Pementasan Teater Keliling;

Jas Merah, Kebesaran Kata

Oleh: Teja Purnama

Negeri ini sudah berlebihan kata-kata. Di media massa, setiap hari, bahkan dalam hitungan detik, kata-kata tampil dalam berbagai fose. Kata-kata telah berhias di salon politik dan kekuasaan, melenggang dari mulut para politisi, penguasa, pengusaha, maupun para penegak hukum.

Kata-kata yang gagah, menggagahi fakta dengan orasi penuh slogan. Jangan terkejut mendengar kabar seorang penguasa yang kaya kata, dalam menghayati penderitaan rakyat, ternyata hanya maling. Kata-kata malah menyuburkan keraguan makna menandai kenyataan.

Limpah-ruahnya kata-kata, melahirkan kerinduan pada tindakan. Tindakan, melahirkan peristiwa. Proses pengiriman dan penerimaan makna atau pesan melalui peristiwa mengena, bahkan lebih melekat dalam ingatan. 

Memang, peristiwa juga kerap melahirkan kata-kata, namun itu terjadi secara alamiah, tanpa menanggung beban politik identitas yang semu sebagaimana selalu ditampilkan seleb eksekutif, legislatif maupun judikatif. 

Sebagai sebuah peristiwa di atas panggung, teater berpeluang melahirkan kata-kata secara alamiah tanpa beban politik identitas. Pesan yang timbul dari peristiwa, lebih dipercaya dan membuka lebar pintu penalaran bagi penonton.

Adalah kesedihan jika kata-kata menjadi hegemoni dalam sebuah peristiwa teater, menjadi referensi pemaknaan, bukan bagaimana kata-kata itu lahir dan bergerak alami dalam pengadeganan yang apik dan unik.  Kesedihan inilah yang saya rasakan, saat menonton “Jas Merah” Teater Keliling, 26 November 2014. Pementasan itu di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan.

Garapan Rudolf Puspa ini, tampak ingin menyebar spirit nasionalisme melalui informasi sejarah ke dunia anak muda.  Hadirlah tiga pemuda di atas panggung dengan gaya kekiniannya. Kemudian, tanpa alasan meyakinkan, mereka sudah berada pada sebuah ruang imajiner. 

Mereka digempur kata-kata gagah tiga pahlawan Indonesia; Bung Karno, Kartini dan Christina Martha Tiahahu. 

Pemilihan Bung Karno, Kartini dan Christina Martha Tiahahu. Mereka hadir dalam gejolak kekinian para remaja. Mungkin tepat untuk membawa pesan “Jas Merah” jahitan Bung Karno: Jangan Sesekali Melupakan Sejarah.

Ketiga pahlawan itu memang telah berjuang sejak usia muda. Buku pelajaran di sekolah, menginformasikan bagaimana Bung Karno berlaga kecerdasan dan keberanian dengan para politisi dunia. Dilakukannya demi kemerdekaan Indonesia. 

Bagaimana Kartini yang fisiknya terpenjara oleh adat Jawa, ternyata diam-diam memerdekakan pikirannya melalui surat-surat, bagaimana Christina dengan tombak mendatangi maut dalam setiap pertempuran.

Informasi dari buku sejarah di bangku sekolah, bahkan  sudah dituliskan dengan cara “melukiskan”, bukan sekadar “mengatakan”. 

Kesedihan jika pada pementasan ini, Teater Keliling cenderung memilih  “mengatakan”, bukannya “mengadegankan”.  Alhasil, “Jas Merah” itu jadi kebesaran kata.

Entah disadari atau tidak, Teater Keliling menempatkan tokoh Bung Karno, Kartini dan Christina pada situasi monologis yang membosankan. Ke mana kenakalan kreatif tiga tokoh remaja yang sesekali muncul di adegan-adegan awal?

Saya bukan Tuhan yang bisa memastikan, seluruh penonton malam itu tidak akan ingat apa dimonologkan ketiga pemeran pahlawan bangsa itu. Saya hanya bisa memperkirakan, pesan-pesan dalam situasi monologis hadirnya ketiga pahlawan itu tenggelam dalam kebesaran kata-kata, dalam kekosongan peristiwa panggung.

Apa solusi yang dibisa ditempuh agar pesan nasinonalisme itu sampai dan melekat?  Tentu saja dengan menciptakan peristiwa. Apakah tidak terpikir oleh Rudolf Puspa, tokoh remaja yang selalu update dengan gadget dan media sosial itu, sebetulnya bisa saja punya keinginan ber-selfie ria dengan Bung Karno, Kartini dan Cristina? Keinginan itu bisa saja ada, karena sedangkan saat tawuran saja, salah seorang tokoh remaja itu menyempatkan diri untuk ber-selfie ria.

Kenapa saya teringat pada adegan selfie? Mungkin sedikit kampungan, tetapi sebagai penonton, itulah salah satu dari sedikit peristiwa yang saya temukan dalam “Jas Merah” Teater Keliling.

Adegan itu minim kata-kata, namun mengandung banyak penalaran yang bermuara pada pemaknaan. Adegan ini dapat menjadi sebuah contoh proses penyampaian pesan yang mengena dan dapat melekat walaupun pementasan telah usai.

Apa lagi peristiwa yang ada dalam “Jas Merah”? Sedikit, memang tetapi ada. Misalnya, ketika ketiga pahlawan bangsa itu bergantian menyitirkan puisi “Krawang-Bekasi” Chairil Anwar. 

Setiap tokoh pahlawan yang menyitir puisi itu dilumpuhkan oleh sekawan sosok hitam. Ini adalah peristiwa yang dapat diingat. Kembali menyegarkan kenangan kita pada kutipan puisi yang polemis itu: kenang, kenang kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu..

Maaf, saya  harus berterus-terang. Hanya dua peristiwa ini yang saya temukan dalam pementasan terasa panjang itu. Selebihnya, hanya orasi penuh slogan dan tingkah yang artifisial serta tidak menggambarkan pertemuan antara tokoh dengan pemerannya.

Sesungguhnya saya ingin sendirian dalam kecewa. Kekecewaan juga menembak hati seniman Idris Pasaribu. Saat lampu gedung dinyalakan dan pementasan berakhir, seniman gaek yang selalu merasa muda itu mendekati saya yang duduk di belakang barisan kursinya. Dia berbisik, ”Kebanyakan slogan...” Katanya lagi, hanya mengucapkan kata Berdikari, tapi mungkin mereka tak pernah membaca buku pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1963 itu. Berdikari itu pun hanya slogan tak mengeluarkan makna yang berarti, tambahnya.

Saya tidak kaget. Sudah terlihat raut kekecewaan di wajahnya saat dia berdiri dan melangkah. Saya hanya berusaha memahami kekecewaannya. Mungkin dia mempunyai ekspektasi besar pada pementasan malam itu. 

Apalagi judul pementasannya Jas Merah yang sngat terkenal dan dikenal dunia pada tahun 1964. Wajar memang. Teater Keliling ada sejak 1974. Telah menggelar pementasan ribuan kalidi 33 provinsi Indonesia, berkeliling pula di antara lain di Singapura, Malaysia, Pakista, Korea Selatan dan Rumania.

Lantas apa makna pergelaran ini bagi Medan? Tentu saja ada. Para aktivis teater di Medan telah berhasil menjalin kebersamaan dalam menyambut tamu teater dan menciptakan sebuah peristiwa kebudayaan. Ayub Badrin, Irma Karyono.

Ojak Manalu, seluruh komunitas yang ada di TBSU serta jurnalis Rianto Aghly alias Anto Genk dengan daya akses ke pemerintahan, bukti kemampuan seniman Medan menjadi tuan rumah yang baik. 

Semoga saja semangat kebersamaan ini tidak berhenti pada penyambutan tamu, namun tetap dapat menyala setiap perhelatan yang digelar komunitas-komunitas seni di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi