Oleh: Mas Arif. Luar Biasa. Itu yang ada dibenak penulis ketika untuk yang pertama kalinya melihat seekor tikus di Kota Medan lewat di depan mata. Keheranan penulis bukan karena tidak pernah melihat tikus sebelumnya, tapi karena binatang pengerat di kota itu berbeda dengan tikus di desa, di tempat penulis tinggal.
Perbedaan dimaksud terletak pada ukuran tubuhnya. Ukuran tikus di kota ternyata lebih besar bahkan bisa dikatakan dua kali lipat dari ukuran tikus yang ada di pedesaan, sekitar 200-600 mm. Alhasil, penulis yang sebelumnya tidak begitu merasa “ngeri” saat melihat tikus, sekarang mulai berusaha menghindarinya, terutama tikus yang berada di kota.
Penulis merasa, tikus-tikus kota mengerikan dan menjijikkan. Selain ukuran tubuhnya yang besar, tikus-tikus ini juga terlihat kotor dan bau. Mungkin karena hal itulah makanya kucing di perkotaan tidak menjadikan tikus sebagai buruan untuk dijadikan santapannya. Padahal kucing sangat doyan dengan tikus. Itulah sebabnya rumah-rumah di pedesaan (termasuk rumah penulis) umumnya memiliki kucing guna memburu tikus.
Kalau dalam film kartun Tom and Jerry, di mana Kucing (Tom) mengejar-ngejar Tikus (Jerry) untuk dijadikan santapan, tapi di lingkungan kota sama sekali tidak berlaku. Justru kucing yang malah takut melihat tikus.Terbalik sudah.
Untuk menemukan tikus-tikus kota kita tidak perlu bersusah payah mencarinya. Mereka (tikus) hidup dan menghiasi berbagai tempat yang membuat mereka nyaman, yaitu tempat yang gelap, kotor, bersampah, dan penuh sisa makanan, seperti saluran pembuangan (got), lubang sampah, pusat perbelanjaan (pajak), dan lain-lain.
Bahkan pengalaman penulis sendiri, jika menyusuri jalanan Kota Medan terutama pada malam hari, rasanya hampir tidak pernah tidak melihat tikus berkeliaran di pinggiran jalan kota, apalagi yang tempatnya kotor dan sunyi. Begitu mudahnya menemukan tikus yang populasinya cenderung meningkat. Ini merupakan cerminan dari lingkungan yang buruk.
Semakin lama populasi tikus di kota semakin meningkat, sejalan dengan meningkatnya produksi sampah di Kota Medan. Seperti sebuah harian baru-baru ini, bahwa terjadi peningkatan produksi sampah di kota medan, dari 1300 ton per hari menjadi 1700 ton per hari. Sampah tersebut berasal dari 21 kecamatan di Kotan Medan, sebagian besar merupakan hasil dari konsumsi masyarakat.
Tentunya peningkatan produksi sampah tersebut merupakan keadaan yang menguntungkan bagi tikus, karena hidup tikus-tikus tersebut bergantung dari sampah dan limbah atau sisa-sisa makanan. Apalagi seperti yang kita ketahui, keberadaan sampah di Kota Medan masih belum terurus dengan baik. Ditambah masih banyak masyarakat membuang sampah sembarangan. Sehingga dengan mudahnya kita menemukan tumpukan sampah. Padahal tumpukan sampah menjadi sasaran empuk bagi tikus-tikus ini.
Semakin tidak terurusnya sampah, terutama sampah rumah tangga, maka keberadaan tikus juga semakin susah dikendalikan. Tikus akan berkembang biak dengan baik dan populasinya semakin merajalela. Tidak mengapa jika keberadaan tikus-tikus ini membawa dampak yang positif bagi lingkungan, namun kenyataannya tidak begitu atau jikapun ada mungkin tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya.Tikus-tikus di telah menjadi hama yang mengganggu, merugikan bahkan membahayakan masyarakat.
Dampak Negatif Tikus
Jika di pedesaan tikus telah menjadi hama yang merugikan petani karena merusak tanaman, terutama padi, maka di perkotaan masalahnya menjadi lebih kompleks.
Banyak rumah yang terganggu akibat tikus-tikus ini. Tidak sedikit persediaan makanan yang dihabiskannya, perabotan rumah dirusak dan sudut-sudut rumah dicemari oleh kotoran yang dihasilkannya. Semua itu disebabkan tikus telah bersarang di rumah.
Lebih daripada itu, kebiasaan tikus yang menyukai tempat-tempat kotor dan memakan makanan yang tidak lagi steril, menjadikannya salah satu hewan pembawa penyakit yang berbahaya. Penyakit dimaksud adalah leptospirosis atau kencing tikus, yang disebabkan adanya bakteri leptospira. Penyakit ini tidak dapat dianggap sepele, karena dapat menyebabkan gagal ginjal, penyakit kuning dan bahkan sampai merenggut nyawa.
Leptospirosis menular kepada manusia melalui air dan makanan, namun bisa juga disebabkan penggunaan barang-barang yang telah terkontaminasi kencing tikus. Penyebaran penyakit ini telah melanda kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Ambon, Pekanbaru dab lain-lain.
Penyakit ini paling banyak menyerang saat hujan atau banjir. Sebab pada saat itu, air yang telah terkontaminasi kencing tikus dengan mudah mengenai tubuh manusia. Proses penularannya semakin cepat dan berbahaya bila mengenai bagian tubuh yang terluka.
Pencegahan dan menghindari penyakit ini adalah menjaga lingkungan dari kehadiran tikus-tikus kota dengan membersihkan dan mengkondisikan lingkungan rumah dari segala kotoran yang dapat mengundang kedatangan tikus-tikus ini. Perhatikan juga kebersihan aliran parit tempat tikus bersembunyi.
Tempat penampungan air harus diberi penutup agar tidak terkena kotoran dan kencing tikus. Tempat penyimpanan sampah sementara (tong sampah) sebaiknya diletakkan pada tempat yang lebih tinggi.
Cara-cara pencegahan di atas akan membuat kita hidup dalam lingkungan yang aman dan nyaman dari gangguan tikus-tikus ini. Meskipun banyak produk pengusir tikus yang dijual, namun cara yang paling baik dan efektif adalah menjaga kebersihan pada lingkungan kita.
Dari itu, prilaku buruk masyarakat yang masih saja tidak peduli terhadap kebersihan lingkungan harus segera diubah. Populasi tikus di lingkungan kota semakin tinggi dan membahayakan. Kota Medan yang menjadi langganan banjir disebabkan masalah sampah, tentu sangat rentan bagi masyarakatnya terjangkit berbagai penyakit, salah satunya penyakit leptospirosis (kencing tikus). Tingginya populasi tikus di kota menjadi ancaman serius dan harus segera ditangani.
(Penulis adalah peminat masalah lingkungan).