“AKU telah mendapat pelajaran mengenai keyakinan yang tulus dari seorang tukang cukur,” kata Abul Qasim Al-Junaid yang dikenal dengan nama Junaid yang merupakan salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal kepada murid-muridnya.
Lalu ia bercerita, pada suatu masa ketika ia berada di Mekkah, ia melihat seorang tukang cukur sedang menggunting rambut seseorang. Lalu Junaid berkata,”Jika karena Allah, bersediakah engkau mencukur rambutku?”
Tukang cukur itu lalu menjawab,”Aku bersedia.” Ia lalu segera menghentikan pekerjaannya dan berkata kepada langganannya itu,”Maaf tuan, berdirilah, apabila nama Allah diucapkan, hal-hal lain harus ditunda.”
Tukang cukur tersebut lalu menyuruhku duduk. Diciumnya kepalaku dan dicukurnya rambutku, kata Junaid.
Setelah selesai ia bahkan memberikan kepadaku segumpal kertas yang berisi beberapa keping mata uang.
“Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu,” ujarnya kepadaku, ujar Junaid lagi.
Maka, Junaid lalu berniat, jika mendapat hadiah yang pertama sekali diperoleh maka hadiah tersebut akan diberikannya kepada tukang cukur tersebut.
Tak lama kemudian, Junaid menerima sekantong uang emas dari Bashrah, maka sesuai dengan niatnya, ia lalu memberikan uang tersebut kepada si tukang cukur.
“Apakah ini ?” ia bertanya kepada Junaid.
“Aku telah berniat, hadiah yang pertama kudapatkan akan kuberikan kepadamu,”ujar Junaid.
Tetapi si tukang cukur tersebut menjawab,”Tidakkah engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan kepadaku, Demi Allah, cukurlah rambutku, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?” (dikutip dari buku, Warisan Para Awliya, karangan Faruddin Al-Attar, hlm. 263-264).
Kisah ini begitu dalam maknanya, karena ia memberikan pelajaran tidak hanya kepada sang Sufi, Al-Junaid, tetapi juga kepada kita saat ini.
Mungkin kita menganggap apa yang dikatakan si tukang cukur terlalu berlebihan sehingga ia tidak mau menerima ‘hadiah’ yang diberikan Junaid tersebut, bahkan pekerjaan yang ia lakukan tidak mau diberikan bayaran. Tetapi inilah faktanya, bahwa masih ada orang yang seperti itu.
Junaid sendiri mungkin tidak pernah berpikir perkataannya ‘demi Allah’ telah memberi batasan kepada si ahli cukur bahwa ia memang benar-benar harus melakukan pekerjaannya ‘demi Allah’. Tetapi jika Junaid tidak mengawali perkataannya dengan ‘demi Allah’ mungkin si tukang cukur akan menerima pemberiaan si Junaid tersebut.
Kata-kata ‘demi Allah’ yang dalam bahasa arab dikenal dengan kalimat wallahi, tallahi dan billahi ini memang terkesan ringan dan mudah diucapkan, tetapi sesungguhnya ia merupakan bentuk sumpah yang menuntut kesaksian bahwa apapun pekerjaan yang dilakukan merupakan ‘amanah’ dari Allah. Maka tidak layak sebenarnya pekerjaan tersebut dihargai dengan uang.
Tetapi fakta membuktikan, ketika sumpah diucapkan: “Demi Allah aku berjanji, untuk menjalankan tugasku sesuai dengan amanah yang diembankan kepadaku...”. Namun banyak pejabat, pegawai negeri sipil dan militer yang menyalahi sumpah jabatannya. Mereka tidak menjalankan sumpahnya tersebut.Kata “demi Allah” hanya dijadikan pemerah bibir semata.
Pernahkah kita berpikir, ketika kita mengucapkan “Demi Allah” maka semua yang menjadi ‘beban’ harus dikembalikan kepada Allah. Atau mungkin kita berpikir, bahwa sumpah yang diucapkan hanya merupakan seremonial yang hilang setelah selesainya acara pelantikan tersebut ?
Ingatlah apa yang dikatakan tukang cukur tersebut kepada Junaid, “Tidakkah engkau malu kepada Allah? Engkau telah mengatakan kepadaku, Demi Allah, tetapi kemudian engkau memberi hadiah kepadaku. Pernahkah engkau menjumpai seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan demi Allah dan meminta bayaran?”
Nah kalau demikian bagaimana dengan para pegawai negeri, para pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif yang mereka jelas-jelas mengucapkan sumpah ketika mereka dilantik dengan ucapan “demi Allah” tersebut? Mungkin ada yang mengatakan dalam konteks ini jelas berbeda, karena memang itu pekerjaannya, sehingga jika mereka dibayar (digaji) lalu mereka menolak lalu apa yang mereka bawa pulang untuk keluarganya? Namun, perlu digarisbawahi isi sumpah itulah yang harus dijalankan, jika isi sumpah tersebut mereka harus melayani bukan untuk dilayani, maka jika ada pegawai negeri sipil, militer, pejabat yang minta dilayani mereka telah menyalahi sumpah tersebut. Atau mereka meminta uang dari ‘pelayanan’ yang mereka lakukan dalam hal ini masyarakat yang meminta bantuan pelayanan mereka, jelas permintaan tersebut telah menyalahi sumpah mereka.
Begitu juga dengan pengurus organisasi, yang ketika bersumpah untuk tidak ‘menjual’ organisasinya tetapi faktanya tidak demikian berarti ia telah menyalahi sumpah. Dan kalau sudah demikian, jelas Allah akan murka. Karena sedikitpun ketika kita melecehkan nama-Nya.
Akhirnya mari kita mencoba merenungkan apa makna dari sumpah tersebut. Kalau kita tidak sanggup menjalankan sumpah tersebut, maka lebih baik jangan lakukan. Ingat! Janganlah nama Allah kita permainan, ini akan berakibat tidak baik bagi kita sendiri dan orang lain. Sadarlah.