Oleh: Rizal R Surya. KEHIDUPAN waktu kecil merupakan sebuah kenangan yang tidak mudah dilupakan. Apalagi keadaan saat itu begitu indah dan menyenangkan.
Kondisi seperti ini yang membuat dr Husaini M Hasan SpOg masih tetap ingin pulang ke kampung halamannya, meski sudah lebih dari 30 tahun hidup di negeri orang. Bahkan saat ini kewarganegaraannya sudah menjadi Swedia.
“Suasana bulan puasa (Ramadan) dan ketika merayakan Idulfitri di kampung halaman ssaat anak-anak dan remaja di Sigli, tidak ditemukan di Stockholm (Swedia) maupun di Brisbane (Australia). Suasana indah seperti itu masih teringat jelas di kepala ini. Saya masih merindukan suasana seperti itu, apalagi masih banyak sanak saudara yang berada di sana,” ujar salah satu deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dr Husaini M Hasan di Hotel Garuda Citra Medan, Kamis (4/12).
Usianya yang telah mencapai 70 tahun pada Juli lalu, tidak tergambar di wajahnya saat ia berbicara. Ia tetap enerjik layaknya orang yang masih berusia di bawah 50 tahun, apalagi jika yang dibicarakan menyangkut masa depan Aceh.
Kedatangan Husaini ke Medan, memang bertepatan dengan ulang tahun (milad) ke-38 GAM. Tapi kunjungannya ini bukan untuk merayakan milad itu, tapi karena kebetulan ingin bertemu dengan teman-teman setelah 36 tahun tidak pernah bertemu.
Mantan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendidikan dan Menteri Penerangan GAM ini menguraikan, sejak pergi meninggalkan Aceh pada awal 80-an, ia baru dua kali kembali ke Indonesia. Tahun lalu ia berkunjung ke Aceh namun tidak sempat bertemu dengan teman-temanntya. “Tahun ini baru sempat itupun tidak lama karena saya harus ke Jakarta,” ujarnya.
Abu--demikian Husaini biasa disapa--telah meninggalkan kampung halamannya di Sigli sejak menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Di Medan ia masuk ke SMA 2 yang kemudian dipecah dan ia masuk SMA 4 di Jalan Ayahanda Medan. Tamat dari SMA 4, Abu melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan tamat tahun 1973.
Dari Medan ia kembali ke Aceh. Melihat kondisi Aceh yang dianggap sangat memprihatinkan dan tertinggal dengan daerah lain meski memiliki kekayaan alam yang melimpah, Abu memilih bergabung dengan GAM.
Awal 80-an, Abu melarikan diri ke Malaysia dan kemudian minta suaka ke sebuah lembaga internasional. “Saya sempat delapan bulan terkatung-katung di Malaysia karena tidak pernah punya paspor Indonesia sebelum minta suaka politik,” ungkapnya.
Abu merupakan orang Aceh (GAM) pertama yang mendapat suaka politik. “Orang itu heran kenapa baru saya saja yang minta suaka,” katanya. Dari Aceh kemudian dibawa ke Stockholm, Swedia.
Di negeri ini ia menyelesaikan pendidikan spesialisasi kedokterannya. Profesi itulah yang membuatnya hidup di negeri tersebut dan berjuang untuk Aceh merdeka. Seusai pensiun, ia mengikuti anak-anaknya yang tinggal di Brisbane, Australia, sejak tiga tahun lalu.
“Ribuan orang Aceh yang tersebar di seluruh dunia terutama yang paling banyak di Swedia, Denmark, Norwegia, Kanada, AS dan Australia, tetap ingin pula ke Aceh. Tapi melihat kondisi seperti ini, mereka masih mengurungkan niatnya untuk kembali,” ujarnya.
Merosot
Abu menilai Aceh pasca penandatanganan MoU di Helsinki, Finlandia 10 tahun lalu jauh merosot dibanding dulu. Aceh di bawah rezim Orde Baru masih surplus beras, gula, kelapa dan lainnya.
“Sekarang dengan dana pembangunan yang lebih besar harusnya rakyat Aceh lebih sejahtera dan makmur. Tapi kenyataannya itu, bahkan lebih merosot dibanding dulu. Dana yang besar hanya untuk kepentingan elite pemerintahan saja. Mereka hanya mementingkan diri dan keluarganya saja,” tegas Abu.
Harusnya kata Abu, rakyat Aceh bersatu padu. Kenyataannya tidak. “Saya datang ke sini untuk melakukan rekonsiliasi. Tapi kenyataan tidak pernah diterima gubernur. Harapan rekonsiliasi ini sudah berkali-kali diupayakan namun tetap tidak pernah mendapatkan tanggapan,” ujarnya.
Kenapa semua harus bersatu dan dihargai. Karena menurut Abu yang berjuang untuk Aceh tidak hanya yang memikul senjata saja. Yang memberi makan kombatan dan juga yang memberi tempat perlindungan harus dihargai juga sebagai pejuang. Hal ini yang tidak terlihat sekarang.
Pikirkan Masa Depan
Menurut utusan khusus Hasan Tiro ini, kita harus berpikir jauh ke depan memikirkan nasib anak cucu bukan nasib diri sendiri dan golongan. “Inilah yang saya upayakan namun tidak pernah mendapat tanggapan,” keluhnya.
Bagi pejuang GAM di luar negeri tidak ada pilihan lain selain merdeka. Tapi kondisi saat ini merupakan sebuah realita yang harus diterima. “Kita harus membuat Aceh menjadi lebih maju,” tegasnya.
Kalau kondisi seperti ini terus terjadi lanjutnya. Di mana masih terjadi perpecahan di sana-sini membuat orang Aceh di luar negeri berpikir seribu kali untuk kembali meski masih sangat merindukan kampung halaman.
Ketua Yayasan Aceh Peduli Nusantara, Marzuki Mahmud yang memfasilitasi pertemuan di Medan mengungkapkan, Husaini Rabu (3/12) ziarah ke makam Hasan Tiro di Indrapuri, Aceh Besar.
Keberadaan Husaini di Indonesia diketahui sejumlah pejuang GAM yang masih ‘segaris’ dan ‘searah’ dengannya. “Karena mereka ingin bertemu saya memfasilitasi pertemuan ini di Medan dan mereka yang datang ke Medan,” ujarnya.
Mantan Gubernur GAM Pidie yang pertama T Khaliddin Daud mengakui hal ini. “Kami ingin bertemu Abu maka atas inisiatif sendiri bersama teman-teman datang ke sini,” ungkapnya.
Turut hadir dalam pertemuan itu antara lain, T Ishak Idi, T Muhabuddin Husein, T Abah Yakub dan lainnya yang engan disebut namanya.