hadi WM, Sutan Takdir Alisyahbana, Sapardi, bahkan H. B. Jassin, berpendapat sama. Tafsir yang lebih akurat dikemukakan Damiri Mahmud dalam berbagai diskusi. Termasuk dalam bukunya Menafsir Kembali Amir Hamzah terbitan Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara.

Tafsiran lama itu tidak mengakar. Tidak ditafsir berdasar siasat-siasat Melayu, siapa sebenarnya Amir Hamzah. Ada apa di balik lirik-lirik agung dan anggun dalam sajak itu? Dimana bunyi, rima  dan irama, dengan diksi dan idiom sangat harmoni membentuk hakikat sajak. Chairil Anwar, pengagum Amir Hamzah, mengatakan Padamu Jua sebagai sajak gelap. Penuh misteri.

Sebagaimana kehidupan Amir yang misteri. Satu sisi Amir dianggap sebagai seorang penyair besar. Sisi lain dia sebenarnya seorang pemuda berjiwa satria. Sekolah di sekolah hukum Rechts Hoge School (R.H.S). Dia sedang mempersiapkan diri menjadi seorang intelektual bangsa bersama pemuda-pemuda lain di Jakarta. Nasib berkata lain. Amir menjadi salah seorang korban Revolusi Sosial tahun 1946. Amir dianggap feodal.

Damiri menyebut sajak Padamu Jua sebagai sajak cinta kekasih dunia belaka. Beda cara pandang dengan para penafsir lama. Merka menafsir dengan cara pandang mereka yang sudah berisi teori-teori barat.

Timur identik dengan sufi, tasauf, mistik. Padahal Amir masih bersih dari pengaruh luar. Walaupun dia bersekolah di sekolah Belanda. Darah Melayu-nya masih merah. Sadar atau tidak, Amir telah menghasilkan karya besar yang berbahan dasar tradisi dan pikiran-pikirannya yang otentik.

Kalau kita banding dengan Chairil, letak perbedaannya, Chairil tak berumah di istana. Chairil besar di pemukiman ramai kota Maksum, Medan. Lahirlah dari Chairil sajak-sajak Ekspressionisme berbahasa Medan, cakap Medan, yang tentu berinduk pada bahasa Melayu juga.

Charil menulis: Kalau sampai waktuku/ ku tak mau seorang pun merayu/ tak juga kau. Amir menulis: Habis kikis/segala cintaku/ hilang terbang. Pulang kembali aku padamu seperti dahulu.

Amir Hamzah lahir 28 Pebruari 1911. Amir menulis Padamu Jua di tahun 1935, pada usia belum penuh 25 tahun, beberapa waktu  sebelum dia menikah dengan Tengku Kamaliah. Anak pamannya, Sultan Mahmud, setelah dia pulang ke kampung. Chairil Anwar waktu itu  masih berusia 15 tahun. Chairil dipastikan sudah membaca Padamu Jua jauh sebelum menulis sajak Senja di Pelabuhan Kecil dan Aku, yang seperti dipengaruhi oleh Padamu Jua.

Paman Amir Hamzah, Sultan Mahmud meminta Amir pulang, berkenaan dengan ketidaksukaan Belanda pada aktifitas keponakannya aktif dalam pergerakan kemerdekaan di Jakarta. Belanda mengancam akan menghentikan kerja sama dalam usaha pengelolaan tambang minyak bumi di Pangkalan Brandan dan Langkat, jika Amir tidak di tarik dari Jakarta. Memutuskan hubungan kerja sama akan menghentikan aliran uang ke kas kerajaan Langkat.

Amir pulang kampung mematuhi permintaan Pamannya, dengan meninggalkan Ilik Sundari, kekasihnya. Ilik dan Amir sudah menjalin cinta sejak di sekolah menengah di Solo. Pukulan terberat dalam hidup Amir. Jika dilawan, gugurlah duplikat anak berbangsa. Tak anak Melayu namanya kalau tak patuh pada orang tua.

Budi pun sudah ditanam sang paman pula. Sejak ayahandanya Tengku Adil meninggal dunia, Pamannyalah yang membiayai sekolah Amir di Jakarta. Tentunya tidak murah. Satu hal yang membuat  Amir berat hati tak mengikuti permintaan pamandanya, karena Sundari memang tak berdarah biru.

Bisa dipastikan, keluarga kesultanan Langkah sudah mendengar kabar percintaan Amir.

“Pangeran dari Seberang” itu, tulis Nurhadini (Nh. Dini) dalam biografi Amir yang ditulisnya. Amir juga menulis, “sayang Engkau orang biasa” dalam sajaknya Sayang Engkau Orang Biasa.

Hati yang berbunga-bunga menjadi kelabu. Amir Hamzah  patah hati. Hasilnya  curahan luka terciptalah Padamu Jua. Masterpiece-nya sajak gubahnnya. Sama dengan Senja di Pelabuhan Kecil-nya Chairil yang menyentuh. Serupa thema, latar beda, harga sama mahal. Keduanya merupakan suplai terbesar kedua penyair  kepada sastra Indonesia. Tidak tertandingi sampai sekarang. Patah hati berbuah abadi.  Dua sajak  tak akan henti dikaji dan dibaca.

Strukturalisme dan Ekspressionisme

Kegagalan para penafsir Padamu Jua, sebab tergoda pesona kehalusan dan misteri kata kata. Kata mu, engkau, kau, kandil, pelita, sunyi. Bahkan Jassin, mungkin sangking pedulinya pada kata-kata ini, langsung menafsir bait kedua sajak. Kaulah kandil kemerlap/ Pelita jendela di malam gelap. Berkesimpulan ini lirik yang selalu di pakai para penyair sufi dan tasauf. Bahkan berpendapat ekstrem, mistik.

Padamu jua sajak mistik. Barangkali jauh panggang dari api. Hamzah bisa dikatakan monoteis sejati. Belum sempat memasuki tahap tasauf dalam hidupnya. Sajaknya Karena Kasihmu, menampakkannya. Dia pelaksana syariat yang kukuh.

“ Karena kasihmu/ Engkau tentukan waktu/ Sehari lima kali kita bertemu (bait satu Karena Kasihmu).

Tak dihiraukan Jassin bait pertama gatra satu yang dahsyat, bak air terjun. Berisi keperihan hati yang patah. Sepintas saja Yasin  mungkin membacanya. Tak  sampai pada penafsiran yang matang.

Damiri menafsir gatra ini sebagai ironi. Ironi, umum bagi anak-anak melayu bercakap-cakap.

“Panjat lebih tinggi lagi!” Padahal menyuruh turun.

“Uang tu daki dunia!” Padahal berharap lebih.

Ironi, sama dengan berpantun, berkias, sindiran, semua gaya Melayu. Habis kikis /Segala cintaku hilang terbang/ pulang kembali aku/ padamu seperti dahulu. Bukan habis hakiki. Bahkan cinta menampakkan karmanya seolah-olah. Badan jauh, hati makin dilamun rindu.

Di tangan Damiri, melalui penafsiran cara strukturalisme, yang pantang memenggal-menggal bait-bait sajak untuk ditafsirkan. Mitos lama nyaris bisa dikatakan tereleminasi. Tak dijumpai secara signifikan Padamu Jua sebagai sajak tasauf. Padamu Jua utuh sebagai sajak cinta kekasih dunia Amir pada Ilik yang terputus. Mengada-ngada kalau disebut sebagai sajak sufi atau tasauf.

Padamu Jua, sebagai judul, dalam bait kelima, disebut lagi : “sayang berulang padamu jua”. Apapun yang difikirkan, dimarah, dibenci, tetap Amir kiranya tak bisa lupa akan kekasihnya. Status raja muda Binjai tak membahagiakan dirinya juga.

Selanjutnya melalui penafsiran ekspressif yang mengikat kedalaman jiwa seorang penyair, karakter dan budaya yang membesarkannya, ditemukan kekeseluruhan sajak berkepribadian Melayu. Ada ironi, pantang, balas budi, sindiran dan amuk. Engkau cemburu/ engkau ganas/ mangsa aku dalam cakarmu/ bertukar tangkap dengan lepas. Amuk Amir yang tak bisa diimplementasikan dengan fisik.

Nanar aku/ gila sasar… Pengakuan yang menyedihkan. Tak lagi mengenal sasaran kebencian atau kemarahan Amir pada siapa dijukan. Lalu waktu bukan giliranku/ Mati hari bukan kawanku. Amir ingin mati saja kalau bisa.

Kini sudah lebih setengah abad lebih lamanya Amir Hamzah meninggalkan sajak-sajaknya. Mengenangnya adalah satu kebajikan. Terlebih buat orang-orang yang ingin menulis sajak.

Contoh yang sangat otentik atas keberadaan sajak modern berbahasa Melayu. Amir Hamzah meninggalkan pola pantun dan syair, tapi tetap menjaga resam adat dan budaya Melayu yang luhur. Raja Penyair Pujangga Baru, gelar yang ditabalkan Jassin pada Amir. Amir Hamzah dan Chairil memang belum ada duanya.

Penulis esais, tinggal di Tanjungbalai

()

Baca Juga

Rekomendasi