Oleh: Andryan, SH. MH
Penulis mengangkat judul diatas tidak lain untuk menanggapi tulisan dari saudara Ranto Sibarani yang berjudul “Bagaimana Undang-Undang Mengatur Pembubaran DPR”, dimuat di Harian Analisa tanggal 10 Desember 2014. Sangat menarik untuk mencermati tulisan tersebut, sebab disatu sisi beliau memahami secara konstitusional bahwa DPR tidak dapat dibubarkan/dibekukan presiden, tetapi disisi lainnya beliau juga menyisaratkan bahwa DPR dapat saja dibubarkan jika presiden Jokowi mempunyai inisiatif mengeluarkan Dekrit perihal pembubaran DPR, benarkah demikian?
Hal yang meyakini saudara Rinto Sibarani bahwa presiden dapat membubarkan DPR mengaju pada latar belakang sejarah di republik ini. Mengutip dari tulisan saudara Rinto Sibarani yang mengatakan “... merujuk pada sejarah yang membuktikan bahwa Presiden Soekarno telah pernah membubarkan Lembaga DPR hasil Pemilu 1955 yang saat itu disebut Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut berisikan pembubaran Konstituante, berlakunya kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950 dan pembentukan MPRS. Keberhasilan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 adalah karena adanya dukungan penuh dari rakyat Indonesia”.
Disamping itu, hal yang mengejutkan dalam tulisan saudara Rinto Sibarani, mengatakan bahwa Jokowi bisa saja mengeluarkan Dekrit untuk membubarkan DPR yang tentu saja harus didukung oleh kekuatan Militer untuk melindungi dekrit tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Soekarno. Jika Jokowi mampu meyakinkan Militer untuk lebih memperhatikan dan berpihak kepada rakyat, dan dengan kenyataan politik bahwa DPR saat ini hanya digunakan sebagai alat untuk membagi-bagi kekuasaan dan anggaran negara, maka dapat diyakini Dekrit Jokowi nantinya akan berhasil membubarkan DPR hasil pemilu 2014.
Hubungan Seimbang
Sebagaimana lazimnya organ negara yang bertumpu pada konstitusi, maka baik Presiden maupun DPR adalah lembaga tinggi negara yang mempunyai kedudukan setara dalam struktur ketatanegaraan kita. Tidak itu saja, antara Presiden dan DPR, juga sebagai dua institusi yang memiliki hubungan sangat erat dan diantara satu sama lain saling membutuhkan.
Beberapa prinsip-prinsip mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidensil, serta Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances. Hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) menunjukkan negara menerapkan ciri sistem presidensil.
Dalam sistem presidensil, bahwa adanya keseimbangan legitimasi dan kedudukan antara lembaga eksekutif dan legislatif (DPR dan Presiden). Hal ini dilakukan dengan pengaturan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan mekanisme pemberhentian dalam masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 6A, 7, 7A, dan 8 UUD 1945. Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka memiliki legitimasi kuat dan tidak dapat dengan mudah diberhentikan kecuali karena melakukan tindakan pelanggaran hukum. Selain itu juga ditegaskan, bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif), tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislator-nya.
Dengan adanya perubahan kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula dimiliki oleh presiden menjadi dimiliki oleh DPR berdasarkan hasil Perubahan UUD 1945, terutama Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), maka yang disebut sebagai lembaga legislatif (utama) adalah DPR, sedangkan lembaga eksekutif adalah Presiden. Walaupun dalam proses pembuatan suatu undang-undang dibutuhkan persetujuan Presiden, namun fungsi Presiden dalam hal ini adalah sebagai co-legislator, bukan sebagai legislator utama.
Di sisi lain, Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya mendapatkan pengawasan dari DPR. Pengawasan tidak hanya dilakukan setelah suatu kegiatan dilaksanakan, tetapi juga pada saat dibuat perencanaan pembangunan dan alokasi anggarannya. Bahkan, kedudukan DPR dalam hal ini cukup kuat karena memiliki fungsi anggaran secara khusus selain fungsi legislasi dan fungsi pengawasan sebagaimana diatur pada Pasal 20A UUD 1945.
Namun, demikian kekuasaan DPR juga terbatas, DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden kecuali karena alasan pelanggaran hukum. Usulan DPR tersebut harus melalui forum hukum di MK sebelum dapat diajukan ke MPR.
Alasan Pembubaran Konstituante
Perlu kita ketahui bersama, presiden Soekarno dalam hal membubarkan konstituante melalui Dekritnya, bukan bermaksud ingin membungkam eksistensi dewan rakyat tersebut, melainkan keputusan Soekarno tersebut lebih pada muatan politis pada masa itu. Muatan politis tersebut yakni, kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang Dasar 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia.
Selain daripada itu, ada beberapa pertimbangan lainnya presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit, yaitu (i) Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. (ii) Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. (iii) ?Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. (iv) Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
Terhadap kegagalan konstituante dalam menetapkan konstitusi, ada sesuatu hal yang mana dimaksudkan menguntungkan pihak penguasa ketika itu untuk memberi kekuasaan yang besar pada presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru. Disamping itu juga, dapat memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani dan semakin terlihat pada masa Orde Baru.
Logika Sesat DPR Dibubarkan
Merujuk dari pernyataan saudara Rinto Sibarani yang mengatakan, bahwa presiden Jokowi bisa saja membubarkan DPR melalui Dekrit, adalah sesuatu logika sesat belaka. Hal ini tentu saja selain secara konstitusional DPR tidak dapat dibubarkan/dibekukan oleh presiden, juga presiden tidak dapat semena-mena mengeluarkan Dekrit tentang pembubaran DPR.
Sebagai lembaga representatif rakyat, DPR merupakan pelaksana daripada kedaulatan rakyat. Peran serta fungsi DPR dalam sistem ketatanegaraan di negeri ini menjadi sangat vital. Jika DPR dibubarkan, bukan tidak mungkin apabila sistem bernegara kita pun akan menjadi mati. DPR bukan saja sebagai mitra presiden dalam melaksanakan pemerintahan negara, seperti membuat undang-undang dan menetapkan anggaran negara. Akan tetapi, lebih daripada itu juga DPR sebagai perwujudan rakyat melaksanakan fungsi dalam memberikan persetujuan untuk posisi-posisi strategis pimpinan lembaga negara negara, seperti Panglima TNI, Kapolri, Hakim Agung, Pimpinan BPK, Pimpinan KPK, dan lembaga negara lainnya.
Jika menurut saudara Rinto Sibarani, presiden Jokowi harus membubarkan keanggotaan DPR tahun 2014 karena berdalih hanya mengejar kekuasaan belaka, tentu bukanlah sebagai suatu sikap negarawan karena hanya akan membuat kekacauan negara. Sekali lagi, presiden saat ini dengan kekuasaan apapun tidak dapat membubarkan DPR.
Terlebih lagi, jika presiden membubarkan/membekukan DPR, bukan tidak mungkin jika nasib kelangsungan masa jabatan presiden Jokowi mirip dengan mantan presiden Gus Dur yang dimakzulkan MPR karena mengeluarkan Dekrit perihal pembubaran/pembekuan DPR. Oleh karenanya, tidak salah jika penulis dalam hal ini menyebutkan pembubaran DPR sebagai sebuah logika sesat dalam berpikir.***
Penulis adalah Alumnus FH.UMSU Direktur Pusat Kajian Politik Hukum dan Konstitusi.