GARA-GARA taman yang terletak di Jalan Raya Darmo ini Walikota Surabaya Risma sempat berang dan mengamuk. Dimana, taman tersebut diporak-porandakan oleh pihak yang menggunakan taman tersebut sebagai tempat dilaksanakan sebuah perhelatan.
Ya Taman Bungkul. Taman ini adalah tempat favorit untuk kumpul-kumpul warga Surabaya. Pasalnya, Taman Bungkul ini di lengkapi dengan tempat bermain anak-anak, jogging track, amfiteater, tempat bermain skateboard, kolam air mancur, internet, dan suasana hijau.
Banyak acara hiburan dan kebudayaan yang digelar di Taman Bungkul. Apabila anda ingin berwisata kuliner, di Taman Bungkul juga ada banyak penjual makanan khas Surabaya. Rasanya, belum sah berkunjung ke Surabaya bila tak mengunjungi taman ini.
Taman Bungkul adalah salah satu ruang terbuka hijau dan artefak cagar budaya. Keberadaan pepohonan rindang dan rerumputan yang menghijau di tengah kota, termasuk Taman Bungkul, memiliki manfaat besar, baik bagi lingkungan alam maupun lingkungan sosial di sekitarnya. ruang terbuka hijau (RTH) adalah paru-paru kota yang bisa mereduksi polusi udara dan menjadi peresapan air hujan (Ecoton, 2003).
Sebagai ruang publik, Taman Bungkul tidak pernah sepi dari kegiatan yang bersifat duniawi maupun ukhrowi. Banyak peziarah, baik dari Kota Surabaya maupun daerah lain seperti Kediri, Banyuwangi, Gresik, dan Lamongan dan berbagai daerah lain yang berdatangan. Kota Surabaya yang dijuluki Kota Pahlawan, memiliki 169 bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah tersendiri. Bagunan cagar budaya merupakan warisan yang harus dilindungi. Bangunan bersejarah di Surabaya juga merupakan bukti bahwa kota ini layak menyandang sebagai kota pahlawan.
Sebelumnya telah ada 167 bangunan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sebanyak 61 bangunan ditetapkan pada tahun 1996 dan 102 bangunan ditetapkan pada tahun 1998. Adapun empat lainnya, ditetapkan pada tahun 2009, yakni Lapangan Golf Ahmad Yani, Gedung Gelora Pantjasila, Kolam Renang Brantas, dan gedung Perkumpulan Olah Raga Embong Sawo.
Disamping itu, ada satu alasan lain yang mungkin pantas dan ‘wajib’ berkunjung ke Taman Bungkul ini. Dimana, di taman ini terdapat makam Sultan Bungkul dan sejumlah makam lainnya kerabat dan keluarga Sultan Bungkul.
Dalam berbagai refrensi disebutkan, Mbah Bungkul yang makamnya berada di komplek Taman Bungkul menyimpan misteri kesejarahan yang tak mudah diungkap. Sebuah hikayat menyebutkan Mbah Bungkul atau Sunan Bungkul adalah Empu Supa, seorang tokoh masyarakat dan agama pada masa kerajaan Majapahit di abad 15 yang memiliki nama asli Sayyid Iskandar.
Ia adalah tetua desa Bungkul, yang sekitar 600 tahun silam pernah disinggahi Raden Rahmat atau Sunan Ampel kala menempuh perjalanan dari Trowulan Majapahit menuju Kalimas di Ampel Denta. Ki Supa kemudian memeluk agama Islam dan berganti julukan menjadi Ki Ageng Mahmudin. Karena menghuni desa Bungkul, Ki Supa akhirnya lebih dikenal dengan Sunan Bungkul.
Ikatan kedua sunan itu pun berlanjut hingga kemudian Sunan Bungkul menjadi mertua Raden Rahmat. Karena ikatan itu pula, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih cepat berkembang, terutama di wilayah Surabaya Selatan. Mbah Bungkul pun kini diyakini sebagai salah satu wali besar di Surabaya. Peziarah yang berkunjung ke makam Ampel pasti akan berkunjung pula ke komplek makam yang berada di Jalan Progo ini.
Anggapan lain meyakini bahwa Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, seperti konsep sejarawan Sartono Kartodirdjo dengan sebutan tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan Mbah Bungkul sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal lainnya yang banyak tersebar di berbagai kota. Makam Mbah Bungkul pun terasa sunyi di antara ingar-bingar warga kota yang terus meramaikan taman Bungkul setiap saatnya.
Menurut Sukaryanto Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Airlangga, dari pertimbangan aspek kesejarahan Taman Bungkul, awalnya taman ini terbangun karena keberadaan makam tokoh sejarah seperti Ratu Kamboja, Ratu Campa, Tumenggung Jayengrono, dan Ki Ageng Supo atau Empu Supo. Tokoh terakhir adalah tokoh masyarakat/agama pada masa kerajaan Majapahit (abad XV), yang juga mertua Raden Rahmat atau Sunan Ampel (Kompas, 27/4/ 2002).
Berkat hubungan baiknya dengan Ki Supo, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih sukses. Ki Supo mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. Boleh jadi Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, suatu konsep sejarawan UGM Sartono Kartodirdjo untuk menyebut tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan dia sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal yang lain.
Karenanya, bila anda ke Surabaya jangan lupa mampir ke Taman Bungkul Surabaya yaitu tempat makam mbah bungkul mertua dari sunan Ampel.(Iranda Novandi)