Dongeng dari Utara dan Juggernaut di Sebuah Kota

Oleh: Sartika Sari. PASCA era modern, para il­mu­an, beramai-ramai mengayuh bi­duk, menuju era postmodern. Pen­­ciptaan situasi dan kebudayaan baru di masyarakat ini, didalangi oleh pemikiran, modernitas telah sampai pada titik jenuh. Sering di­sebut dengan istilah the end of mo­dernity. Harus diberi tandingan dengan melakukan revolusi kon­septual, terutama revolusi ilmiah.

Dalam ilmu pengetahuan untuk selanjutnya menjadi asupan ma­syarakat dalam berbagai sendi ke­hidupan. Beberapa pemikir yang terlibat keras dalam aktivitas ini seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty, Jean Baudrillard, Pierre Bourdieu dan Anthony Giddnes. Alhasil, kini menjadi topik hangat dalam dis­kusi-diskusi akademis.

Penciptaan beragam karya seni dan pola pikir dalam perancangan atau pelaksa­naan berbagai program adalah ino­vasi konsep yang ditawarkan beberapa ilmuan.

Di balik hiruk-pikuk perdebatan pemikiran itu, masyarakat umum adalah pihak yang menjadi objek. Maraknya kapitalisme ditandai dengan produksi komoditi, indrus­trialisme dengan menggunakan sum­ber daya alam dan tenaga me­sin. Juga pengawasan pada bidang politik dan industrialisasi alat-alat perang tentu berdampak sangat be­sar bagi kehidupan sosial.

Karakteristik modernitas, mengubah sistem sosial, kebia­sa­an dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Paling tampak misal­nya pada industrialisasi berbagai keperluan hidup masyarakat. Bu­daya tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat senantiasa me­miliki cara sendiri dalam memenu­hi kebutuhan, namun kini sudah di­gantikan dengan  mesin dan gaya industri yang cenderung didomi­nasi oleh kinerja barang-barang elek­tronik. Ini yang mendalangi ber­bagai perubahan selanjutnya.

Romantisme masa lalu, lingku­ngan sosial yang arif, asri dan ten­tram, tinggal kerinduan bagi ke­banyakan orang yang menjadi saksi hidup dua masa itu. Dongeng dari Utara adalah jelmaannya. Da­lam larik-larik yang melibatkan kom­pleksitas elemen makrokos­mos dan mikrokosmos, kerinduan atas masa lalu pada akhirnya ber­ujung pada keresahan bercampur  amarah dan kekecewaan.

Impresi dan perasaan ini, sangat mungkin jika berakar pada kedata­ngan modernitas bahkan pos­mo­dernime atau apa yang di­sebut Gid­dens. Dia seorang ilmuan yang ter­kenal dengan berbagai kajian sosiologi dan strukturasinya sebagai moder­nitas tinggi. Peruba­han sosial budaya begitu ce­pat da­lam istilah Giddens mirip panser raksasa (juggernaut) yang lajunya masih bisa dikendalikan. Kemung­kinan besar juga tidak dapat diken­dalikan dan hanya akan membawa pada kehancuran.

Di utara, Ibu / kebun kaktus, hutan bersuara liar / punggung bukit hitam / Orang-orang Atas / memburu titik lampu / sembunyi seperti bintang sesat / di atas langit jatuh, puing kota / yang mati dini hari / lalu membusuk / di mulut ular!

Ungkapan pembuka telah men­jadi penanda betapa kehidup­an di Utara dibekap kegelapan, kis­ruh dan ketidaktentuan. Sega­lanya menjadi asing, hingga pada akhirnya menjadikan orang-orang menjelma pemburu, orang-orang yang bingung.

Kota tidak lagi menjadi hunian nyaman. Tidak lagi mampu mem­bangun ketenangan hidup. Puing Kota / yang mati dini hari menjadi pengungkap bahwa tempat ba­nyak orang menikmati dan menen­tang takdir itu telah dianggap mati dan sebaiknya ditinggalkan.

Saya curiga kalau dalam larik ini, penyair kelahiran Marga, Ta­banan, Bali yang kini menetap di Si­ngaraja tengah dilanda keresah­an mendalam. Resah melihat po­tret kehidupan Utara yang lambat laun ditukangi para manusia-ma­nusia modern dengan kehidupan dini hari. Sebuah kebudayaan dan kebiasaan yang barangkali me­nim­bulkan ketidaknyamanan  ba­ginya-sebagai masyarakat asli.

Suara liar, hutan kaktus / maka simpan suaramu, Ibu! / di goa mati / di tapal batas paling tipis / antara daun peneduh, kayu asam yang rin­dang / dan kampung pelacur, larik ini semakin meyakinkan du­gaan saya pada keresahan dan ama­rah yang melilit sang penyair. Dalam perjalanan risau itu, dia tak ingin perempuan yang teramat di­sayangi sedikitpun terlibat. Puncak sebuah ketakutan.

Simpan suaramu! / desis ular, lolong anjing / atau raung hewan piaraan / di rumah kesayangan peri kota / senantiasa memburu tumbal / untuk menyambung pita tenggorokannya / yang terputus  / usai mimpi besar, tadi malam.

Selanjutnya, peringatan itu di­sampaikan pula pada siapa pun yang ada di antaranya atau bisa sa­ja pada orang-orang yang tidak perduli atas apa yang diresahkan­nya.

Larik yang semakin kuat me­nyublim ketakutan dengan kenya­taan. Agaknya rumah kesayangan peri kota yang memiliki benang me­rah dengan kampung pelacur  itu telah menjadi penanda jelas mak­sud dari peringatan dan ama­rah sang penyair.

Dalam era modernitas, kehi­dup­an seperti yang tersirat dalam Dongeng dari Utara menjadi iden­titas kuat yang harus diterima se­bagai bagian dari masyarakat. Terutama bagi kehidupan perko­taan. Tidak ada istilah tabu lagi. Kampung pelacur, kehidupan dini hari  dan kebiasaan orang-orang me­tropolis semakin jauh dari nor­ma budaya. Justru semakin meng­geliat bahkan ke wilayah-wilayah kecil.

 Untuk sebagian orang, inilah yang menjadi kenikmatan. Bagi sebagian lagi ini adalah kejenuhan dan sumber keresahan. Memin­jam istilah Giddens, tentu perubah­an yang mirip juggernaut.

Di utara, kita terkenang / dulu, kebun anggur, rambatan hati pe­tani / di sisi telaga bening. ada air ter­jun / bisu tanpa riak / ular-ular jinak memperlihatkan warna pe­langi / ekornya yang runcing / me­manggil bidadari.

Sebenarnya suasana itulah yang dilahap juggernaut. Utara se­lalu dirindukan karena keindah­an, ketenangan dan berbagai peso­na lain. Bahkan ular pun menjadi bagian menarik dan mampu me­manggil bidadari yang dapat di­selaraskan sebagai romantisme ke­gembiraan.

Sayang, semua menjadi kena­ng­an yang tersimpan dalam keter­batasan ingatan. Masa lalu yang ma­nis kini harus ditatap penuh ke­terasingan. Di utara, ibu / laut kini menganga / seperti kuali / lu­bang matahari / tempat indah / bagi ikan-ikan kecil / bunuh diri!

Beginilah Utara yang sekarang. Laut, keindahan yang dulu menjadi bagian penting milik masyarakat telah menjelma palung kesengsa­raan. Bukan lagi menjadi tempat bersantai dan memberi kebaha­gia­an, tapi menjadi sumber kedu­kaan dan tempat bunuh diri. Larik penutup yang singkat dan tajam.

Dongeng dari Utara menjadi saksi bagaimana pada era ini salah satu dari sekian banyak masyara­kat yang hidup di Utara dilanda ke­resahan. Ketakutan, kekece­wa­an dan amarah yang meluap-luap, lantaran berbagai perubahan da­tang. Telah menghancurkan ro­mantisme sebuah kota yang dulu men­jadi dambaan.

Puisi yang men­jadi judul kumpulan puisi Ma­de Adnyana Ole pada tahun 2014 ini selain menjadi medium peng­ungkap perasaan secara tidak lang­sung telah menjadi naskah gugatan kepada para modernis. Sebagai do­ngeng, seluruh pendengar, pem­baca, tidurlah dalam keresah­an dan ketakutan pula!

()

Baca Juga

Rekomendasi