Oleh: Hari Murti, S. Sos. Sinabung dan Merapi adalah dua gunung aktif. Ketika erupsi, secara visual, keduanya mengeluarkan material yang sama, yaitu salahsatunya debu panas yang bergumpal-gumpal lalu terbang menjauhi kawah. Walaupun materi yang disemburkan sama, tetapi ternyata kita memberikan istilah berbeda atas materi tersebut. Ketika Sinabung erupsi, wartawan atau narasumber menyebut material yang keluar itu sebagai awan panas, sedangkan wedhus gembel untuk material yang disemburkan Merapi. Para vulkanolog terlihat lebih suka menggunakan istilah debu vulkanik untuk menyebutkan.
Jelas bahwa penyebutan material yang keluar itu juga terpengaruh oleh budaya setempat. Bagi masyarakat yang berada di sekitar Merapi, wujud material yang bergumpal keriting dan bergerak itu mirip sekumpulan domba, yang dalam bahasa setempat disebut wedhus gembel. Sedangkan bagi wartawan dan warga di sekitar Sinabung, debu bergumpal itu lebih mirip awan di langit sehingga disebutlah sebagai awan dengan kata panas untuk menunjukkan sifatnya yang berbeda dengan awan air di angkasa (mendung).
Sebenarnya, kata awan panas ada dalam kamus besar bahasa Indonesia. Arti atau mungkin sinonim dari awan panas dalam kamus bahasa Indonesia adalah ladu. Ladu adalah ‘abu panas gunung api yang dibawa angin, dan membahayakan bagi kehidupan yang dilaluinya’. Di sisi lain, karena Merapi dan Sinabung sering aktif sehingga mengaktifkan penggunaan kata wedhus gembel dan awan panas, akibatnya orang kadang menggunakan awan panas, kadang menggunakan wedhus gembel. Di sisi lain lagi, vulkanologi memiliki nama yang juga dengan mudah dipahami karena dekat dengan masyarakat, yaitu debu vulkanik.
Nah, pada kesempatan kali ini, saya tidak akan menunjukkan atau membahas kata yang lebih benar untuk menyebut material tersebut. Mau awan panas, debu vulkanik, atau wedhus gembel, kali ini, anggaplah itu sebagai kekayaan bahasa atau mungkin soal komunikativitas saja. Saya lebih ingin ikut memperkenalkan sebuah kata dalam kamus bahasa Indonesia yang selama ini jarang atau bahkan tidak kita ketahui, yaitu kata ladu tadi. Mengapa perlu untuk memperkenalkan kata ladu?
Banyak sekali jawaban yang bisa diberikan mengapa perlu untuk memperkenalkan kata ladu. Bagi saya sendiri, jawaban yang paling menarik untuk diberikan ada 2, yaitu : (1) agar kata tersebut tidak langsung menjadi kata yang ditinggalkan (arkais) padahal kita belum pernah menggunakan sama sekali dan (2) untuk mendorong kita mencari sejarah dan asal kata tersebut di tengah terganggunya kita atas penyerapan secara besar-besaran atas kata asing ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin kata tersebut berasal dari bahasa daerah kita sendiri atau dari bahasa asing selain bahasa Inggris, yang hal ini menunjukkan bahwa ternyata kita punya banyak alternatif dibanding selama ini yang katanya kita selalu mengutip dari bahasa Inggris.
Tantangan untuk memperkenalkan kata ladu, menurut saya, bukan pada bunyi kata yang tidak sehebat kata debu vulkanik, awan panas, atau wedhus gembel. Tantangannya adalah soal memulai untuk membiasakan. Sebenarnya kita tidak perlu memosisikan kata-kata ini sebagai bersaing, tetapi hanya perlu menggunakan semuanya. Kita sudah menggunakan awan panas, debu vulkanik, atau wedhus gembel secara bersamaan atau bergantian. Artinya, tidak perlu melihat penggunaan kata ladu sebagai penyebab tersingkirnya kata-kata yang sudah demikian dikenal di masyarakat kita.***
Penulis adalah Pamong Bahasa di Sumatera Utara oleh Badan Bahasa, angkatan ketiga.