Oleh: Khaddin. MASYARAKAT Aceh sudah pasti mengenal produk tikar anyaman tradisional yang dibuat dari bahan baku daun pandan duri yang sudah dikeringkan. Tikar ini didesain dengan berbagai motif oleh para perajin sesuai kebutuhan. Para perajin ini mayoritas adalah ibu rumah tangga di pedesaan. Mereka sampai kini masih menekuni kerajinan warisan turun-temurun ini.
Kerajinan itu bernilai bisnis karena selain menjadi mata pencarian utama bagi sebagian ibu rumah tangga juga masih tetap eksis di tengah persaingan tikar sederhana lain yang harganya lebih murah serta mudah dijumpai di pasar-pasar.
“Tikar oun seuke (daun pandan, red) memiliki pangsa pasar tersendiri. Masyarakat yang kental akan nilai budaya Aceh, di manapun berdomisili sudah mencari dan membeli produk ini,” kata Rohana, pedagang sekaligus perajin anyaman pandan di Gampong (desa) Bugak, Kecamatan Jangka, Bireuen, baru-baru ini.
Disebutkannya, dahulu, masyarakat Bireuen menggunakan tikar daun pandan ini sebagai kebutuhan utama yang dibentangkan di rumah sewaktu menyambut tamu maupun momen lain seperti kenduri. Tetapi, sekarang, tradisi itu berangsur ditinggalkan, terutama di perkotaan. Di pedesaan, tradisi ini tetap bertahan.
Pada masa lalu, membuat anyaman tikar adalah pekerjaan mudah bagi ibu rumah tangga dan gadis desa, namun saat ini menjadi sulit akibat kurangnya kepedulian generasi sekarang untuk belajar menyanyam.
Kini, hanya tinggal sejumlah perempuan desa yang masih terampil dan bersedia mengisi waktu luang siang dan malam hari untuk menganyam tikar baik untuk kebutuhan pribadi maupun dijual.
“Di desa kami, menganyam tikar sudah menjadi pekerjaan rutin, bahkan sudah mendapatkan pembinaan dari Pemkab Bireuen,” kisah Rohana seraya menambahkan kerajinan tersebut dilakukan di rumah masing-masing.
Mata pencarian
Kendati begitu, bagi mayoritas perempuan di Gampong Bugak Pante Paku, Kecamatan Jangka, Bireuen, pekerjaan menganyam tikar sudah menjadi mata pencarian utama kaum ibu dan remaja putri untuk mengais rupiah membantu meningkatkan ekonomi keluarga.
Perajin di desa ini rutin memproduksi tikar tradisional itu. Mereka mudah memperoleh bahan baku daun pandan yang merupakan jenis tumbuhan monokotil dari genus Pandanus yang biasanya tumbuh di daerah pantai. Produk kerajinan ini kemudian dipasarkan di pusat-pusat keramaian serta dibawa langsung oleh pedagang keliling yang datang dari rumah ke rumah.
“Hasil kerajinan, biasanya dikumpulkan dari rumah perajin untuk dijajakan ke pasar hari peukan Gandapura setiap Selasa, Matang Glumpang Dua (Kamis), Kota Bireuen dan setiap Minggu di Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Ada juga yang menjual secara keliling ke desa lain di Aceh Utara dan Bireuen,” jelasnya.
Membuat tikar anyaman bagi yang sudah biasa cukup mudah dan harus melalui beberapa tahapan seperti menyiapkan bahan baku daun pandan mentah, menyisir halus sesuai kebutuhan, lalu direbus. Selanjutnya direndam air sampai tiga hari serta dijemur sampai kering hingga berwarna putih.
Tahapan berikutnya adalah melunakkan bahan baku menggunakan kayu kecil sehingga siap dianyam menjadi tikar. Sedangkan untuk membuat motif, bahan baku yang sudah disiapkan tersebut diberi berbagai warna sesuai kebutuhan. Tikar pandan ini juga tahan lama. Jika tidak terkena air bisa bertahan hingga sepuluh tahun.
Tikar tradisional ini dibuat dengan berbagai ukuran, mulai ukuran kecil, sedang sampai besar khusus untuk dibentangkan di ruangan tamu. Harganya pun sangat bervariatif mulai dari Rp 30 ribu untuk ukuran kecil sampai Rp 500 ribu untuk ukuran 3 x 4 meter.
“Patokan harganya selain ukuran juga merujuk motifnya. Kalau paduan warnanya bagus, bisa jadi tikar ini sampai Rp 700 ribu/helai,” imbuhnya seraya menambahkan, tikar pandan ini juga tahan lama. Jika tidak terkena air bisa bertahan hingga sepuluh tahun.
Rohana beserta sejumlah kawannya rutin menjajakan tikar di pasar hari pekan di Bireuen dan Aceh Utara. Selain menjual milik sendiri, dia juga mengumpulkan milik perajin lain di kampung halamannya untuk dipasarkan di pusat-pusat keramaian, atau dibawa oleh perempuan pedagang keliling yang menyinggahi rumah-rumah penduduk di Bireuen dan Aceh Utara. Kerajinan yang dihasilkan perajin ini juga sering di kirim ke kabupaten/kota lain, seperti Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie.
Menurutnya, menjajakan anyaman ayaman membutuhkan kesabaran karena sewaktu-waktu kurang pembeli. Tapi, jika jika laris, mereka bisa mengantongi Rp 200-500 ribu sehari. “Ini tidak rutin, kadang-kadang malah tidak laku,” ungkapnya.
“Pendapatan menjual tikar tidak banyak, hanya cukup untuk membeli beras satu bambu (1,5 kg) serta beberapa kebutuhan lainnya. Bagi perajin yang aktif juga dapat tidak banyak hanya sekadar mampu meringankan kebutuhan keluarga,” tutupnya.