KONON, pemerintah mempunyai wacana memberi insentif fiskal berupa pengampunan pajak atas sejumlah besar dana yang diparkir di Singapura. Gebrakan baru pemerintah ini memberi kesempatan bagi para pemodal untuk menarik dana mereka kembali ke tanah air buat berbisnis tanpa segala tuntutan kewajiban fiskal maupun hukum. Potensi dana besar itu juga sangat bermanfaat bagi pelonggaran likuiditas moneter domestik yang saat ini sedang seret, akibat kenaikan suku bunga BI, terutama bagi pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Jumlah dana yang diparkir di republik pulau itu bervariasi, mulai dari 25% dari PDB Indonesia, yakni sekitar Rp.181 triliun hingga Rp.3.000 triliun. Sementara itu, komposisinya juga beraneka ragam, mulai dari modal bersih dari pajak terutang,dana murni asal hibah para deposan individual, dana investasi korporasi, laba yang belum direpatriasi,devisa hasil ekspor(DHE)tertahan, sampai hot money, seperti hasil korupsi, penggelapan uang negara, money laundering, dana dugaan sindikat kejahatan dan sebagainya.
Memancing kembali dana potensial tersebut membutuhkan umpan. Pemerintah dalam hal ini nampaknya menggunakan taktik “carrot and stick”, seperti halnya yang pernah diberlakukan masa lalu dalam upaya penerimaan negara dengan peluncuran rangkaian paket pengampunan pajak dan terakhir “sunset policy”.
Tingkat kesuksesan pemancingan dana warga Indonesia yang diparkir di Singapura bergantung pada tingkat kesadaran pemilik modal sendiri, aspek jurisdiksi, justifikasi dan kondisi ekonomi, politik dan sosial di Indonesia.
Differential besar spread antara suku bunga Indonesia (baik dalam deposito berjangka di perbankan atau obligasi pemerintah) dan Singapura merupakan faktor plus bagi para pemodal dan investor portofolio untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara tren depresiasi rupiah dan melajunya inflasi menjadi kontra produktif pula bagi calon investor berbuat demikian.
Dalam koridor rezim lalu-lintas devisa bebas, arus keluar-masuk valas merupakan fenomena biasa di sektor keuangan, Eksodus dana atau “capital flight” sering terjadi bukan saja di Indonesia, tapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Ambiguitas tentang peraturan “Base Erosion Profit Sharing”(BEPS)yang belum mulai berlaku, memungkinkan perusahaan multinasional memarkirkan labanya di negara lain, demi pengelakan atau penghindaran pajak, ketimbang di negara tempat laba diperoleh seharusnya.
Penerapan “stick” atau peraturan keras seperti sistim kontrol devisa atau tindakan hukum kelihatan sulit dan rumit dijalankan, lagi jarang berhasil. Contohnya, kasus klaim pemerintah yang berdasarkan dugaan uang milik negara atas dana simpanan puluhan juta dolar Singapura atas nama istri muda seorang mendiang mantan pejabat senior Pertamina di sebuah bank di Singapura masa lalu.
Mengingat status Singapura adalah salah satu pusat finansial regional dan menduduki peringkat ke-5 dalam perlindungan kerahasian bank di dunia lagi enggan menandatangani Perjanjian Ekstradisi dengan Indonesia, maka harapan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam pemberian informasi tentang nama dan besarnya dana para nasabah bank dari Indonesia, kelihatan tipis. Lagi para pemegang rekening gede sekarang umumnya menggunakan “numbered account” tanpa nama dan pencairan dan penyimpanan dana melalui uang elektronik tanpa nama dan sertifikat deposito digital juga tanpa nama dengan sistem “financial encryptophy”. Sedangkan Perjanjian Saling Menukar Informasi Otomatis(AEOI) pada KTT G20 di Brisbane baru-baru ini hanya dijadwalkan mulai berlaku 2017 atau akhir 2018. Lagi belum dijamin, apakah semua negara anggota bersedia melaksanakannya, karena implementasi AEOI tersebut bersifat resiprokal antara pihak bersangkutan. Yang pasti, Singapura akan tetap menjadi “safe haven” bagi para pemodal gede asing.
Melihat ke depan, pemerintah barangkali perlu juga memperbaiki kondisi investasi dan fundamental ekonomi makro agar lebih kondusif sehingga rupiah akan menjadi salah satu “hard currency” yang diminati baik oleh masyarakat deposan maupun calon investor.“Good governance”,kebijakan, pengelolaan dan pengawasan devisa yang lebih efektif dapat mencegah pemarkiran DHE produk-produk tambang dan komoditas di LN, aksi penyelundupan produk ekspor dan sumber-sumber pembocor devisa lainnya. Dengan demikian, pemerintah tak perlu membuang umpan untuk memancing dana warga sendiri balik ke kandang. Dana asing yang lebih besar bahkan akan berbondong-bondang datang sendiri ke pasar keuangan Indonesia. Menurut catatan BEI, arus dana masuk asing pernah mencapai Rp.55,9 triliun per hari.