Oleh: Toni Burhan. Setelah lama mencari tahu, akhirnya kuketahui juga nama gadis cantik berdarah Sanghai itu. Namanya Ling-ling. Dia adalah gadis lincah tetanggaku. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku mengaguminya.
Ling-ling sudah tiga minggu tinggal di Kota Medan. Dari informasi yang kuperoleh, ternyata dia dititipkan sementara oleh orangtuanya kepada kakek dan neneknya.
Setiap sore aku selalu melihat Ling-ling menyirami bunga mawar di pagar rumahnya. Ya ampun, Ling-ling berdiri di antara rumpun mawar. Dia terlihat cantik sekali. Bagai bidadari di antara bunga-bunga.
Setiap malam aku selalu memikirkannya. Dari matanya yang bening, wajahnya yang imut, hingga rambutnya yang pirang dan dikepang dua seperti kebiasaan gadis muda Shanghai pada umumnya.
Setiap pagi, ketika akan pergi bekerja, aku selalu melihat Ling-ling menyapu halaman rumahnya. Ya, aku selalu menyapa gadis cantik berusia 18 tahun itu.
Belakangan kuketahui Ling-ling bekerja sebagai loper koran. Kasihan sekali dia. Dengan sepeda tua mini milik kakeknya dia harus bangun pagi-pagi sekali untuk mengambil koran. Terkadang pagi hujan sangat deras. Aku mengkhawatirkannya. Ia pasti kehujanan dengan tubuh basah menggigil kedinginan dan bertepi di pinggiran ruko. Belum lagi jika koran-korannya basah terkena hujan. Ia pasti akan dimarahi oleh atasannya.
Dari tetangga kuketahui bahwa Ling-ling menjadi loper koran demi membantu kakeknya. Selain bekerja sebagai loper koran, ternyata sore harinya dia menjadi penjual gorengan keliling. Aku sungguh tak sampai hati melihat kulitnya yang putih lembut harus rusak oleh sinar Matahari.
Ling-ling, seandainya kau bisa mengerti isi hatiku, aku pasti ingin menjadi kekasihmu dan tak akan kubiarkan kau menderita begini. Kau sungguh gadis cantik yang luar biasa, baik hati dan pekerja keras. Kau memang gadis impianku.
Namun di sisi lain aku bahagia karena kini setiap pagi Ling-linglah yang mengantarkan koran ke rumahku. Namun anjingku galak. Ia selalu menggong-gong ketika Ling-ling datang.
Suatu ketika anjingku, Bobi, keluar dari pagar dan mengejar Ling-ling yang mengayuh sepeda. Ling-ling terjatuh. Untung Bobi tidak menggigitnya. Aku pun membawa Ling-ling ke dalam rumah dan mengobati kakinya yang luka akibat terjatuh. Aku segera menyuruh Bobi untuk meminta maaf.
Ling-ling tertawa kecil sembari berucap: “Sudah, tidak apa-apa. Dia hanya seekor anjing.”
Aku meminta Ling-ling duduk di sofa ruang tamu sebentar. Karena aku akan ke dapur membuat teh bunga melati untuknya. Namun ketika aku kembali... tidak, Ling-ling membuka majalah itu. Celaka, aku lupa menyimpan selembar surat di dalamnya yang baru kutulis semalam. Isinya tak lain adalah gambar wajah Ling-ling yang kulukis sedemikan rupa.
Memang gambarnya tidak bisa bagus karena aku tak pandai menggambar. Satu hal yang membuatku merasa malu sekali karena aku menulis: "Ling-ling aku cinta padamu."
Dia telah membacanya, bagaimana ini? Wajahnya memerah. Aku menjadi salah tingkah. Kami berdua terdiam. Namun Ling-ling segera permisi untuk segera pergi karena ia akan mengantar koran kepada tetangga lain.
Setiap sore, aku selalu menunggu Ling-ling lewat dan membeli gorengannya. Walau sedang panas dalam, aku tetap membeli gorengan buatan tangan Ling-ling. Rasanya gurih dan lezat. Hari itu Ling-ling terlihat imut sekali dengan pakaian kodoknya.
Setiap Minggu pagi setelah mengantar koran, Ling-ling selalu membeli bahan-bahan membuat kue di warung sebelah. Aku diam-diam meletakkan serangkaian bunga mawar merah di keranjang sepedanya.
Ketika Ling-ling keluar dari warung, dia menggigit jari kelingkingnya. Dia terlihat manis sekali. Sepertinya dia penasaran dengan siapa pelakunya. Terkadang aku meletakkan kado dan sebagainya ke dalam keranjang sepedanya tanpa diketahuinya.
Aku cemburu sekali ketika ada abang-abang becak yang menyanyikan sebuah lagu untuk menggodanya: “Ling-ling... Ling-ling oh... kekasihku... Dara lincah tetanggaku...”
Ya, sebuah lirik lagu tahun 70-an yang tak kuketahui siapa pengarangnya. Namun aku ingin sekali menghajar tukang becak itu!
Hingga suatu hari yang indah, di pesta ulang tahunku. Ketika itu aku mengundang teman-teman dan saudara-saudaraku. Pesta hanya ala kadarnya. Ya, setiap tamu yang datang memberi hadiah namun berbeda dengan Ling-ling, ia tak membawa sesuatu apa pun. Tapi tak apalah asalkan dia mau datang saja, itu sudah lebih dari cukup.
Ya, aku mengerti dengan kondisi ekonomi keluarganya. Semua orang yang hadir menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku tak terkecuali Ling-ling. Namun tiba-tiba saja mati lampu. Maklumlah Kota Medan sering mati lampu.
Aku tiba-tiba merasakan ada yang mengecup pipiku. Setelah ibu menyalakan lampu teplok, terlihat Ling-ling tersenyum kepadaku. Ternyata dialah gadis nakal yang diam-diam telah menciumku. Ah, malu sekali aku. Dia berbisik: “Hadiah ulang tahunku.”
Namun karena malu, Ling-ling pun segera beranjak pergi. Aku bahagia sekali saat itu. Aku tak dapat tidur semalaman. Apakah ini berarti Ling-ling mencintaiku juga?
Walaupun Ling-ling belum pasti menjadi kekasihku, namun aku seharian menyanyikan lagu Ling-ling Kekasihku, yang sempat populer di tahun 70-an.
Ling-ling oh kekasihku
Dara lincah tetanggaku
Diam-diam aku jatuh cinta kepadanya,
Oh... Ling Ling Ling
Hari itu aku mengajak Ling-ling berjumpa di bawah pohon jambu. Ya, buah-buah jambu berwarna merah dan tampak seperti berbentuk hati. Ada bunga-bunganya juga yang berwarna putih. Dari bawah memandang terlihat seperti malaikat-malaikat kecil yang asyik memerhatikan kami.
Aku sedih sekali mendengar apa yang dikatakan Ling-ling. Hatiku tercabik-cabik. Baru saja semalam dia membuatku serasa terbang ke atas awan namun kini dia jatuhkan aku dari sana. Sakit sekali. Ling-ling ternyata harus kembali ke Shanghai. Sepertinya dia tak akan kembali lagi.
Aku sangat sedih. Aku tak mungkin dapat menyusulnya ke Shanghai karena aku tak mungkin jauh dari keluargaku. Aku juga bukan orang kaya yang banyak duit. Tak mungkin aku pergi ke sana apalagi untuk tinggal dan menetap. Aku sedih bercampur kesal.
Aku coba membujuk Ling-ling untuk tidak pergi. Namun dia tak berdaya karena itu adalah kehendak orangtuanya. Aku tak mau berbicara banyak kepadanya karena hanya akan membuatku sakit hati.
Karena kesal, aku pergi meninggalkan Ling-ling sendirian di bawah pohon jambu. Aku pulang dengan membanting kuat pintu rumah.
Tak lama, hujan turun dengan derasnya. Aku khawatir sekali dengan Ling-ling. Ya, aku melihat ke luar jendela. Terlihat Ling-ling berlarian dengan tubuh yang basah. Aku sadari aku memang lelaki jahat yang tak bertanggung jawab. Namun aku tak kuasa menahan sifat egoisku yang tak mau tahu apabila sudah telanjur kesal. Mulai sekarang aku sudah tak mau tahu tentangnya lagi. Percuma saja. Karena kami akan segara berpisah. Aku tak mau bersedih karena kehilangan sesuatu. Lebih baik segalanya berakhir begini.
Sudah satu minggu terlewatkan, hujan dalam seminggu ini sering turun. Aku memerhatikan jalan setapak depan rumahku dari jendela kaca. Kaca jendela agak kabur karena terpercik air hujan. Aku tak kuasa menahan rasa rinduku kepada Ling-ling.
Mungkin dia telah kembali ke negerinya. Cinta yang lain mungkin telah bersemi di sana, tinggallah aku seorang diri di sini bagai orang gila menatapi tetes-tetes hujan di balik jendela kaca.
Dulu aku sering melihat Ling-ling dari sini, ketika dia bersepeda membawa koran, ketika dia menjual gorengan keliling, ketika dia menggenggam serangkaian mawar merah pemberianku dan terakhir ketika dia kecewa berlari kehujanan.
Ling-ling, aku mencintaimu. Apakah kamu memikirkanku juga? Ling-ling, aku ingin melihatmu selalu seperti dulu.
Aku sungguh terkejut ketika tetanggaku, rumah Ling-ling, telah didirikan sebuah tenda. Sepertinya ada yang meninggal. Apakah itu kakek atau nenek Ling-ling?
Aku mencari tahu. Dari ibuku, kudengar ternyata yang meninggal bukanlah kakek atau nenek Ling-ling, melainkan Ling-ling! Tetapi, bukankah Ling-ling telah kembali ke Shanghai?
Ling-ling ternyata belum kembali ke Shanghai. Dia sungguh gadis yang malang. Dua hari sebelum kepulangannya, ketika mengantar koran ke rumah langganannya, dia diperkosa. Demi menghapus jejak, dia dibunuh dan jasadnya dibuang ke semak-semak kebun nenas di luar kota. Maafkan aku, Ling-ling...!
* Desember 2013