Oleh: Aminuddin. Pendidikan merupakan salah satu poros utama untuk memajukan sebuah negara dan dapat bersaing di dunia global. Dengan pendidikan, maka sebuah negara akan menjadi tolok ukur apakah negara yang bersangkutan sudah menginjak level maju, berkembang, atau justru berkutat di level juru kunci (tertinggal). Negara-negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok, tidak lepas dari sistem pendidikan, sehingga mereka menjadi salah satu negara yang diperhitungkan.
Menyadari hal itu, pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan anggaran besar di sektor pendidikan. Penggelontoran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebanyak 20% untuk pendidikan menjadi salah satu keseriusan pemerintah dalam menata kembali (rekonstruksi) dunia pendidikan. Sektor pendidikan memang merupakan salah satu sektor paling krusial untuk ditata dan diolah lebih baik agar tercipta produk-produk anak negeri yang bisa berkompetisi di dunia global. Disamping itu juga, pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk memajukan bangsa Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengeluarkan langkah strategis dalam menangani problem pendidikan terutama di daerah-daerah yang kekurangan akses pendidikan. Program strategis tersebut adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program Indonesia Pintar merupakan upaya untuk tidak memarginalkan orang-orang yang kekurangan akses pendidikan terutama dalam hal biaya pendidikan. KIP bisa menjadi ujung tombak bagi generasi muda untuk tidak lagi terganjal dalam masalah biaya.
Sebelum pemerintahan Jokowi, sudah ada berbagai cara yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan hal biaya pendidikan. Salah satunya adalah beasiswa seperti BIDIKMISI. Beasiswa tersebut telah membuka asa bagi golongan menengah ke bawah agar dapat mencicipi pendidikan lebih tinggi. Eksistensi beasiswa juga sebagai upaya untuk menanggulangi generasi muda di kalangan tidak mampu yang berprestasi untuk melanjutkan studinya hingga jenjang yang lebih tinggi.
Esensi Wajib Belajar
Seiring perkembangan zaman dan pergantian pemerintahan di Indonesia, gagasan belajar di sekolah pun acap kali bergonta-ganti. Awalnya, Indonesia menggagas wajib belajar 9 tahun. Artinya, semua anak harus belajar minimal 9 tahun. Setelah itu, gagasan wajib belajar 12 tahun disuarakan. Ini meliputi Sekolah Dasar (SD) selam 6 tahun, sekolah menengah pertama (SMP) sederajat 3 tahun, dan sekolah menengah atas (SMA) sederajat 3 tahun. Jika gagasan wajib belajar 12 tahun ini berjalan mulus di tangan menteri pendidikan, Anies Baswedan, maka Indonesia akan melaksanakan belajar selama mungkin layaknya negara-negara tetangga. Laporan UNDP 2013 menyebutkan bahwa Indonesia masih kalah dalam hal wajib belajar. Indonesia rata-rata hanya ada dalam angka 5,8 tahun. Sedangkan negara tetangga seperti Singapura mencapai angka rata-rata 10,1. Malaysia mencapai angka rata-rata 9,5 tahun, Filipina memperoleh angka rata-rata 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan negeri gajah putih, Thailand 6,6 tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa wajib belajar 9 tahun yang digagas sebelumnya gagal. Lalu, bagaimana dengan wajib belajar 12 tahun?
Wajib belajar 12 tahun bukan hanya persoalan bagaimana siswa bisa belajar sampai dari SD sampai SMA. Namun jaminan untuk tidak dipungut biaya selama 12 tahun juga penting untuk diperhatikan. Selama ini, pungutan liar (pungli) masih saja terjadi dengan beragam alasan. Inilah hal yang harus diperhatikan untuk menjalankan program belajar 12 tahun sehingga anak-anak bangsa benar-belajar dalam suasana yang aman tanpa ada beban pungutan selama 12 tahun.
Di lain pihak, persoalan belajar 12 tahun tidak hanya menjamin anak-anak bangsa datang ke sekolah dan pulang selama 12 tahun. Artinya, pemerintah tidak hanya mewajibkan siswa-siswi hilir mudik tanpa ada hal yang bisa diperoleh.
Begitu juga dengan sekolah gratis selama 12 tahun. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memuluskan harapan wajib belajar 12 tahun. Pertama, pemerintah harus memberikan pelayanan yang baik dan benar kepada murid. Maksudnya, wajib belajar selama 12 tahun harus didukung dengan fasilitas di sekolah. Misalnya terkait dengan penyediaan ruang kelas, sarana, dan prasarana sekolah serta kualitas guru dan pendidik. Selama ini, kita selalu dihadapkan pada keterbatasan sarana dan prasarana. Entah itu sekolahnya yang tidak layak pakai dan kualitas pendidik yang tidak sesuai harapan.
Kedua, Pemerintah tidak hanya menjamin anak-anak bangsa belajar 12 tahun. Namun juga harus menjamin tidak akan ada lagi pungli di sekolah. Sekolah yang acap kali melakukan pungli harus ditindak tegas. Anggaran 20% dari APBN rasanya cukup mampu merevolusi semua sektor pendidikan yang kadung terbengkalai. Jangan sampai, pendidikan hanya sebagai dalih untuk memeras orang tua siswa.
Ketiga, wajib belajar 12 tahun tidak boleh dijadikan mesin proyek individu maupun kelompok. Selama ini, kurikulum acap kali berganti seiring pergantian kementerian. Pergantian kurikulum seperti itu menimbulkan stigma negatif di ranah publik bahwa kebijakan dalam di dunia pendidikan hanyalah proyek lima tahunan. Jika hal itu terjadi, maka wajib belajar 12 tahun hanya topeng untuk memuluskan proyek politik.
Epilog
Wajib belajar 12 tahun tidak hanya bertumpu pada proses dimana siswa datang ke sekolah. Namun harus ada output yang bisa diharapkan. Harus ada harapan jangka panjang. Setelah siswa siswi memperolah pelajaran selama 12 tahun, harapannya adalah mereka bisa menemukan jati dirinya untuk bisa berkembang lebih jauh. Artinya, selama mereka digodok 12 tahun, setelahnya dapat diambil dan dipetik hikmahnya. Dengan kata lain, mereka tidak menjadi pengangguran pasca SMA. Jika demikian yang terjadi, wajib belajar 12 tahun gagal karena tidak bisa mencetak lulusan yang mampu menjadi andalan. Salah satu output yang dapat diperoleh adalah, mereka bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, 12 tahun belajar tidak sia-sia.
Akhirnya, Harapan tetap masih ada terkait dengan sistem pendidikan di negeri ini. Keberadaan menteri pendidikan, Anies Baswedan menjadi harapan baru di dunia pendidikan. Jangan sampai jabatan terhormat yang tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik. Hanya di tangan para intelektual yang berorientasi profesional yang akan membawa dunia pendidikan menjadi lebih baik dan bermakna bagi bangsa dan negara. Semoga! ***
* Penulis adalah Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.