Festival Kuda Kepang di Binjai 26 Oktober 2014;

Upaya Mempertahankan Kesenian Jawa pada Masyarakat Binjai

Oleh: Agung Suharyanto. SIAPA orang yang tidak me­ngenal dengan Kuda Kepang? Sa­lah satu kesenian dari Pulau Jawa, dibawa oleh orang Jawa dan hidup dimana mereka bermukim, sesuai dengan perpindahannya.

Masya­ra­kat Jawa di perantau­an, biasanya masih menyeleng­ga­rakan pertun­jukan Kuda Kepang untuk hal-hal terkait dengan siklus kehidup­an manusia (lahir, hidup dan mati).  Bisa saja sebagai bagi­an dari upacara ritual mereka atau pun hiburan dan tontonan bagi ma­syarakat sekitar. Pada acara pe­ringatan 1 Suro dan peringatan Ha­ri Kemerdekaan RI 17 Agustus,  kesenian Kuda Kepang juga di­tampilkan.

Pujakesuma

Perpindahan orang Jawa seca­ra  besar-besaran  dan  menyolok da­lam sejarah Indonesia, ketika didatangkan oleh pihak perkebun­an sebagai tenaga kerja di Sumate­ra Timur. Beberapa literatur me­nyebutkan, orang Jawa didatang­kan sejak tahun 1880 sebagai kuli untuk menggantikan orang Tiong­hoa. Demikian, mereka mulai di­bawa ke Sumatera Timur dan sete­lah tahun 1910 kedatangan mere­ka bertambah banyak.

Menurut Reid, mereka awal­nya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peratur­an tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. De­ngan berjalannya waktu, sejak ta­hun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kon­trak yang merugikan para bu­ruh.

Pada masa berikutnya, perpin­da­han orang Jawa dilaksanakan da­lam rangka kebijakan transmi­grasi yang disponsori oleh peme­rin­tah. Transmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan pendu­duk. Padatnya penduduk di pu­lau Jawa, ke­kurangan lahan pertani­an, dan kemiskinan di pedesaan Ja­wa pada umumnya. Program ini juga dilakukan dalam beberapa tahap dan terutama juga memben­tuk daerah-daerah perkebunan ba­ru yaitu Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sumatera Utara (dahulu Suma­te­ra Timur) adalah sebuah provinsi yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa sebagai suku pendatang. Me­reka secara tu­run-temurun ber­kem­bang di be­be­rapa daerah per­kebunan di Sumatera Utara (Su­matera Timur). Beberapa menye­butnya dengan Jawa Kebon, Jawa Kontrak atau Jawa Deli.

Mereka selain bermigrasi atau trans­migrasi, tidak lupa membawa kesenian-keseniannya. Kuda Ke­pang menjadi ekspresi kesenian  me­reka paling  menonjol  di antara kesenian lain yang mereka bawa. Seperti Kethoprak Dor, maupun Wayang Kulit. Kesenian Kuda Kepang bisa dijumpai  merata  di ham­pir  sebahagian  besar  desa-de­sa  yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa.

Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantia­sa berusaha menye­suaikan diri de­ngan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonis­an. Mes­kipun  orang-orang Jawa lahir di Sumatera, sering disebut Pujakesuma, watak  dan kebiasa­an yang berdasarkan budaya mere­ka tetap disampaikan dari orang tuanya. Hal demikian juga dilaku­kan pada kesenian Kuda Kepang untuk diturunkan kepada generasi beri­kutnya. Ini yang menjadi salah satu, eksistensi kesenian kuda ke­pang masih eksis sampe sekarang.

Selain adanya program trasmi­grasi dilakukan pemerin­tah­an Or­de Baru waktu ber­kuasa, juga ada tugas bhakti pegawai pemerintah dibeberapa daerah di wilayah Indonesia. Ini bisa dilihat dari ba­nyaknya pegawai pemerintah se­perti Kantor Pos, Kereta Api, Dinas Ketentaraan dan lain-lain. Tidak ketinggalan ada beberapa profesi seperti Tukang Jamu, Penjual Kain Batik, Tukang Bakso dan Mie Ayam, bermigrasi untuk mencari penghidupan yang layak. Genera­si ini kemudian mempunyai eks­presi kesenian. Berbeda dengan ge­­nerasi awalnya karena memba­wa serta keahlian seperti menari tarian Jawa, memainkan Wayang KulitWayang Wong serta Game­lan Jawa.

Kuda Kepang, demikian orang Jawa yang hidup di Medan, Binjai, Langkat, Deli Serdang dan bebera­pa daaerah lain di Sumatera utara, menyebutkannya. Walaupun ada beberapa istilah lain yang menye­butnya dengan Kuda Lumping, Jaran Kepang dan Jathilan. Di antara mereka, intinya sama. Menunjukkan satu maksud, sebu­ah tarian tradisional Jawa menam­pilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda-kudaan. Terbuat dari anyaman bambu dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau ijuk mencuat ke atas. Anyaman kuda ini dihias dengan cat warna warni dan dise­suaikan dengan sosok binatang kuda.

Tarian Kuda Kepang biasanya hanya menampilkan adegan pra­jurit berkuda dengan diiringi alat-alat musik seperti kendhangsarondemungkethuk kenong dan gong. Beberapa penampilan Kuda Ke­pang juga menyuguhkan atraksi ba­rong, bujangganong ataupun ada­nya kehadiran seorang raja ber­nama Klono Sewandono. Ada salah satu adegan yang sedemikian ditunggu oleh penonton. Ketika pe­narinya sedang kesurupan da­lam menari. Mata penari yang nya­lang dan penuh kekuatan ma­gis, terkadang masih juga meme­gang kuda kepang, akan menujuk­kan kekebalan. Atraksi kekebalan seperti memakan beling, kekebal­an tubuh terhadap deraan pecut (ce­meti) dan mengupas kelapa de­ngan giginya. Penari yang ke­surupan ini, sambil me­ngunyah bu­nga, juga bisa menari seperti roh yang memasukinya sesuai de­ngan ketukan irama kendhang.

Atraksi tambahan lain, ketika seseorang menampilkan kekebal­an tubuh dengan mengiriskan go­lok tajam ke tangan, kaki, leher, perut dan lidah. Terkadang juga disisipi dengan penampilan yang membuat bergidik, tidur di atas pa­pan diberi paku. Selain atraksi kekebalan, ada juga kelincahan dan gerakan akrobatik si Bujang­ga­nong yang menarik perhatian penonton. Pemainnya masih ber­umur 10 tahunan. Dengan mema­kai topeng Bujangganong melaku­kan gerakan akro­batik, seperti  sal­tohandstand dan headstand, me­roda sampai kayang.

Beberapa atraksi ini, perkem­ba­ng­an tambahan dari kesenian Ku­da Kepang dari pertunjukan de­bus (kekebalan) dan gerakan ak­robatik Buajngganong yang dia­dop­si dari pertunjukan Reog Po­norogo, sedemikian sudah mulai populer di masyarakat.

Festival di Binjai

Tarian Kuda Kepang ini berasal dari Jawa. Tarian ini juga diwaris­kan oleh komunitas masyarakat Ja­wa yang menetap di Sumatera Utara. Juga di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia, Suriname, Hongkong, Jepang dan Amerika. Mem­bicarakan pe­wa­risan kebudayaan, dalam hal ini kesenian Kuda Kepang, tidak terlepas dengan sebuah adanya per­ubahan, per­geseran dan pemer­ta­hanan. Apalagi kesenian Kuda Kepang yang persebarannya sam­pai ke berbagai negara. Tentu ti­dak terlepas adanya perubahan dan pergeseran. Terlepas dari ada­nya perubahan dan pergeseran dari asalnya, usaha pemer­tahanannya juga menjadi satu hal yang menarik untuk diamati.

Salah satu strategi pemertahan­an kesenian Kuda Kepang yang di­la­kukan oleh masya­rakat Jawa adalah kegiatan Festival Kudang Kepang dalam rangka memperi­nga­ti 1 Suro (Jawa) atau Tahun Ba­ru 1 Muharram (Islam) di Lapa­ngan Merdeka Binjai. Acara festival ini diikuti oleh 12 Kelompok yang mewakili tiga Kabupaten/Ko­ta yaitu Binjai, Deli Serdang dan Langkat pada hari Minggu 26 Oktober 2014.  Acara yang dise­lenggarakan oleh Organisasi Puja­kesuma Binjai yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Binjai un­tuk mewadahi ekspresi keseni­an orang Jawa.

Sebuah pemertahanan kebuda­yaan seperti kesenian Kuda Ke­pang, memerlukan paling tidak ti­ga hal. Keluarga, masyarakat dan pemerintah. Diadakannya Festival Kuda Kepang, sebuah strategi pemertahanan yang melibatkan pe­ran keluarga dari orang Jawa yang ada di wilayah tersebut.

Masyarakat Jawa dengan ber­bagai organisasinya seperti Puja­ke­suma, Joko Tingkir dan Panda­wa, juga menjadi pen­dukungnya. Tidak ketinggalan dengan adanya kerjasama dan turun tangan dari pemerintahan lokal. Keterlibatan ketiga unsur yang saling bersinergis dalam sebuah kegiatan, tentunya menjadi salah satu upaya efektif bagi sebuah pemertahanan buda­ya.

Bila diperhati­kan, dengan ada­nya kegiatan Festival Kuda Ke­pang, menjadi sebuah catatan bagi perkembangan dan keberada­an ke­senian Kuda Kepang. Di antara ber­agamnya etnis beserta keseni­an yang ada di Binjai Sumatera Uta­ra. Catatannya adalah kesenian Kuda Kepang semakin beragam dan eksis di daerah dimana kese­nian dibutuhkan oleh masyarakat pendukungnya. Kuda Kepang tetap berse­mangat menari dan memain­kannya dalam sebuah kemeriah­an. Meskipun belum tentu sama dengan kesenian yang juga sampai sekarang masih hidup di daerah asalnya.

Hal ini semakin menunjukkan, Sumatera Utara adalah daerah mul­ti etnik dan budaya, yang tetap memelihara berbagai unsur buda­ya yang diwarisi dari masing-ma­sing pendahulunya.

Penulis Pengamat Dan Pemerhati Seni Budaya Yang Berdomisili Di Medan, Sumatera Utara

()

Baca Juga

Rekomendasi