Perjalanan Spiritual Menuju Kedekatan Diri Kepada Allah Swt

Oleh: Muhammad Hisyamsyah Dani. Setiap manusia dari anak cucu Adam itu diciptakan dari tiga ratus enam puluh persendian. Jadi, barang siapa bertakbir, bertahmid, bertahlil, bertasbih, beristigfar, menyingkirkan batu, duri atau tulang di jalan kaum muslimin, dan menyuruh, yang baik dan mencegah yang mungkar sebanyak jumlah persendiannya, maka sungguh, ia akan memasuki sore harinya, sedangkan dirinya telah dijauhkan dari api neraka. ( H.R. Muslim dari Aisyah ).

Manusia memang diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Dalam berbagai kondisi apapun senantiasa terus memuji dan mengagungkan Asma-Nya. Alangkah naifnya jika kita yang telah diciptakan-Nya selalu lupa akan segala karunia yang diberikan dan lebih mengutamakan kegiatan dunia sehingga lalai beribadah kepada-Nya. Jika sudah begitu apakah pantas suatu saat nanti bila kita telah kembali ke kampung akhirat kelak, diri kita ini ditempatkan ditempat yang kita inginkan, sementara hakikat ruhaniyah kita sangat kurang kita rasa. Perlu sebenarnya kajian ilmu yang mendalam dalam menyikapi apa yang seharusnya kita persiapkan menuju pertemuan dengan Sang Maha Rahman, yaitu Allah Swt. Serta mempertanggung jawabkan segala prilaku kita selama hidup di dunia.

Berbicara mengenai proses ‘perjalanan’ seharusnya yang kita lakukan adalah mempersiapkan spiritual kita. Sebab bila kebutuhan spiritual telah kita penuhi, mudah-mudahan perjalanan yang sesungguhnya menghadap Allah Swt. akan kita jalani dengan mudah.

Dalam diri manusia sebenarnya ada potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut fitrah yang cenderung kepada kebaikan dan ada pula yang disebut dengan nafsu yang cenderung pada keburukan.

Manusia terkadang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Manusia selalu dikendalikan oleh nafsunya bukan mengendalikannya. Jika manusia telah dikendalikan oleh nafsunya maka dia telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Dengan penguasaan nafsu tersebut di dalam diri seseorang maka berbagai penyakitpun timbul pada dirinya, seperti : sombong, membanggakan diri, riya’, buruk sangka, kikir, & sebagainya. Penyakit-penyakit itu yang akan menghalangi manusia dalam menghadapi perjalanan spiritual.

Sejalan dengan hal tersebut, maka akan muncul berbagai maksiat batin dari dalam diri manusia baik dari seluruh panca indera, maupun tercermin pada akhlak. Kehidupannya akan selalu berorientasi kepada kehidupan duniawi, kemegahan, kepopuleran, kekayaan, dan kekuasaan. Berleluasnya berbagai maksiat ini akan timbul, manakala manusia cinta akan dunianya, yang hal ini akan semakin menutup dan mengaburkan seseorang untuk dekat dengan Allah Swt.

Pertemuan dengan Allah

Pertemuan dengan Allah Swt, seperti yang dikemukakan oleh Nurcholis Majid, merupakan puncak kebahagiaan yang dilukiskan dalam sebuah hadis sebagai suatu yang tak pernah terlihat oleh mata. Untuk tujuan menghilangkan segala penghalang-penghalang tersebut yang membawa manusia terbatas dengan Tuhannya inilah, para ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang diberi dengan nama takhalli, tahalli, dan tajalli.

Takhalli adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk membersihkan diri kita dari semua prilaku tercela, baik maksiat lahir maupun batin. Sebab ia akan semakin menghalangi perwujudan diri untuk beribadah kepada Allah Swt. Diantara sifat yang buruk yang mesti kita bersihkan adalah sifat hasad (dengki), su’uzan ( berprasangka buruk ), kibr ( sombong ), ‘ujub ( besar diri), riya’ (pamer), pemarah , dan sebagainya. Takhalli juga berarti melepaskan diri dari ketergantungan kepada kepada aktifitas duniawi dengan melenyapkan dorongan hawa nafsu yang cenderung kepada keburukan.

Setelah langkah pembersihan ini, maka seseorang akan memasuki tahap selanjutnya yaitu, tahalli. Tahalli adalah langkah ataupun tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela. Harus pula dipahami bahwa tahapan ini, tidaklah berarti bahwa jiwa mesti dikosongkan terlebih dahulu baru kemudian diisi. Akan tetapi begitu satu sifat tercela dibuang bersamaan dengan itu sifat terpuji diisikan. Begitu ada rasa benci dikikis maka langsung rasa cinta ditanamkan. Begitu dating rasa buruk sangka, maka baik sangka, harus pula dikembangkan. Demikian seterusnya.

Tatkala sifat buruk dibuang, kemudian sifat-sifat baik ditanamkan, maka akan lahir segala kebiasaan yang tercermin dalam akhlak yang mulia. Sejalan dengan itu semua, perlahan-lahan kondisi jiwa akan senantiasa bersih yang dengannya seseorang akan dapat dekat dengan Tuhannya.

Maka sampailah ke tahap yang terakhir, yaitu tajalli, berarti tersingkapnya rahasia Ilahi atau Nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah di atas tetap ada dan langgeng kita semai dalam jiwa, maka rasa ketuhanan mestilah kita pupuk dan kita patrikan dalam jiwa. Kesadaran ketuhanan dalam berbagai kegiatan akan melahirkan kecintaan dan bahkan kerinduan kepada-Nya. Tingkat kesempurnaan inilah yang akan dicapai manakala tercipta kesucian jiwa melalui rasa cinta kepada Allah Swt. Keberadaan dekat dengan Allah hanya akan di dapat lewat kebersihan jiwa kita.

Jalan menuju kepada kedekatan Allah Swt dapat dilakukan dengan dua usaha, yaitu 1) Mulamazah yaitu terus menerus berada dalam zikir kepada Allah Swt. 2) Mukhalafah, yaitu konsisten menghindari perbuatan yang membawa lupa akan Allah Swt. Apabila jiwa telah bersih, terhindar dari penyakit dan dipenuhi dengan kebaikan maka Allah akan memasukkan Nur ( cahaya ) kedalamnya. Pada saat itulah berbagai kegaiban dan pengetahuan tersingkap di depan mata. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 125 yang artinya “ Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk Islam.” Ketika Rasulullah ditanya tentang makna melapangkan dada dalam ayat tersebut, ia berkata : itu adalah nur yang dimasukkan Allah ke dalam hati. Kemudian beliau ditanya apa tanda-tandanya : Rasulullah menjawab “ menjauhi dunia yang menipu dan menghadap sepenuh hati kea lam abadi”.

Sebagaikesimpulan, yang terpenting adalah mengkondisikan sikap dan hati kita, manakala telah kita peroleh kenikmatan perbuatan kebaikan, maka mudah-mudahan manifestasi kedekatan diri kita kepada Allah sebagai suatu persiapan perjalanan akhir hidup yang sesungguhnya akan kita peroleh dengan penuh kebahagiaan. Untuk itu perlulah kita tanamkan dan terus kembangkan niat suci untuk mengingat Allah di manapun berada agar rasa rindu dan mengharap akan hadirnya Sang Ilahi Robbi dalam kehidupan kita, akan semakin terpelihara. Wallahu ‘Alam..

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syari’ah Jurusan Siyasah (Hukum tatanegara Islam) ,Semester I, UIN SU Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi