Oleh: Nur Akmal S.Pd. Setidaknya dalam beberapa minggu setelah dilantik menjadi Presiden, Joko Widodo telah membuat beberapa gebrakan. Salah satunya perubahan nomenklatur beberapa Kementerian, Pemisahan dan Penggabungan beberapa bidang dalam satu Kementerian. Tentu bukan tanpa alasan Presiden Jokowi membuat kebijakan ini, dan tentu saja tujuannya adalah untuk kebaikan bangsa.
Perihal susunan kabinet kerja serta tatanan Kementeriannya, penulis mengapreasiasi pemisahan urusan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau penggabungan Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Ini boleh jadi sebuah langkah awal dari peningkatan prestasi akademik dan kemajuan riset bangsa.
Sebagaimana kita ketahui prestasi akademi ilmuwan kita saat ini tertinggal dari ilmuan negara lain bahkan dengan negara tetangga se-ASEAN. Ada dua masalah besar dalam hal ini yang jadi pertimbangan. Pertama minimnya pelaksanaan riset baik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi juga kurangnya kesejahteraan bagi para peneliti.
Harapan dari penggabungan Menristek dan Dikti ini tentu agar lebih mendekatkan Pendidikan Tinggi dan riset yang selama ini tidak bisa dijalankan dengan baik di Kementerian Pendidikan. Memang kita ketahui Kemendikbud dalam menjalankan fungsinya lebih memprioritaskan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Maka langkah presiden memisahkan urusan Dikti dari Kemendikbud dan menyatukannya pada Menristek, Serta menjadikan Kemendikbud sebagai Kementerian Budaya dan Pendidikan Dasar dan Menengah patut diapreasiasi. Meski pun banyak orang juga mengkritik perihal perubahan ini hingga pada masalah Nomenklatur “Ristek” yang mendahului “Pendidikan Tinggi” sebab Ristek dianggap bagian dari Dikti bukan sebaliknya.
Terlepas dari itu semua, Pendidikan Tinggi memang erat sekali kaitannya dengan dunia riset. Seharusnya penggabungan tersebut dapat memperkuat daya dukung lembaga ilmu pengetahuan dengan penyerapan hasil riset di perguruan tinggi. Juga dapat menumbuhkan minat para mahasiswa dan dosen dalam melakukan penelitian.
Saat ini hanya sebagian kecil mahasiswa yang melakukan penelitian. Setidaknya dapat terlihat dari jumlah mahasiswa yang mengirimkan proposal penelitian dalam program-program penelitian yang digelar Ditjen Dikti, salah satunya Program PKM. Dari sekian banyak kategori, tidak banyak yang ambil bagian dalam program tersebut.
Alih-alih mengutamakan legitimasi pengabdian terhadap masyarakat, mahasiswa malah cenderung menjadi mahasiswa yang hanya duduk dan diam di kelas. Dan melakukan penelitian hanya sekali seumur hidup menjadi mahasiswa, yakni saat tugas akhir. Itu pun tidak sedikit yang menempah dan asal jadi. Yang penting lulus.
Ini terjadi karena kurangnya sosialisasi tentang pentingnya riset bagi kemajuan bangsa, serta kurangnya pengetahuan tentang tata cara pelaksanaan riset, publikasi hasil riset dan dukungan dari perguruan tinggi. Karenanya tidak banyak mahasiswa yang berminat dalam melakukan riset sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Begitu pun pada dosen, perlu adanya perubahan dalam meningkatkan produktivitas penelitan dosen. Sebagai professional di bidang akademik, seorang dosen harus mampu menelurkan inovasi yang memberi kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan baik nasional maupun internasional. Bukan hanya sekadar melakukan riset sebagai bagian dari persyaratan kenaikan pangkat.
Perlu adanya perubahan dalam tata kelola pendidikan tinggi. Perguruan tinggi hendaknya bukan lagi menjadi lembaga pengajaran belaka, tapi juga menjadi lembaga yang berhasil melahirkan teori-teori dan atau kegiatan empiris. Selama ini perguruan tinggi tak lebih dari tempat pengajaran berbagai bidang tertentu. Dengan harapan melahirkan sumber daya manusia yang siap bersaing di dunia kerja.
Faktanya dewasa ini kita butuh sesuatu yang lebih dari itu. Kita butuh sesuatu yang lebih dari bersaing di dunia kerja. Kita butuh cendikiawan yang mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap ilmu pengetahuan yang paling tidak bisa memberikan manfaat untuk tata kelola negara dan sumber dayanya.
Kita sudah cukup lelah menjadi negara yang banyak bergantung pada negara lain, terlilit hutang, menjadi negara yang ekstratif yang hanya mampu menjual barang mentah. Dan kemudian membelinya kembali dari negara yang mampu mengelola barang mentah tersebut. Bahkan kita justru jadi pasar bagi produk bangsa lain, yang boleh jadi barang mentahnya dari negara kita.
Maka harapan besar kita pada Menriste dan Dikti di Kabinet Kerja ini adalah pengembangan iptek yang pesat dalam meningkatkan ekonomi dan daya saing. Serta penggunaan riset di perguruan tinggi untuk kepentingan industri. Sehingga suatu hari tidak ada lagi kesenjangan antara riset dan industri itu sendiri.
Serta lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang mendukung penuh pengembangan riset di berbagai daerah juga peningkatan mutu kesejahteraan peneliti agar muncul peneliti-peneliti yang gemilang. Yang dihargai di negaranya sendiri, bukan justru dihargai di negara lain.
Semoga Menristek dan Dikti di Kabinet Kerja Presiden Jokowi punya kinerja yang jauh lebih jelas terlihat dibanding Menristek sebelumnya, atau paling tidak bisa menyamai kinerja Menristek di zaman BJ Habibie yang pertama kali membuat pesawat. Sebagai mana disebutkan Guru Besar Fakultas Hukum UI, Sulistowati Irianto, Tanggung jawab Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi adalah memastikan bahwa para ilmuwan dapat berkembang dan berkontribusi seluasnya untuk masa depan Indonesia. ***
Penulis adalah seorang guru, alumni FKIP UMSU