Oleh: Agung Suharyanto. SIAPA orang yang tidak mengenal dengan Kuda Kepang? Salah satu kesenian dari Pulau Jawa, dibawa oleh orang Jawa dan hidup dimana mereka bermukim, sesuai dengan perpindahannya.
Masyarakat Jawa di perantauan, biasanya masih menyelenggarakan pertunjukan Kuda Kepang untuk hal-hal terkait dengan siklus kehidupan manusia (lahir, hidup dan mati). Bisa saja sebagai bagian dari upacara ritual mereka atau pun hiburan dan tontonan bagi masyarakat sekitar. Pada acara peringatan 1 Suro dan peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, kesenian Kuda Kepang juga ditampilkan.
Pujakesuma
Perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan menyolok dalam sejarah Indonesia, ketika didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Beberapa literatur menyebutkan, orang Jawa didatangkan sejak tahun 1880 sebagai kuli untuk menggantikan orang Tionghoa. Demikian, mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak.
Menurut Reid, mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Dengan berjalannya waktu, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh.
Pada masa berikutnya, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Transmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk. Padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Program ini juga dilakukan dalam beberapa tahap dan terutama juga membentuk daerah-daerah perkebunan baru yaitu Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sumatera Utara (dahulu Sumatera Timur) adalah sebuah provinsi yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa sebagai suku pendatang. Mereka secara turun-temurun berkembang di beberapa daerah perkebunan di Sumatera Utara (Sumatera Timur). Beberapa menyebutnya dengan Jawa Kebon, Jawa Kontrak atau Jawa Deli.
Mereka selain bermigrasi atau transmigrasi, tidak lupa membawa kesenian-keseniannya. Kuda Kepang menjadi ekspresi kesenian mereka paling menonjol di antara kesenian lain yang mereka bawa. Seperti Kethoprak Dor, maupun Wayang Kulit. Kesenian Kuda Kepang bisa dijumpai merata di hampir sebahagian besar desa-desa yang mayoritas penduduknya adalah orang Jawa.
Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa lahir di Sumatera, sering disebut Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka tetap disampaikan dari orang tuanya. Hal demikian juga dilakukan pada kesenian Kuda Kepang untuk diturunkan kepada generasi berikutnya. Ini yang menjadi salah satu, eksistensi kesenian kuda kepang masih eksis sampe sekarang.
Selain adanya program trasmigrasi dilakukan pemerintahan Orde Baru waktu berkuasa, juga ada tugas bhakti pegawai pemerintah dibeberapa daerah di wilayah Indonesia. Ini bisa dilihat dari banyaknya pegawai pemerintah seperti Kantor Pos, Kereta Api, Dinas Ketentaraan dan lain-lain. Tidak ketinggalan ada beberapa profesi seperti Tukang Jamu, Penjual Kain Batik, Tukang Bakso dan Mie Ayam, bermigrasi untuk mencari penghidupan yang layak. Generasi ini kemudian mempunyai ekspresi kesenian. Berbeda dengan generasi awalnya karena membawa serta keahlian seperti menari tarian Jawa, memainkan Wayang Kulit, Wayang Wong serta Gamelan Jawa.
Kuda Kepang, demikian orang Jawa yang hidup di Medan, Binjai, Langkat, Deli Serdang dan beberapa daaerah lain di Sumatera utara, menyebutkannya. Walaupun ada beberapa istilah lain yang menyebutnya dengan Kuda Lumping, Jaran Kepang dan Jathilan. Di antara mereka, intinya sama. Menunjukkan satu maksud, sebuah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda-kudaan. Terbuat dari anyaman bambu dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau ijuk mencuat ke atas. Anyaman kuda ini dihias dengan cat warna warni dan disesuaikan dengan sosok binatang kuda.
Tarian Kuda Kepang biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda dengan diiringi alat-alat musik seperti kendhang, saron, demung, kethuk kenong dan gong. Beberapa penampilan Kuda Kepang juga menyuguhkan atraksi barong, bujangganong ataupun adanya kehadiran seorang raja bernama Klono Sewandono. Ada salah satu adegan yang sedemikian ditunggu oleh penonton. Ketika penarinya sedang kesurupan dalam menari. Mata penari yang nyalang dan penuh kekuatan magis, terkadang masih juga memegang kuda kepang, akan menujukkan kekebalan. Atraksi kekebalan seperti memakan beling, kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (cemeti) dan mengupas kelapa dengan giginya. Penari yang kesurupan ini, sambil mengunyah bunga, juga bisa menari seperti roh yang memasukinya sesuai dengan ketukan irama kendhang.
Atraksi tambahan lain, ketika seseorang menampilkan kekebalan tubuh dengan mengiriskan golok tajam ke tangan, kaki, leher, perut dan lidah. Terkadang juga disisipi dengan penampilan yang membuat bergidik, tidur di atas papan diberi paku. Selain atraksi kekebalan, ada juga kelincahan dan gerakan akrobatik si Bujangganong yang menarik perhatian penonton. Pemainnya masih berumur 10 tahunan. Dengan memakai topeng Bujangganong melakukan gerakan akrobatik, seperti salto, handstand dan headstand, meroda sampai kayang.
Beberapa atraksi ini, perkembangan tambahan dari kesenian Kuda Kepang dari pertunjukan debus (kekebalan) dan gerakan akrobatik Buajngganong yang diadopsi dari pertunjukan Reog Ponorogo, sedemikian sudah mulai populer di masyarakat.
Festival di Binjai
Tarian Kuda Kepang ini berasal dari Jawa. Tarian ini juga diwariskan oleh komunitas masyarakat Jawa yang menetap di Sumatera Utara. Juga di beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia, Suriname, Hongkong, Jepang dan Amerika. Membicarakan pewarisan kebudayaan, dalam hal ini kesenian Kuda Kepang, tidak terlepas dengan sebuah adanya perubahan, pergeseran dan pemertahanan. Apalagi kesenian Kuda Kepang yang persebarannya sampai ke berbagai negara. Tentu tidak terlepas adanya perubahan dan pergeseran. Terlepas dari adanya perubahan dan pergeseran dari asalnya, usaha pemertahanannya juga menjadi satu hal yang menarik untuk diamati.
Salah satu strategi pemertahanan kesenian Kuda Kepang yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah kegiatan Festival Kudang Kepang dalam rangka memperingati 1 Suro (Jawa) atau Tahun Baru 1 Muharram (Islam) di Lapangan Merdeka Binjai. Acara festival ini diikuti oleh 12 Kelompok yang mewakili tiga Kabupaten/Kota yaitu Binjai, Deli Serdang dan Langkat pada hari Minggu 26 Oktober 2014. Acara yang diselenggarakan oleh Organisasi Pujakesuma Binjai yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Binjai untuk mewadahi ekspresi kesenian orang Jawa.
Sebuah pemertahanan kebudayaan seperti kesenian Kuda Kepang, memerlukan paling tidak tiga hal. Keluarga, masyarakat dan pemerintah. Diadakannya Festival Kuda Kepang, sebuah strategi pemertahanan yang melibatkan peran keluarga dari orang Jawa yang ada di wilayah tersebut.
Masyarakat Jawa dengan berbagai organisasinya seperti Pujakesuma, Joko Tingkir dan Pandawa, juga menjadi pendukungnya. Tidak ketinggalan dengan adanya kerjasama dan turun tangan dari pemerintahan lokal. Keterlibatan ketiga unsur yang saling bersinergis dalam sebuah kegiatan, tentunya menjadi salah satu upaya efektif bagi sebuah pemertahanan budaya.
Bila diperhatikan, dengan adanya kegiatan Festival Kuda Kepang, menjadi sebuah catatan bagi perkembangan dan keberadaan kesenian Kuda Kepang. Di antara beragamnya etnis beserta kesenian yang ada di Binjai Sumatera Utara. Catatannya adalah kesenian Kuda Kepang semakin beragam dan eksis di daerah dimana kesenian dibutuhkan oleh masyarakat pendukungnya. Kuda Kepang tetap bersemangat menari dan memainkannya dalam sebuah kemeriahan. Meskipun belum tentu sama dengan kesenian yang juga sampai sekarang masih hidup di daerah asalnya.
Hal ini semakin menunjukkan, Sumatera Utara adalah daerah multi etnik dan budaya, yang tetap memelihara berbagai unsur budaya yang diwarisi dari masing-masing pendahulunya.
Penulis Pengamat Dan Pemerhati Seni Budaya Yang Berdomisili Di Medan, Sumatera Utara