Kedai Sampah

Oleh: Hari Murti, S. Sos. Setelah berkonsultasi kepada ahli bahasa dan melihat kamus, saya sampai pada simpulan bahwa kata kedai sampah  adalah frasa. Frasa adalah ‘gabungan dua kata yang bersifat nonpredikatif’. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah jika demikian, mengapa harus sampah, bukan sayur-mayur  untuk mengikuti kedai. Jawaban yang masih belum tentu kebenarannya adalah, pada zaman dulu, sayur-mayur  banyak sekali  dijual di kedai-kedai sehingga sering restan dan akhirnya menjadi sampah. Pada waktu itu, tepatnya di tahun 80-an, makanan seperti ikan dan daging begitu mewah, sedangkan sayur-mayur dianggap inferior. Pandangan tersebut kemudian diungkapkan dengan istilah sampah. Tetapi, sekali lagi, ini jawaban yang belum tentu benar – salahnya. Penulis tentu sangat terbuka pada koreksi.

Sebenarnya kata kedai sampah sudah cukup lama tak digunakan lagi oleh orang. Orang lebih sering menyebut tempat berjualan sayur-mayur itu kedai saja. Sedangkan kedai sayur sudah cukup familiar terdengar. Tetapi, beberapa orang masih menggunakan kata kedai sampah untuk menunjukkan tempat menjual sayur-mayur.

Karena kata-kata  berkaitan dengan pikiran orang dan nilai ekonomi dan sosial sebuah entitas dan di sisi lain pangan nabati sedang direvitalisasi, maka sebaiknya menggandengkan kata kedai dengan sayur-mayur daripada dengan sampah. Kita tidak ingin ada situasi berbalik dimana pangan dari unsur hewani seperti ikan dan daging akan mengalami situasi yang sama seperti sayur-mayur di era 80-an yang dianggap inferior dan beri kata sampah di belakang kedai. Kalau sampai ini terjadi, bisa saja tempat menjual  daging dan ikan  disebut kedai bangkai demi menghidupkan kecintaan pada pangan nabati itu. Lihat, sekarang  vegetarian begitu memiliki gengsi yang tinggi. Ia tidak memakan daging dan ikan dan karenanya mendapat status sosial yang lumayan tinggi.   

Ya, taruhlah kekhawatiran saya di atas itu berlebihan. Tidak mungkinlah kedai yang menjual bahan makanan dari unsur hewani seperti daging dan ikan itu disebut kedai bangkai. Toh cerita tentang mengapa  orang   menyebut kedai sampah untuk menyebut kedai sayur-mayur  seperti yang dijelaskan di atas itu belum tentu benarnya.  Maka, kita jadikanlah aspek rasa bahasa untuk alasan kita menggunakan istilah kedai sayur-mayur daripada kedai sampah. Tinggalkanlah secara total istilah sampah dengan menggandengkan secara tetap kata sayur-mayur di belakang kedai. Kalau sampah digunakan sebagai pengganti  sayur-mayur, tentu kurang enak didengar. Bahasa menghendaki agar pasangan kata dalam sebuah frasa itu  bercita rasa tinggi.

Belakangan ini, dunia sedang merekonstruksi ulang pengertian sampah. Sistem daur ulang yang dilandasi pada kecintaan alam dan ekonomis telah membuat orang mempertanyakan sebenarnya adakah  entitas yang tidak berguna sama sekali sehingga layak disebut sampah? Ternyata tidak ada entitas yang tidak berguna sama sekali walau entitas itu hanya setumpuk kotoran hewan sekalipun yang bisa dibuat biogas dan pupuk organik. Benda-benda terbuang yang bertumpuk dan berbau itu bukan sampah, tetapi entitas yang belum atau sedang menjelang  ditemukan orang fungsi barunya. Apalah lagi sayur-mayur yang demikian segar, ekonomis, dan sehat sejajar dengan daging dan susu itu, tentu berlebihan jika kedai tempat menjualnya diikuti istilah sampah. Saya pikir kedai-kedai yang menjual sayur-mayur pun tak suka kata kedai diikuti kata sampah di belakangnya. Demikian juga para pembelinya, tak ada sama sekali keberatan dari mereka jika yang digunakan adalah kedai sayur-mayur. Jadi, untuk apa terus menggunakan kata kedai sampah? Syukurlah bahwa sejak lama istilah kedai sampah sudah jarang sekali terdengar. ***

Penulis adalah Pamong Bahasa di Sumatera Utara oleh Badan Bahasa, Kemendiknas.

()

Baca Juga

Rekomendasi